Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gurita Bisnis PLA: dari Karaoke, Telekomunikasi, Farmasi, Properti, sampai Korupsi

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGILAH ke negeri Cina kalau mau tahu lebih banyak perihal bisnis tentara. Jejak sejarah bisnis angkatan bersenjata Cina yang disebut Tentara Pembebasan Rakyat (People's Liberation Army - PLA) ini sungguh panjang. F. Andy Messing Jr., bekas Mayor Angkatan Darat Amerika Serikat, menulis di koran Los Angeles Times edisi Desember 1998 bahwa militer Cina sudah mengenal bisnis sejak 1881, ketika mereka mengeluarkan Chinese Exclusion Act guna menangkal invasi ekonomi Amerika. Inilah akta yang satu abad silam sudah merumuskan kebijakan pemerintah Cina dalam perdagangan.

Dalam perjalanan kariernya, tentara Cina ditempa agar lebih mampu mandiri. Mereka belajar menjalankan sekolah dan mengelola rumah sakit sendiri?suatu usaha yang sama sekali jauh dari urusan militer, sampai kemudian?ketika Negeri Tirai Bambu ini mulai melaksanakan reformasi dalam bidang ekonomi pada 1979?pemimpin liberalisasi ekonomi Cina, Deng Xiaoping, meneriakkan pernyataan, "Menjadi kaya adalah mulia." Maka, sejak itulah organisasi militer yang beranggotakan 2,9 juta orang ini mulai sibuk menumpuk kekayaan dan melirik peluang bisnis. Dengan dalih berbisnis sebagai ikhtiar menambah anggaran yang sedikit, semakin terbukalah peluang bagi PLA untuk menjadi entrepreneur.

Semangat kapitalistis tentara Cina makin menjadi pada 1984, saat pemerintah pusat mengeluarkan keputusan agar unit-unit militer mengubah fasilitas produksi yang mubazir atau tak dimanfaatkan secara penuh untuk memproduksi barang-barang keperluan sipil. Prestasi dagang mereka langsung meroket tajam. Dalam sekejap, bisnis PLA menjelma menjadi sebuah konglomerasi. Hasilnya pun sungguh luar biasa. Jika pada 1979 perusahaan milik militer hanya mampu memasok 10 persen produk sipil, lima tahun kemudian jumlahnya meningkat menjadi 80 persen.

Sejak saat itu pula keterlibatan PLA dalam pelbagai aktivitas bisnis dan perdagangan semakin luas. Waktu itu, kalangan investor bahkan sudah lazim menjalin kongsi dengan unit-unit militer di seluruh daratan Cina. Kegiatan bisnis tentara menjangkau bidang-bidang dari yang sepele, seperti tempat pijat dan karaoke, sampai yang berteknologi tinggi semacam telekomunikasi dan penerbangan. Aparat berseragam ini juga punya gawe di usaha farmasi, perhotelan, properti, garmen, dan sebagainya.

Para pengamat Cina memperkirakan, PLA punya 15.000 jenis usaha yang menggurita di mana-mana. Menurut suatu laporan internal, pada 1996, keuntungan dan pajak (lishui) dagang tentara ini mencapai sekitar US$ 6 miliar, sedangkan angka pertumbuhannya sejak 1990 sebesar 20 persen per tahun. Hasil ini cukup untuk menutup sepertiga total anggaran belanja tentara setiap tahun.

Namun perusahaan-perusahaan militer ini ternyata nakal juga. Mereka membentuk perusahaan bayangan di negara-negara bebas pajak, semacam Kepulauan Virgin milik Inggris, untuk mendepositokan laba yang direguk. Walau meraih sukses, para reformis ekonomi di dalam PLA sendiri bahkan mengeluh karena sebagian besar bisnis militer tidak mengikuti struktur standar manajemen. Akibatnya, PLA dan pemerintah sulit memonitor keuntungan dan pajaknya. Dari sinilah dugaan korupsi mencuat dan menjadi isu yang kuat bergema belakangan ini. Apalagi lembaga pemeringkat seperti PERC selalu menempatkan Cina di urutan bawah dalam hal korupsi dan pemerintahan yang bersih.

Akhirnya, Juli silam, Presiden Cina Jiang Zemin memerintahkan agar PLA menghentikan kiprah bisnisnya untuk?dalam konteks yang lebih luas?memberantas korupsi. Harap maklum. Aktivitas bisnis ilegal PLA dan Polisi Rakyat Bersenjata (Wujing), seperti penyelundupan dan penggelapan pajak, telah merugikan negara sampai US$ 12 milar per tahun. Suatu angka yang fantastis.

Beberapa pejabat Cina menilai, langkah mengejutkan Jiang untuk membersihkan dunia usaha dari pedagang berseragam ini tak lain untuk mereformasi militer menjadi komponen pertahanan nasional yang berdedikasi pada bangsanya. Selain itu, Jiang mengarahkan reformasi militer agar kalangan baju hijau taat kepada hukum negara dan tidak mengganggu urusan bisnis.

Perintah Jiang kontan ditaati. Dalam suatu upacara, pihak militer menyerahkan 390 perusahaannya di Provinsi Guangdong kepada pemerintah lokal akhir November silam. Total aset seluruh perusahaan yang diserahkan itu bernilai sekitar US$ 241 juta. Selang seminggu kemudian, menyusul 54 perusahaan dipindahtangankan ke sipil.

Menurut harian Xinmen Evening News edisi awal Desember 1998, Beijing memutuskan bahwa seluruh bisnis tentara rakyat sudah harus diserahkan ke pangkuan pemerintah akhir tahun ini. Namun sebagian pengamat masih ragu apakah keputusan itu bisa terlaksana. Soalnya, langkah PLA meninggalkan gelanggang bisnis tampak setengah hati. Buktinya, belum semua bisnis yang mereka kelola berpindah tangan. Agaknya, bagi tentara Cina, seperti juga bagi orang-orang yang pernah kaya, cara terbaik melipatgandakan uang adalah dengan melipat dan menggenggamnya erat-erat dan bukan menghibahkannya kepada orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum