Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Danarto Yang Basiyo-esque

Dua buku yang bisa dijadikan petunjuk arah teater Indonesia pada 1970-an.

14 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judul dua buku Danarto yang kita bicarakan ini adalah Obrog Owok-owok Ebreg Ewek-ewek dan Bel Geduwel Beh. Yang disebut pertama, ditulis pada 1973, langsung membimbing kita ke dunia bunyi yang mungkin saja tidak menunjuk ke makna tertentu, sejenis onomatope. Yang kedua, ditulis pada 1977, menuntun kita ke konsep lakon carangan dalam tradisi teater Jawa, terutama wayang.

Onomatope bersumber pada bunyi, carangan bersumber pada pakem. Kulit buku naskah carangan itu memuat gambar Petruk, dan Bel Geduwel Beh dengan sendirinya mengacu ke Petruk, seorang punakawan, dalam lakon "Petruk Dadi Ratu", Petruk Menjadi Raja, yang merupakan sebuah parodi dalam wayang. Awal tinjauan ini pada dasarnya adalah upaya tebak-tebakan tanda, yang dalam lingkungan serius disebut semiotik, tapi yang dalam tulisan ini sekadar upaya untuk mengungkapkan makna secara sederhana. Kedua buku ini bisa dijadikan petunjuk arah teater Indonesia pada 1970-an.

Dua buku ini diberi label naskah teater, bukan naskah drama: kita dipaksa membayangkan pementasan, karena teater bisa berarti gedung tempat pertunjukan drama dilaksanakan-pembaca diharapkan memahami seluk-beluk pementasan, kalau begitu. Namun, karena disebut naskah drama atau naskah teater, tetap saja yang kita hadapi adalah naskah tertulis yang berwujud buku, bukan pertunjukan. Tidak ada jaminan sama sekali bahwa kedua naskah ini diproses menjadi tontonan yang bisa disaksikan oleh yang kebetulan membaca. Itu sebabnya naskah ini harus diterima sebagai bacaan, sebagai karya sastra.

Ada baiknya buku-buku ini dibicarakan berdasarkan konteks masa ketika ditulis. Hanya dengan cara demikian naskah-naskah ini bisa dipahami, atau setidaknya diterima, oleh pembaca. Dalam naskah yang maksud utama penulisannya adalah untuk pementasan, segala tetek-bengek yang berkaitan dengan kemungkinan pementasan sudah tersurat dan tersirat. Ada nama-nama tokoh, ada dialog, dan ada petunjuk pementasan. Dengan membacanya, kita bisa menyusun pengaluran, perwatakan, dan pelataran berdasarkan ketiga komponen tersebut. Bahwa kemudian pembacaan kita tidak bisa atau tidak mampu menemukan semua itu, ada berbagai faktor yang berkaitan dengan keadaan naskah dan kemampuan kita membaca.

Baiklah. Sebermula adalah Rendra. Ketika pada 1969 ia mementaskan Ditunggu Godot di Jakarta, untuk pertama kali kita menyaksikan jenis teater yang oleh Martin Esslin, seorang pengamat teater, disebut teater absurd. Untuk pertama kalinya kita mencoba memahami seperangkat konsep baru tentang naskah drama dan teater, yang antara lain-setidaknya yang bisa kita pahami-menegaskan bahwa bisa saja pementasan drama berupa tontonan yang unsur-unsur formalnya tidak sejalan dengan apa yang diikuti oleh kebanyakan kita yang berpegang pada konsep-konsep konvensional, yang biasa diklasifikasikan sebagai realisme. Meskipun istilah itu bisa menyebabkan perbantahan yang tidak berujung-pangkal.

Hanya dengan menonton pementasan Rendra, tanpa perlu membaca dan memahami sebaik-baiknya konsep Esslin, kita dengan mudah bisa membayangkan atau bahkan mereka-reka apa sebenarnya yang dimaksud dengan teater absurd. Dan pada hemat saya, itulah sebenarnya yang terjadi pada awal 1970-an dalam kegiatan penulisan naskah drama dan pementasan teater, yang dimulai di Jakarta dan kemudian dengan sangat cepat meluap ke mana-mana. Itulah juga sebabnya beberapa sastrawan mengaku tidak atau belum pernah membaca satu pun naskah teater absurd yang ditulis Beckett, Ionesco, atau Adamov, apa lagi naskah Theatre of the Absurd tulisan Martin Esslin. Itulah juga bukti bahwa waktu itu kelisanan masih merupakan tradisi perkasa yang mengatasi keberaksaraan.

Untuk menegaskan pentingnya peran keberaksaraan, pada 1970-an Dewan Kesenian Jakarta mengadakan sayembara penulisan naskah lakon sekaligus Festival Teater Remaja. Sebagian besar naskah yang masuk menunjukkan kuatnya unsur kelisanan dalam penciptaan naskah dan pementasannya. Muncullah naskah-naskah yang ditulis oleh Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Akhudiat, serta Noorca dan Yudhistira A.N.M. Massardi, di samping serangkaian panjang pementasan, dalam festival ataupun di luarnya, yang disebut-sebut sebagai teater absurd. Seorang pengamat sastra, Rustandi Kartakusuma (yang pernah menjadi salah seorang juri sayembara penulisan naskah), memberi label yang disebut-sebut absurd itu sebagai "abrut-abrutan".

Namun yang lebih nyata dalam perkembangan itu adalah proses klise-yang sebenarnya ada benarnya-bahwa globalisasi justru memunculkan tenaga yang mendadak kuat untuk "melawan"-nya, yakni upaya untuk kembali ke lokal, bukan sekadar warna tapi juga genre dalam teater. Kalau kita membaca naskah-naskah pada masa itu, akan jelas kuatnya anasir yang lokal untuk menangkal pengaruh globalisasi. Ini sejalan dengan konsep Esslin tentang kaitan antara teater absurd dan bodoran Barat yang antara lain kita kenal lewat film-film sejenis yang dihasilkan Charlie Chaplin. Dialog yang tidak nyambung, alur yang episodik, dan latar yang boleh dikatakan tunggal diwariskan oleh, atau mungkin lebih tepat dicuri baik-baik dari, jenis teater yang biasa disebut tradisional, yang lisan.

Naskah teater Danarto sebaiknya ditinjau dengan cara pandang demikian agar tampak bahwa perkembangan teater memang tidak bisa dipisahkan dari ketegangan antara kelisanan dan keberaksaraan. Meskipun direkam dalam rentetan aksara, naskah pada hakikatnya adalah hasil tradisi lisan. Dalam posisinya yang demikian itulah dua buku ini sebaiknya diterima. Kalau menyediakan diri untuk "menonton" tulisan dalam naskah itu, mungkin kita mampu mementaskannya dalam pikiran kita. Naskah yang sudah susah-susah ditulis kita kembalikan lagi ke habitatnya semula, yakni alam lisan yang tetap ada dalam pikiran kita. Dan alam lisan tidak ambil pusing terhadap konsep segitiga Freitag, misalnya.

Membaca buku harus dipisahkan dari menonton pementasan. Dalam Obrog Owok-owok Ebreg Ewek-ewek ditulis nama tokoh-tokoh, jelas jumlahnya meskipun beberapa merupakan label saja, seperti Tukang Kendang dan Tukang Suling. Bel Geduwel Beh mencantumkan sejumlah besar tokoh yang tidak jelas jumlahnya: Para Pendeta, Para Duta Besar, Para Penonton, di samping nama-nama diri yang jelas, seperti Yoso Kartubi dan Joko Kwok. Mereka semua itu bertemu dalam kisah yang merupakan rentetan episode yang tidak mempedulikan kausalitas: pengulangan, penggambaran serta penjelasan yang tumpang-tindih yang tidak merisaukan perlambangan dan kiasan-sebab kedua yang disebut terakhir itu cenderung mengganggu pemahaman dalam tradisi lisan.

Kebudayaan adalah komunikasi, kata teori. Dan untuk berkomunikasi kita menciptakan bahasa. Dan miskomunikasi adalah bagian sah dari komunikasi. Nah, pada hakikatnya dalam tiap episode kedua naskah itulah tersirat dan tersirat inti miskomunikasi. Tidak usahlah kita memusingkan kausalitas antar-episode karena bukan itu yang menjadi inti naskah.

Sebagai pembaca, kita lebih beruntung dibanding sebagai penonton (seandainya dipentaskan) karena selalu mengenal siapa berdialog dengan siapa, di samping bisa menarik kesimpulan apakah sesungguhnya mereka itu sekadar label. Dengan mengambil jarak aman dengan naskah, ada kemungkinan untuk "menyaksikan" serunya proses miskomunikasi antarlabel dalam setiap episode-yang memaksa saya, orang Jawa, membayangkan Dhagelan Mataram dan maestronya, Basiyo. Itulah pencapaian Danarto yang menyebabkannya diterima sebagai tokoh penting dalam perkembangan penulisan naskah teater.

Sapardi Djoko Damono, Sastrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus