Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Emas Buat Peselancar Sanur

Dengan medali emas Asian Games XII, Oka Sulaksana diproyeksikan masuk 10 besar dunia. Kerja kerasnya belum diikuti peningkatan kesejahteraannya.

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menengok tubuhnya yang liat dan kulitnya yang legam terbakar matahari, tidak sulit menerka bahwa lelaki muda ini besar di lingkungan pantai. I Gusti Oka Sulaksana, peraih medali emas cabang selancar angin di Asian Games XIII di Thailand minggu dua pekan lalu itu, memang tumbuh bersama debur ombak pantai Sanur, Bali.

Hampir setiap hari, sejak kelas empat SD, ia meliuk-liuk di atas papan selancar bersama naik-turunnya ombak. Sesekali, dengan perahu cadik, Oka kecil melaut bersama ayahnya yang nelayan. Sementara sang ayah menjaring ikan, Oka berenang-renang di laut lepas. ''Saya memang lahir di laut," kata Oka.

Karena garis tangannya sebagai anak laut itulah, pemuda kelahiran 29 April 27 tahun yang lalu itu menorehkan tinta emas bagi dunia selancar angin Indonesia. Dan pantai Pattaya Thailand menjadi saksi bagaimana pemuda yang cuma lulusan SMP itu berjuang mengalahkan peselancar kelas dunia lain seperti Motokazo Kenzo dari Jepang atau Kookiat Sakulfaeng dari Thailand.

Perjuangan Oka mempersembahkan emas kedua bagi Indonesia dalam Asian Games XII itu bukan tanpa halangan. Sampai race kedelapan, Oka memang telah mengantongi angka satu poin di atas Kenzo. Hitung-hitungan di atas kertas, asalkan satu dari dua race berikutnya dalam kelas berat mistral one design ini bisa dikuasai Oka, ayah satu anak itu bisa melaju menyongsong emas.

Tapi Kenzo, yang telah lama menjadi musuh bebuyutan Oka, menjalankan taktik curang. Di race kesembilan, Kenzo menabrak papan lancar Oka sampai ia terjatuh. Lalu pada race kesepuluh ia melakukan hal yang sama meski Oka tak sampai terjengkang. ''Tapi, karena menghindar, saya masuk ke jalur yang jelek." tambah Oka. Akibatnya, ia harus puas di urutan ketiga.

Persoalan tabrakan Kenzo itulah yang diprotes tim Indonesia. Dan hasilnya, peselancar Jepang itu ditambah angka hukumannya dari 14 menjadi 18, satu poin lebih tinggi dari Oka, yang 17 kali melakukan kesalahan dan dinyatakan sebagai pemenang. ''Oka punya bakat yang bagus. Ini kemenangan yang sudah lama kita persiapkan," kata Iskandar Sitompul, pelatih Oka di Pelatnas.

Kemenangan ini bukan prestasi Oka yang pertama. Tahun 1996 ia, misalnya, telah menggondol gelar juara pertama Singapore Open. Di Olimpiade Atlanta dua tahun lalu, ia masuk peringkat 13 dunia. Pada kejuaraan selancar angin di Inggris tahun lalu, ia berhasil menduduki tempat pertama. Dengan prestasinya itu Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia (Porlasi) memproyeksikan Oka bisa menembus peringkat 10 dunia di Olimpiade Sydney tahun 2000 mendatang.

Oka tampaknya bersemangat tinggi untuk bertarung di Sydney, meski sebelumnya ia hampir memutuskan menggantungkan papan selancarnya. ''Kalau beradu di Asian Games kalah, saya mau berhenti dan cari pekerjaan lain," katanya.

Pekerjaan memang persoalan lain bagi anak pasangan I Gusti Ketut Oka dan I Gusti Putu Raka Adi ini. Meski ia membuka toko Quick Silver yang menjual peralatan selancar di Sanur?bersama salah satu produsen pakaian selancar?sewa tempat yang tinggi menjadikan usahanya kembang kempis. Alternatif lain tampaknya tidak ada. Ia berharap problem dapurnya itu bisa diselesaikan pengurus Porlasi. ''Akan kita usahakan mencarikan dia pekerjaan. Mungkin sebagai pegawai negeri sipil Angkatan Laut atau di pelelangan ikan," janji Iskandar Sitompul.

Tidak jelas memang kapan pekerjaan baru itu bisa dilakoni Oka. Padahal pria Bali ini telah habis-habisan membela Indonesia di cabang selancar angin. Pada Singapore Open dan sebuah kejuaraan di Thailand, Oka membiayai keberangkatannya dengan meminjam uang dari bank yang kemudian dicicil dari keuntungan berdagang. Bahkan, di Negeri Singa itu, Oka pernah harus bermalam di pantai karena tak punya uang untuk kamar hotel.

''Olah raga selancar memang tidak populer. Sponsornya juga malas-malasan," ujar Soentoro, Ketua Umum PB Porlasi. Tapi itu bukan alasan jika Porlasi tak ingin kehilangan bintang dunia dari Sanur itu.

Arif Zulkifli dan Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus