Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang bingung, dan tidak habis pikir, mengapa Gus Dur merasa perlu mengunjungi Habibie, dan sesudahnya menemui Soeharto pada saat seperti sekarang ini. Gus Dur, walaupun dalam kondisi fisik lemah, tetaplah tokoh kuat di antara pemimpin masyarakat yang ada, sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa. Sebagai calon presiden, dan orang yang menginginkan pemilihan umum terselenggara secepatnya, tentu ia termasuk yang berorientasi ke depan. Mengapa berpaling ke Soeharto, gembong masa lalu yang penuh korupsi dan sedang jadi pusat sasaran untuk diadili itu? Apa yang ingin dicapainya?
Gus Dur tentu sudah menyediakan jawaban dengan alasannya, memang. Tapi kebingungan sebenarnya bukan disebabkan tidak adanya jawaban sesudah peristiwa berlalu. Melainkan karena ada ekspektasi yang tidak cocok, yang timbul karena gambaran yang sudah dipatok sebelumnya tidak mampu membantu memahami beberapa polah politik Gus Dur selanjutnya. Yang salah bukan Gus Dur, tapi persepsi yang baku mengenai pribadinya. Seolah-olah Gus Dur harus terus-menerus jadi pahlawan, bukan makhluk fana belaka. Misalnya, sering orang lupa bahwa Gus Dur juga seperti orang lainnya: punya keperluan-keperluan kecil yang melekat, punya kelemahan, bisa lelah, bisa sakit. Seakan-akan dia tidak mungkin silap, berbohong dan dibohongi; tidak pernah digerakkan oleh ambisi, ingin diakui, dendam, dan sifat-sifat manusiawi lainnya. Gus Dur juga sekadar pemimpin sebuah organisasi besar yang harus disantuni kebutuhannya, dipelihara, dan dilindungi dari musuh atau saingannya. Dengan mengingat ini semua, ekspektasi padanya tentu bisa lebih luwes: di samping motivasi luhur, mungkin saja kepentinganlah?baik pribadi maupun kelompok?yang jadi dasar langkah caturnya. Dengan itu, kita akan dibuat bisa mengerti, sekalipun tidak usah menyetujuinya. Selama ini banyak yang yakin, semua langkahnya adalah serius dan selalu sesuai dengan strategi besarnya, di antaranya: mengindonesiakan Islam, peri kebangsaan, kerukunan masyarakat majemuk, tertib hukum, dan demokrasi.
Gagasannya sedemikian menarik, dan ketegasan sikap moralnya sering dinyatakannya tanpa keraguan, sampai menjadikan dirinya satu-satunya tumpuan harapan. Terutama bagi kelompok minoritas yang sedang merasa terjepit, khususnya yang kecemasannya berlebihan. Karena merupakan satu-satunya, orang tidak mau kehilangan dia. Sebab itu Gus Dur menikmati toleransi yang besar. Kepercayaan pengikutnya padanya kadang-kadang sampai ke tingkat pasrah dan irasional. Gus Dur tidak bisa salah, hanya aneh. Dan justru keanehan itu dipercaya sebagai bungkus yang menyembunyikan suatu rencana jitu, yang tak tampak oleh mata orang biasa. Demikianlah, misalnya, menjelang Pemilihan Umum 1997, ketika Gus Dur menggandeng Tutut Soeharto mengunjungi beberapa pesantren besar, dan mempromosikannya sebagai pemimpin bangsa di masa datang, banyak alis yang dikernyitkan. Tetapi ini dibela oleh pengagumnya sebagai langkah "cantik" Gus Dur yang pada saatnya nanti akan membawa maslahat bagi jamaahnya, bukan sebagai manuver politik kepentingan yang mengandung aib. Sekarang baru orang insaf, setelah terlambat.
Meleset atau keliru menetapkan saat juga beberapa kali dibuat oleh Gus Dur akhir-akhir ini. Sebelum Presiden Soeharto mengundurkan diri, tetapi sesudah menyetujui merombak kabinet dan membentuk dewan reformasi, dari atas kursi rodanya Gus Dur menganjurkan agar mahasiswa menghentikan aksinya dan menerima usul Soeharto itu. Tentu saja mahasiswa tidak menghiraukannya, dan kesudahannya kita ketahui semua.
Sekarang Gus Dur kembali membuat langkah di luar ekspektasi banyak orang. Dan mungkin pada saat yang keliru pilih juga. Untuk menyelamatkan bangsa yang sedang menghadapi krisis, diperlukan semacam kerukunan nasional; sebab itu perlu ada dialog nasional, katanya. Mula-mula Habibie agak skeptis menanggapinya. Kemudian, Gus Dur mengambil inisiatif menemui Jenderal Wiranto, dan setelah itu meningkat ke Presiden Habibie. Sesudahnya, sekalipun harus dituntun, Gus Dur berkunjung ke mantan presiden Soeharto. Gagasan pokoknya ialah agar keempat tokoh ini mau berkumpul untuk membicarakan jalan keluar dari masalah nasional yang makin gawat ini.
Tetapi gagasan dialog ini sebelumnya telah ditentang oleh beberapa anggota DPR. Bukankah konstitusi sudah menyediakan lembaga tempat membicarakan semua masalah bangsa secara resmi, yaitu DPR dan MPR? Gus Dur nyaris sudah betul, karena masalah yang dihadapi memang khusus dan luar biasa, sehingga perlu cara inkonvensional juga mengatasinya. Empat tokoh yang diajaknya itu cukup mewakili, katanya. Tetapi soalnya, mengapa di satu pihak dia memakai jalan istimewa untuk dialog nasional, di lain pihak dia membela bahwa Sidang Istimewa MPR itu sah dan harus dihormati keputusannya ketika gerakan mahasiswa menggugat bulan yang lalu?
Fakta dan Fiksi
Ada soal lain di samping masalah legitimasi. Dalam suasana orang sedang bersemangat menuntut Soeharto yang harus diadili, ajakan Gus Dur bisa diartikan sebagai penghapusan perkaranya dari jadwal persoalan reformasi. Bahkan, secara politis kedatangan Gus Dur ke kediaman Soeharto dianggap tidak bijaksana sama sekali. Urgensinya terlalu dicari-cari. Apa kepentingan Gus Dur yang sebenarnya, kalau begitu?
Gus Dur juga memahami bahwa dasar permasalahan nasional sekarang terletak pada ketidakpercayaan umum yang meluas. Jadi jalan keluar bukanlah dengan cara yang menurunkan kredibilitas lebih jauh. Gus Dur sendiri di sana-sini juga ikut menambah rasa kurang percaya itu. Selain soal Soeharto, dia juga membuat pernyataan yang mendiskreditkan dan menuduh mahasiswa?tanpa kejelasan dan bukti apa pun?dibiayai negara asing seperti Amerika Serikat dan Libya, untuk menggagalkan pemilihan umum. Orang hanya bisa menggelengkan kepala mendengar dongeng yang tidak berujung-pangkal semacam ini. Apa tujuannya? Satu kali lancung, kepercayaan pada selebihnya juga bisa ikut gugur.
Pada gilirannya, pertanyaan tentang "apa tujuannya" juga bisa dikenakan pada dialog nasional yang sedang diusahakannya itu. Dialog memang selalu perlu, tetapi bukan yang berpretensi terlalu banyak. Gus Dur akan tetap jadi tokoh yang penting, tidak ada yang akan menyangkalnya. Asalkan dia dibantu untuk lebih cermat lagi, demi kredibilitasnya. Sebab tak semua mau pasrah dan terpaksa percaya begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo