MAHKOTA juaranya telah copot dua tahun silam. Toh ia masih
dianggap sebagai petinju terbaik di Indonesia saat ini. Ferry
Moniaga, 30 tahun, kampiun nasional di kelas bantam selama
periode 1971 sampai 1978, sudah digantikan oleh Charles Thomas,
tujuh tahun lebih muda.
Tapi di Bombay, pekan lampau Moniaga membuktikan dirinya masih
terbaik. Ia memboyong medali emas dari Kejuaraan Tinju Asia IX.
Di final, ia menundukkan Hwang Chul Soon, juara Korea Selatan,
dengan keunggulan angka. Hwang adalah Petinju Terbaik turnamen
Piala Presiden III di Jakarta, awal Februari. Dari 6 anggota tim
Indonesia, hanya Moniaga yang dapat emas dari Bombay itu.
Lahir di Tanjung Pinang, mulai mengorbit pada usia 19 tahun,
Moniaga di arena internasional sudah mewakili Indonesia puluhan
kali. Untuk Kejuaraan Tinju Asia, misalnya, kali ini adalah
partisipasinya yang kelima. Sebelumnya, ia sering meraih
perunggu. "Ada medali emas cuma dari Pesta Sukan 1979 di
Singapura," katanya. Dalam Olympiade 1972 di Munich, ia sempat
mencapai babak perempat final.
Empat tahun lalu, ia pernah kecewa dan menyatakan diri akan
menggantung sarung tinju. Waktu itu ia tak terpilih memperkuat
kontingen Indonesia ke Olympiade Montreal. "Padahal saya sudah
mempersiapkan diri dengan baik. Waktu dilakukan tst fisik di
Pusat Kedokteran Olahraga, saya adalah atlet nomor dua terbagus
sesudah Liem Swie King," ujarnya. "Toh, tanpa alasan yang tidak
jelas, saya tidak diikut-sertakan." Indonesia, ketika itu,
mengirim Frans von Bronkchorst dan Syamsul Anwar.
Henky Nanlohi, pelatih yang mendampingi tim Indonesia ke Bombay
mengeluarkan larangan agar atlet tidak merokok. Sekalipun bukan
pecandu, Moniaga sesekali ingin mengepulkan asap. "Kalau melihat
Ferry sudah gelisah saya ke luar kamar, dan meninggalkan rokok
di meja," tutur pelatih itu. "Lima menit kemudian pasti sudah
berkurang sebatang."
Menurut Nanlohi, dalam menghadapi pertandingan tegangan mental
atlet biasanya meningkat. "Bila sudah merokok Ferry pasti tenang
kembali," lanjutnya.
Moniaga pernah jadi karyawan Pertamina di Jakarta. Setamatnya
dari Akademi Maritim (1976) ia hijrah ke Surabaya dan menjabat
Direktur PT Paritas -- perusahaan yang bergerak di bidang
pariwisata dan pelayanan taksi. Lantaran harus keluar masuk
pelatnas, usahanya itu jadi tak terurus. "Sekarang saya cuma
pengangguran," katanya. Namun ia menampik tawaran Boy Bolang
dari B.B. Boxing Corporation untuk mengadu peruntungan sebagai
petinju bayaran. "Saya sih perlu uang," katanya. "Tapi hati
kecil belum mengizinkan." Ia ditawari bayaran Rp 10 juta untuk 3
kali pertandingan, masing-masing 12 ronde.
Menurut rencana, 15 s/d 20 Maret, ia akan mewakili Indonesia
pada kejuaraan tinju di Prancis. Petinju kidal ini optimistis
akan menang lagi. Dari omongannya tersirat bahwa di Prancis
nanti merupakan pemunculannya terakhir. "Sudah jadi juara Asia,
mau apa lagi?" katanya. Apa lagi? Pertina konon akan
menyekolahkannya untuk menjadi pelatih tinju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini