JALAN Raya Rangkayo Rasuna Said semakin menarik. Di jalan yang
oleh orang Jakarta masih dikenal sebagai Jalan Raya Kuningan
pekan lalu diresmikan pemakaian gedung Kedutaan besar Belanda
yang baru.
Arsitektur bangunan kedutaan itu termasuk unik bagi Jakarta.
Bangunan pokok berbentuk segi delapan, suatu tema yang berulang
dengan skala lebih kecil pada bangunan yang menampung pusat
kebudayaan Erasmus Huis. Seluruh bangunan merupakan satuan
kompak yang menyentuh cita rasa melalui variasi perpaduan garis
dan bidang yang tak terhingga. Kesan ini diperkuat oleh
pemanfaatan optimal perbedaan tinggi tanah yang luasnya 1,2 ha
itu. Bukit-bukit rendah yang ditanami berbagai jenis tumbuhan
mendukung konsepsi ini.
Memasuki gedung itu kesan pertama ialah kemewahan. Tapi "yang
penting bukan bahan bangunan mahal, melainkan bentuk dan ruang
arsitektur," kata M.J.M. Moll, arsitek dari perusahaan
Haskoning di Negeri Belanda yang mendisain bangunan itu. Ia
bekerjasama dengan N.J.J. Garonski, partnernya dalam perusahaan
itu serta Iwan Tirtaatmadja dari perusahaan arsitektur
Sangkuriang di Bandung.
"Semua kayu untuk kosen ialah kayu kamper," cerita G.M. Ansems,
direktur PT Decorient Indonesia yang melaksanakan konstruksi
bangunan itu. Ansems menjelaskan bahwa umumnya dipakai bahan
yang terdapat di pasaran lokal. Daun pintu misalnya dari
tripleks, langit-langit terbuat dari kayu ramin sedang sebagian
dinding dilapis porselen yang dibeli di Jakarta.
Unsur arsitektur yang terutama mengesankan ialah ruang tengah
gedung kedutaan itu. Ruang ini membentuk "sumur cahaya" -- yang
menembus semua lantai, mencapai atap -- terdiri dari selapis
kaca yang tembus cahaya. Di dasar "sumur cahaya" itu terdapat
sebuah kolam dangkal berisikan ikan mas. "Negeri Belanda kan
terkenal karena airnya," kata Moll. "Tapi juga kolam merupakan
ciri kebudayaan Indonesia."
Di tepi kolam itu terdapat pangkal tangga, yang berpatah-patah
singgah di setiap lantai, menembus ruang "sumur cahaya" itu.
"Bukan bagian tangga yang hilang dalam lubang di langit-langit,"
komentar Ir. Suwondo B. Sutedjo, Ketua Tim Penilai Arsitektur
Kota dari LKI. Ia belum melihat gedung itu, tapi menilainya
dari gambarnya. "Tangga itu membuat ruang megah dan terang itu
akrab dan terjangkau skala manusia."
Mendaki tangga itu dari lantai ke lantai, orang tidak terpisah
dari hampir semua kegiatan dalam gedung itu. Semua lantai
terjangkau pandangan sementara cita rasa tergugah oleh dua
bentangan karpet berwarna-warni.
Bentuk pokok segi delapan gedung itu membuka kemungkinan
penataan interior demikian mengesankan. Bidang kaca dan dinding
bergantian condong membentuk dan menegaskan berbagai ruang tanpa
membatasinya. Ruang membuka pandang ke seluruh interior dan
exterior gedung itu, hingga bernapaskan keakraban dan
keterbukaan. "Keterbukaan memang menjadi pemikiran dasar dalam
mendisain bangunan ini," kata Moll. "Sebagai tamu di negeri
orang ini wajar."
Juga konstruksinya mungkin tidak bnyak ditemukan di Jakarta.
Semua lantai di gedung pada inti tegak lurus yang kaku. Inti ini
selain menampung lift dan kamar kecil di setiap lantai,
terutama berfungsi menampung semua gaya dan momen bangunan itu.
Akibatnya kolom di batas luar plat lantai tidak perlu besar,
karena hanya menunjang sebagian berat plat lantai tanpa
menampung momen. "Pembesian hanya sekitar 90 kg per meter
kubik," kata Moll. "Umumnya sebuah kolom menggunakan besi sampai
400 kg." Penghematan besi karena keunggulan konstruksi juga
tercapai pada plat lantai. Semua lantai terbentang tanpa balok
penunjang. Meski sedikit lebih banyak menggunakan beton,
konstruksi ini sangat menghemat besi dan pasti lebih mudah
dikerjakan, menghemat ongkos tenaga.
Mungkin Kedutaan Jepang dan Prancis di Jalan Thamrin mendekati
keberhasilan arsitektur gedung kedutaan Belanda.
Hadir juga gedung Kedutaan Hungaria di Jalan Rasuna Said sejak
1 Februari 1980. Bentuk yang unik di situ ialah dinding kaca
miring yang meliputi seluruh gedung mulai dari lantai satu.
"Kaca ini penting untuk menolak sinar dan panas matahari serta
debu," ujar Geza Bodahazi seorang diplomat Hungaria. Namun
bangunan yang dibungkus dinding kaca itu bagaikan sebuah kotak
berlantai empat tanpa imajinasi. "Pada gedungnya memang tidak
terdapat unsur arsitektur Hungaria," kata Bodahazi lagi.
Tata letak berbagai gedung di lokasi itu memang cukup terencana.
Halamannya lengkap dengan kolam renang. Semua diplomat Hungaria,
termasuk duta besarnya, tinggal di kompleks itu.
Unsur arsitektur yang menarik ialah lantai dasar yang kosong.
Hanya sebuah tangga putar dari dalam ruangan kaca mengantar
pengunjung ke lantai pertama Kedutaan Hungaria itu.
Kedutaan Republik Korea (Selatan) yangg selesai dibangun
Agustus 1978 masih berdekatan, tapi di luar kawasan yang
direncanakan DKI untuk kedutaan. Terletak di Jalan Gatot
Subroto, arsitekturnya "harus merupakan gedung perkantoran yang
modern," kata Kim Chang Ho, atase pers dan kebudayaan. Tapi
syarat mengekspresikan ciri kebudayaan Korea agaknya tercapai
dengan jaringan dekoratif yang menutup muka dan belakang gedung
itu.
Ornamen pada jaringan itu khas Korea "Pola ini terdapat pada
pintu dan jendela di rumah Korea," ujar Kim. Juga dinding luar
yang menerawang melalui jaringan ini dan terlapis kepingan
porselen, mengesankan rumah Korea yang terbuat dari batu bata
tidak berlapis.
Selain elemen dekoratif itu, bangunannya yang berupa kotak
berlantai empat menjemukan, tidak berbeda dengan kantor mana pun
di Jakarta. Bahkan letaknya pada tanah seluas 4000 mÿFD tidak
menimbulkan kesan. Secara sistematis membagi tanah itu menjadi
halaman parkir di muka dan taman kecil di belakang. Gedung
perwakilan dagang Korea Selatan bersebelahan letaknya. Kedua
gedung itu dirancang dan dilaksanakan oleh perusahaan Korea.
Yang mungkin kelak mengimbangi Kedutaan Belanda, setidaknya dari
segi arsitektur, ialah Kedutaan India yang sedang giat dibangun
PT Hutama-Takenaka. Bangunan yang didisain Bhagwati Associates
Ltd. dari India bersegi empat, berlantai empat dan berbentuk
kerucut papak. "Seperti candi di India," ujar M.P. Patravali
sambil membentangkan gambar disainnya. Patravali, insinyur
konstruksi, memimpin proyek itu.
Konstruksi bangunan itu belum menemukan taranya di Jakarta.
Seluruh bangunan itu digantung pada empat kolom yang merupakan
rusuk kerucut itu. "Pasti tahan gempa," ujar Patravali. Menurut
dia, perhitungan konstruksinya dilakukan dengan komputer.
"Begitu banyak faktor yang harus diperhitungkan."
Seperti di Kedutaan Belanda, di Kedutaan India juga bakal ada
"sumur cahaya". Tapi di sini selain fungsional ia merupakan
unsur spiritual juga. Cahaya akan terlihat menembus semua
lantai. Lubang di atas "sumur" itu hanya ditutup selapis
fibreglass sebagai pelindung. Konsep ini memang berakar dalam
kebudayaan India. "Tidak boleh ada sesuatu di atas kepala,
terkecuali Yang Mahaesa," ujar Patravali. Di beberapa negara
bagian India unsur ini merupakan bagian dari kode pembangunan
gedung bertingkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini