Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA suatu hari tahun 1980. Hoegeng menerima telepon dari TVRI. Orang TVRI itu, entah siapa, meminta maaf dan mengatakan bahwa siaran musik Hawaiian Seniors akan diakhiri. "Siaran itu akan diganti dengan siaran musik nasional," kata sang penelepon. Hoegeng langsung menukas, "Lha, yang benar saja! Apa bukan karena saya penanda tangan Petisi 50?" Si penelepon langsung menyahut, "Kok Bapak tahu?"
Hanya sepenggal itulah cerita Hoegeng mengenai Petisi 50 dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan. "Nunggu waktu baiklah. Nanti akan dibicarakan dulu dengan teman-teman," komentar Ali Sadikin, salah seorang tokoh Petisi 50 yang bukunya lebih dulu diterbitkan. Selebihnya, otobiografi ini lebih bercerita mengenai masa kanak-kanak, remaja, dan terutama sekali karier Hoegeng di kepolisian.
Hoegeng lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Ayahnya, Soekario Kario Hatmojo, seorang Jaksa yang berasal dari Tegal. Sedangkan ibunya, Umi Kalsum, berasal dari Pemalang, Jawa Tengah. Kakek Buyut Hoegeng (dari pihak ayah) seorang ningrat keturunan Mataram yang tak boleh hidup di lingkungan keraton setelah pemberontakan Diponegoro. Kakek buyut itu, yang hanya ia kenal dengan sebutan "Pangeran", konon berpihak kepada Diponegoro dan memusuhi Belanda saat perang itu meletus.
Alhasil, Pak Hoegeng bisa disebut keturunan ningrat. Sekalipun begitu toh latar belakang budaya pesisirnya?tempat ia lahir, hidup, dan dibesarkan?yang berpengaruh besar terhadap diri Hoegeng. Sebuah budaya yang menimbulkan konotasi khas: "orang Pekalongan", cerita di seputar "orang Pekalongan".
Tahun 1965 Hoegeng diangkat Presiden Sukamo sebagai Menteri Iuran Negara dalam Kabinet 100 Menteri. Sekretarisnya memberitahukan bahwa di balik pintu kerjanya sudah menunggu seorang tamu dari Pekalongan. Sang tamu tak mau bilang ia datang untuk urusan apa. Pesan kepada sekretaris pribadinya singkat. Khas gaya Pekalongan bila hendak bertemu dengan orang Pekalongan: "Pak Hoegeng pasti menerima kedatangan saya!"
Orang yang menunggu itu ternyata Hasan, teman main layang-layang Hoegeng ketika masa kanak-kanak. Begitu Hasan masuk, dan pintu tertutup, maka menyemburlah sumpah serapah yang hangat dan gembira: "Asu. Kowe benar-benar asu ya. Gendheng benar wong Pekalongan bisa-bisanya jadi menteri." Itulah yang disebut Hoegeng sebagai "gaya Pekalongan", sebuah gaya budaya Jawa pinggiran yang bisa disandingkan dengan gaya Jawa Timuran.
Yang menarik, tentu saja bila kedua orang berbudaya pinggiran bertemu. Alkisah, tak lama sesudah pengangkatannya sebagai menteri, Hoegeng menerima telegram dari dr. Soebandrio, anak wedana yang berasal dari Jawa Timur, yang juga diangkat sebagai menteri oleh Bung Karno. Telegram itu berisi ucapan selamat yang tak mungkin diceritakan pada bawahannya: "Diancuk (sialan!). Kowe diangkat pula jadi menteri!"
Tak pelak, tulis seseorang di koran, hal itu menjadikan buku ini renyah dan enak dibaca.
Hoegeng kuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) tahun 1940 pada usia 19. Sekolah inilah yang kemudian menghantarkannya pada profesi kepolisian, profesi yang membuatnya bergaul dengan berbagai pengalaman yang menarik. "Menjadi pejabat, apalagi penegak hukum, memang banyak tantangan dan godaan. Banyak pejabat yang kaya raya hanya karena tak tahan godaan disuap, dan membuat pleidoi bahwa kekayaannya itu didapat karena persahabatan."
Tahun 1956 Hoegeng ditugaskan sebagai Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara?suatu wilayah yang sering disebut sebagai tempat kasus terberat di Indonesia. Sebutan itu terbukti betul. Begitu tiba di tempat tugasnya, Hoegeng harus menerima ucapan selamat datang yang unik. la menemukan rumah dinasnya penuh dengan barang luks, kiriman seseorang yang mengaku sebagai "ketua panitia selamat datang".
Tentu saja Hoegeng menolak sambutan unik itu. Akhirnya, karena sampai batas waktu yang ditetapkan barang-barang tersebut belum juga dikeluarkan, maka Hoegeng memerintahkan anak buahnya mengeluarkan barang-barang luks secara paksa.
Saat pamitan di Jakarta sebelum berangkat ke Medan, Jaksa Agung Soeprapto mengeluarkan pernyataan yang selalu terngiang-ngiang di kepala Hoegeng, "Anda ditugaskan memberantas penyelundupan, judi, dan korupsi. Tetapi pada akhirnya terserah diri sendiri. Apakah mampu bertahan, atau tak lebih dari pejabat yang harganya bisa dihitung: tiga, empat, enam bulan atau setahun! Banyak yang tidak tahan, dan kami biasa dengar ejekan!"
Hoegeng rupanya bukan termasuk pejabat yang bisa disuap. Ia bersikap tegas. "Saya memiliki persepsi tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab. Maka keinginan saya yang pertama adalah menegahkan citra ideal polisi dan diri saya," katanya
Ia masih memegang prinsip itu hingga kariernya menanjak ke tangga yang paling puncak: sebagai Kapolri. Justru, pada masa itulah Hoegeng berhasil membongkar kasus Robby Tjahyadi , penyelundup mobil mewah kelas kakap, yang jadi salah seorang konglomerat tekstil di Indonesia.
Kasus itu merupakan kasus yang menggemparkan. Melalui modus operandi yang canggih, Robby Tjahyadi, yang hanya jebolan SMA, berhasil menyelundupkan 228 mobil mewah ke Indonesia. Diketahui, sebelumnya sekitar 3.000 mobil mewah lainnya sudah diselundupkan ke Indonesia.
la juga menggemparkan karena faktor lain. Kendati tim inti penyelundupan itu hanya tiga orang, penyelundupan itu sendiri melibatkan puluhan pejabat tinggi di Bea Cukai dan kepolisian. Setelah kasus ini disidangkan di pengadilan yang melibatkan 27 orang saksi, Robby dihukum 10 tahun,
Tak lama sesudah terbongkarnya kasus Robby Tjahyadi, kepada wartawan Hoegeng menjanjikan lagi sebuah berita besar. Yakni, terbongkarnya kasus penyelundupan besar di Tanjung Priok. Sayang, sebelum janji itu terlaksana, Hoegeng menyadari, kariernya di dunia kepolisian harus selesai sebelum masa jabatannya habis. Itu diketahuinya sejak ia diberi sepucuk surat. Isinya: ia dijadikan duta besar, mendapatkan tugas baru di Kerajaan Belgia.
Sejak awal Hoegeng sudah memilih untuk menolak tugas berat tersebut. Setelah Pak Hoegeng berbicara dengan atasannya, Menteri Pertahanan dan Keamanan Panggabean, ia menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan tawaran itu. "Lho, bagaimana Mas, mengenai soal dubes itu?" tanya Presiden Soeharto. "Saya tak bersedia jadi dubes, Pak," jawab Hoegeng. "Tapi tugas apa pun di Indonesia akan saya terima, Pak." Soeharto menjawab lagi, "Di Indonesia tidak ada lowongan lagi, Mas Hoegeng." Hoegeng pun langsung nyeletuk, "Kalau begitu, saya keluar saja." Mendengar itu, Soeharto terdiam, Hoegeng juga diam.
Tentu saja, dengan segera pemberhentian itu mengundang kontroversi. Apalagi penggantinya temyata berusia lebih tua dibandingkan dirinya. Karena itu, tak heran, setelah selesai menghadap Presiden, wartawan memberondongnya dengan pertanyaan olokan: "Apakah Bapak sedang diremajakan atau dipertuakan?" Hoegeng, yang biasanya tangkas menjawab pertanyaan wartawan, kali itu harus kelabakan.
Banyak yang mengaitkan pencopotan Hoegeng dengan terbongkarnya kasus Robby. Ada pendapat, ia tidak disukai banyak pejabat. Soalnya, Hoegeng membongkar kasus itu sebelum badan komando pelaksana bagian penyelundupan pimpinan Ali Said turun tangan. Padahal, di pihak lain, Hoegeng sendiri sering merasa tidak sabar. Tahun 1968 kepolisan menemukan banyak mobil selundupan lolos tanpa melalui prosedur yang sah. Tahun itu juga bahkan disita empat buah Mercy mewah hasil selundupan. Anehnya, demikian kata Hoegeng, Kejaksaan Tinggi Jakarta lantas mendeportir perkara itu.
Selain memberantas penyelundupan, Hoegeng juga dikenal karena kegigihannya menguak kasus Sum Kuning, yang melibatkan sejumlah anak pejabat tinggi militer. Selain itu, Hoegeng yang memberlakukan peraturan wajib helm bagi pengendara sepeda motor.
Selain berisi sejumlah pengalaman pribadinya mengabdi di kepolisian, buku ini juga memuat pandangan Hoegeng mengenai lembaga itu. Misalnya, ia memimpikan "pemulihan wewenang Polri". la memimpikan peran kepolisian yang murni. Artinya, polisi tidak termasuk dalam unsur ABRI. Sebagaimana di negara lain, ia bermimpi suatu kali kepolisian langsung di bawah Presiden/Perdana Menteri atau Mendagri.
la berpendapat, secara prinsip ada perbedaan antara doktrin polisi dan militer. Yang pertama, tembak dulu, lalu perkaranya urus belakangan?sebab yang dihadapi militer dalam suatu perang jelas musuhnya. Sedang polisi, jangan tembak, tetapi dudukkan perkara dulu. "Ketika saya menyampaikan tanggapan saya demikian," kata Pak Hoegeng, "Pejabat Presiden Soeharto tidak membantah."
Bagaimana kriteria polisi yang ideal. Hoegeng menjawab "Saya barapkan polisi bisa tetap lurus. Saya harapkan generasi muda polisi jujur."
Meski sudah lama meninggalkan dunia kepolisan, ia masih menerima laporan tentang kondisi polisi. Laporan ini, tentunya hanyalah cermin kecil dari dunia kapolisan sekarang. Misalnya, masih ada orang yang diminta membayar macam-macam ketika ingin mengikuti ujian masuk polisi. "Menurut saya, hal seperti itu tidak boleh jadi. Dulu waktu saya masih dinas sebagai Kapolri, praktek semacam itu memang ada, tapi lalu saya ambil tindakan," katanya
Ramadhan K.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo