Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

"sumur cahaya" ke semua lantai

Kedutaan besar perwakilan asing di jakarta mempunyai berbagai macam arsitektur. misalnya kedubes belanda mempunyai ruang bernapaskan keterbukaan dan india berbentuk candi. (art)

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN Raya Rangkayo Rasuna Said semakin menarik. Di jalan yang oleh orang Jakarta masih dikenal sebagai Jalan Raya Kuningan pekan lalu diresmikan pemakaian gedung Kedutaan besar Belanda yang baru. Arsitektur bangunan kedutaan itu termasuk unik bagi Jakarta. Bangunan pokok berbentuk segi delapan, suatu tema yang berulang dengan skala lebih kecil pada bangunan yang menampung pusat kebudayaan Erasmus Huis. Seluruh bangunan merupakan satuan kompak yang menyentuh cita rasa melalui variasi perpaduan garis dan bidang yang tak terhingga. Kesan ini diperkuat oleh pemanfaatan optimal perbedaan tinggi tanah yang luasnya 1,2 ha itu. Bukit-bukit rendah yang ditanami berbagai jenis tumbuhan mendukung konsepsi ini. Memasuki gedung itu kesan pertama ialah kemewahan. Tapi "yang penting bukan bahan bangunan mahal, melainkan bentuk dan ruang arsitektur," kata M.J.M. Moll, arsitek dari perusahaan Haskoning di Negeri Belanda yang mendisain bangunan itu. Ia bekerjasama dengan N.J.J. Garonski, partnernya dalam perusahaan itu serta Iwan Tirtaatmadja dari perusahaan arsitektur Sangkuriang di Bandung. "Semua kayu untuk kosen ialah kayu kamper," cerita G.M. Ansems, direktur PT Decorient Indonesia yang melaksanakan konstruksi bangunan itu. Ansems menjelaskan bahwa umumnya dipakai bahan yang terdapat di pasaran lokal. Daun pintu misalnya dari tripleks, langit-langit terbuat dari kayu ramin sedang sebagian dinding dilapis porselen yang dibeli di Jakarta. Unsur arsitektur yang terutama mengesankan ialah ruang tengah gedung kedutaan itu. Ruang ini membentuk "sumur cahaya" -- yang menembus semua lantai, mencapai atap -- terdiri dari selapis kaca yang tembus cahaya. Di dasar "sumur cahaya" itu terdapat sebuah kolam dangkal berisikan ikan mas. "Negeri Belanda kan terkenal karena airnya," kata Moll. "Tapi juga kolam merupakan ciri kebudayaan Indonesia." Di tepi kolam itu terdapat pangkal tangga, yang berpatah-patah singgah di setiap lantai, menembus ruang "sumur cahaya" itu. "Bukan bagian tangga yang hilang dalam lubang di langit-langit," komentar Ir. Suwondo B. Sutedjo, Ketua Tim Penilai Arsitektur Kota dari LKI. Ia belum melihat gedung itu, tapi menilainya dari gambarnya. "Tangga itu membuat ruang megah dan terang itu akrab dan terjangkau skala manusia." Mendaki tangga itu dari lantai ke lantai, orang tidak terpisah dari hampir semua kegiatan dalam gedung itu. Semua lantai terjangkau pandangan sementara cita rasa tergugah oleh dua bentangan karpet berwarna-warni. Bentuk pokok segi delapan gedung itu membuka kemungkinan penataan interior demikian mengesankan. Bidang kaca dan dinding bergantian condong membentuk dan menegaskan berbagai ruang tanpa membatasinya. Ruang membuka pandang ke seluruh interior dan exterior gedung itu, hingga bernapaskan keakraban dan keterbukaan. "Keterbukaan memang menjadi pemikiran dasar dalam mendisain bangunan ini," kata Moll. "Sebagai tamu di negeri orang ini wajar." Juga konstruksinya mungkin tidak bnyak ditemukan di Jakarta. Semua lantai di gedung pada inti tegak lurus yang kaku. Inti ini selain menampung lift dan kamar kecil di setiap lantai, terutama berfungsi menampung semua gaya dan momen bangunan itu. Akibatnya kolom di batas luar plat lantai tidak perlu besar, karena hanya menunjang sebagian berat plat lantai tanpa menampung momen. "Pembesian hanya sekitar 90 kg per meter kubik," kata Moll. "Umumnya sebuah kolom menggunakan besi sampai 400 kg." Penghematan besi karena keunggulan konstruksi juga tercapai pada plat lantai. Semua lantai terbentang tanpa balok penunjang. Meski sedikit lebih banyak menggunakan beton, konstruksi ini sangat menghemat besi dan pasti lebih mudah dikerjakan, menghemat ongkos tenaga. Mungkin Kedutaan Jepang dan Prancis di Jalan Thamrin mendekati keberhasilan arsitektur gedung kedutaan Belanda. Hadir juga gedung Kedutaan Hungaria di Jalan Rasuna Said sejak 1 Februari 1980. Bentuk yang unik di situ ialah dinding kaca miring yang meliputi seluruh gedung mulai dari lantai satu. "Kaca ini penting untuk menolak sinar dan panas matahari serta debu," ujar Geza Bodahazi seorang diplomat Hungaria. Namun bangunan yang dibungkus dinding kaca itu bagaikan sebuah kotak berlantai empat tanpa imajinasi. "Pada gedungnya memang tidak terdapat unsur arsitektur Hungaria," kata Bodahazi lagi. Tata letak berbagai gedung di lokasi itu memang cukup terencana. Halamannya lengkap dengan kolam renang. Semua diplomat Hungaria, termasuk duta besarnya, tinggal di kompleks itu. Unsur arsitektur yang menarik ialah lantai dasar yang kosong. Hanya sebuah tangga putar dari dalam ruangan kaca mengantar pengunjung ke lantai pertama Kedutaan Hungaria itu. Kedutaan Republik Korea (Selatan) yangg selesai dibangun Agustus 1978 masih berdekatan, tapi di luar kawasan yang direncanakan DKI untuk kedutaan. Terletak di Jalan Gatot Subroto, arsitekturnya "harus merupakan gedung perkantoran yang modern," kata Kim Chang Ho, atase pers dan kebudayaan. Tapi syarat mengekspresikan ciri kebudayaan Korea agaknya tercapai dengan jaringan dekoratif yang menutup muka dan belakang gedung itu. Ornamen pada jaringan itu khas Korea "Pola ini terdapat pada pintu dan jendela di rumah Korea," ujar Kim. Juga dinding luar yang menerawang melalui jaringan ini dan terlapis kepingan porselen, mengesankan rumah Korea yang terbuat dari batu bata tidak berlapis. Selain elemen dekoratif itu, bangunannya yang berupa kotak berlantai empat menjemukan, tidak berbeda dengan kantor mana pun di Jakarta. Bahkan letaknya pada tanah seluas 4000 mÿFD tidak menimbulkan kesan. Secara sistematis membagi tanah itu menjadi halaman parkir di muka dan taman kecil di belakang. Gedung perwakilan dagang Korea Selatan bersebelahan letaknya. Kedua gedung itu dirancang dan dilaksanakan oleh perusahaan Korea. Yang mungkin kelak mengimbangi Kedutaan Belanda, setidaknya dari segi arsitektur, ialah Kedutaan India yang sedang giat dibangun PT Hutama-Takenaka. Bangunan yang didisain Bhagwati Associates Ltd. dari India bersegi empat, berlantai empat dan berbentuk kerucut papak. "Seperti candi di India," ujar M.P. Patravali sambil membentangkan gambar disainnya. Patravali, insinyur konstruksi, memimpin proyek itu. Konstruksi bangunan itu belum menemukan taranya di Jakarta. Seluruh bangunan itu digantung pada empat kolom yang merupakan rusuk kerucut itu. "Pasti tahan gempa," ujar Patravali. Menurut dia, perhitungan konstruksinya dilakukan dengan komputer. "Begitu banyak faktor yang harus diperhitungkan." Seperti di Kedutaan Belanda, di Kedutaan India juga bakal ada "sumur cahaya". Tapi di sini selain fungsional ia merupakan unsur spiritual juga. Cahaya akan terlihat menembus semua lantai. Lubang di atas "sumur" itu hanya ditutup selapis fibreglass sebagai pelindung. Konsep ini memang berakar dalam kebudayaan India. "Tidak boleh ada sesuatu di atas kepala, terkecuali Yang Mahaesa," ujar Patravali. Di beberapa negara bagian India unsur ini merupakan bagian dari kode pembangunan gedung bertingkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus