KURS Liem Swie King kembali naik. Dalam All England ke-71 pekan
lalu di stadion Wembley, London, ia menundukkan Prakash Padukone
dari India. King menang melalui maraton set. Angkanya 11-15,
15-4 dan 15-6. "King memang lebih baik dari saya," kata Prakash
di kamar pakaian selepas pertandingan final tunggal putra itu.
Bagi King, 24 tahun, kemenangan ini merupakan sukses ketiga
sejak partisipasinya di All England 1975. Ia menjadi juara di
tahun 1978 (mengalahkan Rudy Hartono) dan 1979 (mengalahkan
Flemming Delfs). Tahun 1980 ia dipecundangi oleh Prakash. Tak
heran King begitu terharu, bahkan sampai menitikkan air mata,
atas kemenangannya tahun ini.
King -- yang sama sekali tak mengikuti "pemanasan" di Kejuaraan
Bulutangkis Terbuka Denmark dan Swedia -- dalam All England kali
ini sebetulnya tak begitu memukau. Ia sempat kecolongan oleh
lawan terlebih dulu. Dalam dua set berikutnya ia tertolong oleh
kecerobohan Prakash. Duapuluh dari 30 angka yang menentukan bagi
King diperolehnya lantaran kesalahan lawan.
Penampilan King yang sukar ditebak itu telah menyebabkan jantung
penonton Indonesia di stadion Wembley maupun yang menyaksikannya
lewat layar TVRI berdebar keras. Di Jalan Sunan Kudus 37, Kudus,
dilaporkan Kompas, ibunya bahkan sempat meninggalkan pesawat
televisi dan masuk ke kamar tidur lantaran tak tahan melihat
kekalahan King di set pertama. Tak lama kemudian menyusul pula
ayahnya. Keduanya kembali menonton setelah keadaan berbalik
untuk King.
Ng Thiat Po, ayahnya, sempat menepuk-nepuk pesawat televisinya
sambil berkata: "Kamu harus menang, King." Ketika pengembalian
bola Prakash pada angka yang menentukan dinyatakan ke luar
lapangan, dan kemenangan King jadi pasti, Ng Thiat Po
mengelus-elus wajah putranya di layar televisi itu. Sementara
saudara-saudaranya saling berangkulan dan berjingkrak
kegirangan.
King mengatakan di set pertama ia terpancing oleh permainan
rally Prakash. "Padahal itu bukan tipe saya," katanya. "Untung
kemudian saya kembali memegang inisiatif."
Penonton Indonesia datang dari berbagai kota di Eropa. Terselip
di antara 6.000 pengunjung di stadion Wembley, orang Indonesia
menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung begitu King menang.
King mendapat piala atas kemenangannya, juga mengantungi hadiah
uang ?1.000 (sekitar Rp 1« juta). Ia bertekad mempertahankan gelar
itu tahun depan.
Di partai ganda putra, tekad Tjuntjun/Johan Wahyudi untuk masuk
Guinness Book of Records sebagai juara All England 7 kali
ternyata tak kesampaian. Kartono/Heryanto mengalahkan pasangan
itu. Angkanya 15-9 dan 15-8. "Permainan Tjuntjun dan Johan
sangat mengecewakan," komentar Lion Tong Seng, abang dan orang
pertama melatih Tjuntjun. "Saya hitung ada sekitar 50 kali serve
mereka tak mendapat angka sama sekali. Ini keterlaluan."
Tjuntjun/Johan Wahyudi, kata Liong, kehilangan kendali
permainan. "Mereka sebenarnya adalah pemain yang menyerang.
Bukan pihak yang bertahan." Pasangan itu sepulang dari All
England 1980 kurang berlatih. Mereka baru aktif kembali tiga
bulan menjelang ke All England kemarin.
Siapakah Kartono dan Heryanto? Keduanya bukanlah orang baru di
lingkungan pemain nasional. Berusia 26 tahun, keduanya pernah
memperkuat tim Indonesia dalam SEA Games X di Jakarta, 1979, All
England, dan berbagai turnamen internasional lainnya. Kartono,
lahir di Tegal, adalah seangkatan dengan Liem Swie King di Klub
Jarum, Kudus. Sedang Heryanto, lahir di Tasikmalaya, berasal
dari Klub Mutiara, Bandung Pasangan ini, menurut pembina Stanley
Gouw, akan menjadi ganda terkuat nasional.
Prestasi Liem Swie King dan Kartono/Heryanto kembali mengukuhkan
supremasi Indonesia di All England -- khususnya di bagian putra.
Sejak Tan Joe Hok (Hendra Kartanegara) menjuarai nomor tunggal
All England 1959, tim Indonesia hanya kehilangan peluang 11
kali. Sedang di partai ganda putra, mulai Christian/Ade Chandra
memboyong gelar juara di tahun 1972, baru sekali kecolongan.
Prestasi tim putri Indonesia tampak menyedihkan sekali. Tak satu
partai pun, baik tunggal maupun ganda, yang lolos ke final. Di
nomor tunggal Verawaty dan Ivanna diandalkan menjadi juara, tapi
keduanya tersisih di semifinal. Verawaty dikalahkan oleh Lene
Koppen dari Denmark. Sedang Ivanna disisihkan oleh Sun Ai Hwang
dari Korea Selatan. "Seharusnya partai ini adalah All Indonesian
Final," kata pelatih Tahir Djide. "Lantaran kurang tekun
akhirnya mereka gagal."
Verawaty yang dikalahkan Lene Koppen (11-8, 10-12 dan 11-9)
sebenarnya di set penentuan sudah unggul 6-0 lebih duluan.
Sementara Lene Koppen tampak sudah kelelahan. Tapi "entah
bagaimana keadaan jadi berbalik," kata Tahir Djide.
Ivanna, setelah unggul di set pertama dan sempat pula memimpin
7-4 di set kedua, dipecundangi Sun Ai Hwang dengan ketekunan. Ia
akhirnya kalah. Skor 11-5, 7-11 dan 0-11. Verawaty dan Ivanna
tak membuka mulut atas kegagalan tersebut.
Di partai ganda Verawaty/Imelda Wigoeno dan Thresia
Widyastuti/Ruth Damayanti, tak mampu mencapai semifinal "Tiga
hari saya hampir tidak bisa makan dan tidur, gara-gara kalah di
nomor ganda," kata Imelda. Ia kesal karena lawannya Yun Ja
Kim/Sang Hee Yu dari Korea Selatan adalah pendatang baru.
Sementara Widyastuti/Ruth Damayanti dikalahkan oleh pasangan
Atsuko Tokuda/Yoshiko Yonekura dari Jepang di babak perempat
final, satu-satunya prestasi "terbaik" di nomor ganda putri
untuk All England 1981.
Juara tunggal putri All England 1981 adalah Sun Ai Hwang. Di
final ia mengalahkan Lene Koppen dengan angka 11-1 dan 11-2,
masing-masing dengan waktu 10 menit.
Sun Ai Hwang, 19 tahun, kini kuliah di Sekolah Tinggi Olahraga
di Seoul. Tertarik bulutangkis dua tahun lalu, ia melesat cepat
berkat latihan keras. Ia berlatih total enam jam sehari.
Penguasaan lapangannya baik. Jarang bola tidak terjangkau
olehnya. Smash-nya keras, dan tajam dibandingkan dengan
penampilannya dalam Kejuaraan Bulutangkis Terbuka di Tokyo,
Januari. Ia waktu itu juga juara. Diduga putri Korea ini akan
unggul di All England sampai beberapa kali.
Kegagalan tim putri Indonesia di All England agak merisaukan.
Mereka dipersiapkan untuk perebutan Piala Uber di Tokyo, akhir
Mei. Di kertas, lawan berat yang bakal dihadapi sebelum ke final
adalah Inggris, juara zone Eropa.
PBSI telah menunjuk Ferry Sonneville dkk menangani pembinaan tim
putri ini. Para pembina ini ingin menunjuk Rudy Hartono sebagai
manajer tim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini