Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan ini, mereka akan terbang jauh sekali, melintasi Papua, Nusantara, bahkan daratan Asia. Ke Thessaloniki, sebuah kota di pantai selatan Yunani. Marinus Wanewar, 18 tahun, Yan Piet Nasadit (18), dan Reinhard Sokoy (17), tiga putra Papua, akan memenuhi undangan klub sepak bola setempat, Apollon Kalamarias, untuk mengikuti tes.
Bersama Reinhard, pemain sayap kanan yang pernah mengenyam pendidikan setahun di French United Indonesia di Malaysia (2013-2014), dan Yan Piet, penyerang "alumnus" Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Papua, Marinus mencoba mewujudkan mimpinya.
Tiga pemain muda itu menarik perhatian para pencari bakat dari Eropa ketika mengikuti International Rabo Tournament U-19 di Vlodrop, Belanda, 1-31 Mei lalu. Saat itu, Marinus menjadi pencetak gol terbanyak dengan koleksi delapan gol dalam sepuluh pertandingan. Penampilannya membuat klub Belanda, FC Den Bosch, berminat meminangnya.
Kini ia tak memikirkan apa pun selain lolos tes, lantas bergabung dengan klub Apollon Kalamarias. "Saya akan bekerja keras dan bermain lebih percaya diri saat di sana nanti," ujar Marinus, kelahiran Sarmi, Provinsi Papua, 24 Februari 1997. Apollon Kalamarias adalah klub divisi dua Yunani.
Bermain di luar negeri sudah menjadi mimpi para pemain sejak penyerang Persija, Iswadi Idris, bergabung dengan klub Australia, Western Suburb, pada 1974-1975. Pengalaman, terkuaknya pintu kesempatan untuk maju, dan kepastian akan masa depan yang lebih baik mendorong para pemain sepak bola "hijrah" ke luar negeri hingga kini.
Pertengahan Agustus lalu, Evan Dimas Darmono, mantan kapten tim nasional U-19, pergi ke Spanyol untuk menjalani masa percobaan di klub UE Llagostera. Klub yang berlaga di divisi Segunda itu terkesan melihat penampilan Evan tatkala membela tim Indonesia di SEA Games Singapura 2015, dan berminat mengontraknya.
Chief Executive Officer Persebaya, Gede Widiade, sempat memiliki keyakinan besar Evan akan dikontrak klub Llagostera. Sebab, klub yang kini ditangani Manajer Oriol Alsina itu sangat serius mendekatinya. "Mereka langsung mengurus dokumen-dokumennya," kata Gede manakala ditemui di rumahnya di Mampang, Jakarta, bulan lalu.
Rupanya, harapan tak sesuai dengan kenyataan. Pemain kelahiran Surabaya, 13 Maret 1995, itu gagal mendapatkan kontrak klub tersebut. Penampilannya saat menjalani tes tidak seperti saat bermain di SEA Games Juni lalu. Benjolan seperti mata ikan di telapak kaki kanannya menjadi salah satu penyebab kegagalannya.
Namun, kepada ibunya, Anna, Evan sempat bercerita tentang apa yang dialaminya di Spanyol. Dia mengaku tidak betah berada di sana. Kendala bahasa menyulitkannya berkomunikasi dengan pemain lain. Dia bahkan merasa kesepian. Menu makanan juga tidak cocok. Menurut Evan, kata Anna, makanan di sana-meski banyak lauknya-hanya berupa sedikit nasi. Padahal Evan tak biasa makan sedikit.
Kegagalan yang satu dan keberhasilan yang lain senantiasa mewarnai hijrahnya pemain ke luar negeri. Sejauh ini, liga Eropa yang dinamis, komersial, dan gemerlap menjadi tanah impian utama, kendati sukses di negeri jiran juga tidak kecil artinya. Berikut ini sekelumit pengalaman mereka yang pernah sukses, gagal, atau patah di tengah jalan.
SEBELUM Evan, ada Gavin Kwan Adsit, yang lebih dulu menyeberangi lautan. Dua tahun lalu, setelah bersama tim nasional U-18 menjuarai turnamen HKFA U-19 di Hong Kong sekaligus menyabet predikat pemain terbaik, ia memutuskan menerima pinangan klub Rumania, CFR Cluj Reserves.
Sayangnya, klub Rumania itu bangkrut dan tidak bisa lagi ikut kompetisi. Dalam kondisi itu, Gavin menghubungi agen pemain di Jerman untuk minta dicarikan klub baru. "Saya yang mencari agen dan menelepon mereka saat masih di Rumania. Jadi banyak agen saya asal Jerman. Salah satunya Mouren," ujarnya ketika ditemui di Hotel Grand Celino, Makassar, Rabu malam pekan lalu.
Berkat bantuan agen, Gavin mendapat kesempatan menjalani tes selama sepekan di klub Niendorfer TSV U-19. Setelah tes, klub yang berkompetisi di Liga Regional Jerman itu menyodorkan kontrak untuknya. "Memang situasinya sudah tidak bagus, jadi pemain juga banyak yang pergi," ujarnya. Beruntung, nilai kontraknya di klub Jerman ini lebih bagus ketimbang sebelumnya: fasilitas apartemen mewah, bonus, uang saku, dan gaji per bulan.
Pada awal pindah ke Jerman, Gavin sempat mengalami kesulitan beradaptasi dengan cuaca yang sangat dingin. Ia bahkan pernah mengalami cedera ankle saat latihan: urat kakinya tertarik lantaran tak cukup pemanasan sebelum terjun ke lapangan.
Gavin sempat mencoba peruntungan dengan menjajal klub FC Tokyo setelah kontrak dengan Niendorfer berakhir. Ia mendapat kesempatan bermain selama 90 menit bersama FC Tokyo, tapi gagal meyakinkan klub. Maklum, di klub itu banyak anggota tim nasional Jepang-seperti Muto, Masato, dan kiper Gonda-yang sebelumnya tampil di Piala Dunia 2014.
Hanya setahun bermain di Eropa, Gavin kembali ke Tanah Air. Ketika itu, ia mendapat panggilan memperkuat tim nasional U-19 dan U-23. Dia pun menandatangani kontrak dengan klub di Indonesia, Mitra Kukar.
Di turnamen Piala Presiden, sebenarnya ia tampil, tapi bukan bersama klubnya, melainkan dengan Persipasi Bandung Raya (PBR) sebagai pemain pinjaman. Sayang, PBR gagal lolos ke babak delapan besar karena hanya bisa menduduki peringkat ketiga klasemen grup D, di atas Gresik United, di bawah PSM Makassar dan Pusamania Borneo FC.
Pelatih PBR, Dejan Antonic, menilai Gavin pemain berpotensi, tapi masih harus bekerja keras lagi untuk meningkatkan kemampuannya. "Dia pemain yang profesional dan mau mendengar. Ke depannya, pasti dia bisa lebih bagus lagi," ujar pelatih asal Serbia itu di Makassar, Kamis pekan lalu.
Meski saat ini bergabung dengan klub di Indonesia, Gavin bermimpi bisa kembali bermain di luar negeri. Cita-citanya bermain di klub terkaya di dunia, Real Madrid. Menurut dia, jalan ke sana masih tetap terbuka dengan bantuan agen pemain Munial Sport Group. "Tapi, kalau enggak bisa, saya terbuka main di mana saja. Yang penting karier dan masa depan saya sebagai pemain," katanya.
ARTHUR Irawan mungkin lebih beruntung daripada Gavin. Pemain kelahiran Surabaya, 3 Maret 1993, ini baru saja memperpanjang kontrak tahun keduanya dengan klub Waasland-Beveren, yang berkompetisi di Liga Utama Belgia atau yang lebih dikenal sebagai Jupiler. Dia bermain di Liga Belgia bersama klub hebat, seperti Gent dan Club Brugge, yang beberapa pekan lalu bertanding melawan Manchester United di babak playoff Liga Champions.
Arthur mengawali kariernya sebagai pemain bola di luar negeri ketika usianya masih 15 tahun. Dia rela meninggalkan keluarganya demi sepak bola. Sebab, sejak kecil, cita-citanya menjadi pemain bola. Ia kemudian bermain untuk klub amatir Inggris, Lytham Town.
Pemandu bakat Espanyol B mencium kemampuannya sebagai bek kanan. Arthur juga bisa diturunkan sebagai gelandang bertahan. Ia pun diminta mengikuti trial, lalu ditawari kontrak bermain selama empat tahun. Arthur akhirnya bermain di Divisi B Liga Spanyol. Tiga musim bermain untuk Espanyol, ia kemudian pindah ke Malaga B.
Selama berada di luar negeri, Arthur tak hanya mengasah kemampuannya mengolah bola. Ia juga tekun belajar bahasa asing, seperti Spanyol dan Prancis, selain bahasa Inggris. Kelancaran berbahasa Inggris dan bahasa asing lain membuatnya mudah berkomunikasi dengan rekan-rekannya di tim serta pelatih.
Setelah tujuh tahun bermain di Eropa, pada usia 22 tahun, dia merasa lebih matang. "Kalau sekarang saya tidak dimainkan, saya akan mencari tahu kenapa saya tidak dimainkan, apa kekurangan saya dibanding pemain lain di posisi yang sama," kata Arthur saat ditemui di kawasan Senayan, Selasa pekan lalu. Ia memanfaatkan libur jeda internasional sepekan kemarin untuk pulang ke rumah orang tuanya di Kebon Jeruk, Jakarta.
Ward Callens, Public Relations Manager Waasland, mengatakan klubnya memutuskan memperpanjang kontrak Arthur untuk satu musim berikutnya karena berbagai pertimbangan. Di antaranya keinginannya yang kuat untuk terus mengasah keterampilan di dunia sepak bola, di samping Arthur memiliki sikap seorang profesional.
"Arthur sudah terbiasa bermain dengan tim internasional sejak berlatih di Manchester United dan kemudian bergabung dengan Malaga. Bahasa Inggrisnya lancar. Ia bisa berbahasa Spanyol dan sekarang belajar berbahasa Prancis," ujar Callens, awal September lalu.
Saat ini, Arthur berfokus berlatih dan membela timnya. Dia ingin meningkatkan kualitas permainannya dan membawa klubnya ke level yang lebih baik daripada musim lalu, yang hanya finis di urutan ke-13 dari 18 peserta. Satu mimpinya adalah bermain di La Liga. Saat memperkuat klub Spanyol, Malaga B, Arthur pernah bermain bersama mantan striker Bayern Muenchen, Roque Santa Cruz, selama 60 menit. "Itu pengalaman terbaik. Saya bisa bermain dengan pemain top dunia," katanya. Peristiwa itu membuatnya terus bermimpi untuk kembali ke La Liga.
ADA lagi Andik Vermansyah, yang merasa nyaman bermain di Selangor FA. Setelah dua musim kontrak dengan klub itu, ia ingin lebih lama di sana. "Gaji lumayan dan tidak pernah ada masalah. Fasilitas juga diberikan tanpa ada kendala. Semua yang mereka janjikan betul-betul diberikan," ujarnya, akhir bulan lalu.
Pemain asal Surabaya itu dengan mudah mendapatkan kontrak dengan Selangor FA tanpa tes. Agennya hanya membutuhkan dua pekan untuk meyakinkan klub tentang kualitasnya setelah menjalani trial di klub Amerika Serikat, D.C. United, dan klub Liga Jepang, Ventforet Kofu. Trial di dua klub luar negeri itu cukup menjadi bahan rekomendasi ampuh. Apalagi Andik sempat mencetak gol untuk Ventforet saat laga persahabatan.
Meski penampilannya tidak mengecewakan, Andik tetap gagal mendapat kontrak kedua klub itu. "Pembicaraan selanjutnya antara manajer dan kedua tim itu ternyata kurang sesuai, terutama masalah kontrak. Jadi saya tidak berlanjut di sana," kata Andik saat ditemui di sela-sela kesibukannya bermain dan berlatih di Selangor, pertengahan Agustus lalu.
Di Selangor, asisten pelatih Selangor FA, Rosdy bin Mohd Nazir, mengatakan telah memantau Andik sejak trial di D.C. United. Penampilannya pun tidak mengecewakan. Musim lalu, ia berhasil mencetak sembilan gol dalam 14 pertandingan. "Secara pribadi, saya berharap Andik bisa dipertahankan satu atau dua musim lagi," ujarnya.
Rina Widiastuti, Artika Rachmi Farmita (surabaya), Diditharyadi (makassar), Asmayani Kusrini (belgia), Masrur (malaysia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo