Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buyung, 9 tahun, menunjukkan perilaku aneh sebulan belakangan ini. Bocah itu kerap berjalan dalam tidur malamnya, menuju belakang rumah, dan di sana mengorek-ngorek tanah seperti mencari sesuatu. Semula orang tuanya mengira Buyung ngelindur saja. "Setelah diperiksa, ternyata masalah ini bersumber pada bullying yang ia terima dari teman sekolahnya," kata Isa Multazam Noor, psikiater anak dan remaja Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta Barat, Jumat dua pekan lalu.
Isa tak bersedia mengungkap identitas asli anak yang ia tangani tersebut. Tapi ia memastikan perisakan (bully) terhadap Buyung itu kerap terjadi, antara lain dengan menyembunyikan tempat pensil kegemarannya-kadang di tong sampah depan kelas. "Walhasil, kegelisahannya untuk menemukan wadah pensilnya itu terbawa sampai tidur," ujar Isa.
Bocah ini merupakan satu di antara pasien Isa yang menjadi korban risak-yakni perilaku agresif yang dilakukan kepada anak dan remaja usia sekolah dengan cara tak menyenangkan. Perilaku ini diulang atau berpotensi diulang, semisal mengancam, menyerang secara fisik, dan mengejek.
Tiap bulan, kata Isa, ada saja orang tua dan anak yang datang kepadanya dengan berbagai keluhan serupa. Kebanyakan mereka menunjukkan tanda psikosomatis atau masalah fisik yang disebabkan oleh gangguan psikis. Misalnya asam lambung naik, diare, mual, sakit perut, dan pusing. Saat diperiksa dokter sebelumnya, tak ada masalah apa pun dalam organ tubuh anak.?
Perisakan belakangan ini kian mencemaskan, seiring dengan gampangnya para bocah mengakses dunia maya lewat gadget. Sebelumnya, diketahui ada berbagai macam bentuk risak, yakni fisik, verbal, dan psikologis. Ini semua terjadi lewat pertemuan fisik. Nah, perisakan lewat media elektronik atau?cyberbullying mengancam tanpa harus ada interaksi langsung.
Risak lewat dunia cyber itu terjadi lewat layanan yang tersaji di telepon seluler, seperti pesan pendek dan media sosial (Facebook, Twitter, dan lain-lain). Di Indonesia, risak ini kian marak 10 tahun terakhir. "Yakni, saat anak kian gampang menggunakan handphone?dan mengakses Internet," ucap psikiater anak dan remaja Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Tjhin Wiguna.
Dampak risak cyber sama seramnya dengan?bully?tradisional. Tjhin mengungkapkan korban bisa tertekan dan kehilangan kepercayaan diri sehingga emoh bergaul; mogok melakukan aktivitas tertentu, seperti bersekolah; dan mengalami depresi.
Pasien yang diberi terapi oleh Tjhin, contohnya, mengalami depresi setelah berulang kali diejek di Facebook. Batinnya tertekan karena foto yang diunggah di media sosial diedit dan ditambahi kata-kata tak enak oleh teman-temannya. Pasien lain malah sampai menderita psikotik akut karena persoalan serupa. "Serangan ini membuat dia berhalusinasi mendengarkan sesuatu."?
Psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan risak biasanya menimpa anak yang berbeda dengan lainnya. Misalnya fisiknya lebih kecil atau malah lebih besar. Juga pada anak yang nilainya paling jelek atau justru paling bagus. Mereka yang tak punya barang sama seperti yang lain juga rentan dikerjain. "Sekarang tak punya?gadget?saja bisa jadi bahan?bully," kata Vera.
Vera mewanti-wanti, cyberbullying bisa lebih mencemaskan karena perisakan dilakukan kapan saja selama anak memegang ponsel dan terhubung dengan media sosial. Pelakunya pun lebih beragam, bukan lagi hanya teman-teman yang mengenalnya. Kini siapa pun bisa melakukan perisakan. "Misalnya anak mengunggah fotonya di Facebook, siapa saja yang berteman di sana bisa berkomentar."?
Vera mengingatkan para orang tua mesti waspada jika anak menunjukkan perilaku berbeda dari biasanya, seperti mendadak murung atau ogah ke sekolah. Jikapun dipaksa ke sekolah, biasanya mereka akan terserang penyakit dadakan akibat psikosomatis. Akibatnya, belum sampai di gerbang sekolah, ia sudah meminta diantar pulang.
Jika hal ini terjadi, Vera menyarankan orang tua mengajak anak berdiskusi menyelesaikan masalahnya. Anak perlu diberi arahan apa yang sebaiknya dilakukan kepada teman pengganggu. Kuncinya, mereka mesti diyakinkan bahwa dia tak sendirian. Soalnya, saat terkena risak, anak merasa harga dirinya diinjak-injak. Harga diri inilah yang perlu dibangkitkan!
Anak pun mesti dikuatkan melawan perisakan. Paling tidak dengan mengatakan bahwa dia tak suka diperlakukan demikian dan berani melaporkan jika dirisak lagi. Orang tua juga mesti mengembangkan kelebihan anak agar penghargaan terhadap dirinya sendiri meningkat.
Untuk pelakunya, kata Vera, mesti dicari tahu alasan dia merisak. Biasanya mereka melakukannya karena dendam; pelampiasan setelah terus ditekan di lingkungan lain, seperti keluarga; atau terbiasa melakukan sesuatu dengan kekerasan.
Jika alasannya adalah dendam, harus diyakinkan bahwa yang terjadi padanya adalah hal yang salah. Jika dia melakukan tindakan serupa, berarti sama rendahnya dengan pelaku sebelumnya. "Lebih baik menyelesaikan masalah secara elegan," ujar Vera. Sama terhadap korban, para pelaku juga perlu didorong mengembangkan kelebihannya. "Sehingga emosi negatif mereka tersalurkan menjadi sesuatu yang positif."
Orang tua pun mesti mengevaluasi pola asuh terhadap anaknya. Kalau terlalu keras, anak bisa terjerumus menjadi pelaku atau juga korban. Jika ini tak diselesaikan akan berdampak panjang. Perisak bisa berubah menjadi pelaku kriminal. Jika tak tahan, korban bisa melakukan bunuh diri. Sedangkan buat saksi yang membiarkan kejadian bisa menjadi pribadi yang tak peduli terhadap orang lain.
Beda lagi dengan penanganan psikiater. Bagi Isa Multazam Noor, jika korban memerlukan obat, dia akan memberikan racikan bahan kimia itu kepada pasiennya. Misalnya jika keluhannya mengalami kecemasan, dia akan memberikan obat anticemas. Kalau sampai tahap depresi, obat antidepresilah yang dikasih.
Selain itu, korban diberi terapi relaksasi. Salah satunya dengan memberikan permainan komputer yang sudah dirancang untuk mengelola stres. Terapi lain adalah?mindfulness?untuk mengubah pola pikir. Pada anak yang terkena?bully?biasanya ada pola pikir yang salah. Misalnya sering merasa takut. Emosi negatif ini perlu dibuang. Kalau pola pikirnya sudah diubah, perilaku pun akan mengikuti.
Apa pun penanganannya, tujuannya sama, yakni menyetop dampak buruk risak. Sebab, jika tidak, trauma itu bisa bertahan sangat lama. Sebutlah Nita, misalnya, yang pernah menjadi korban bully saat berumur 14 tahun. Kala itu ia kerap diejek karena warna kulitnya yang legam. Hingga di usianya yang 28 tahun sekarang, dia belum bisa melupakannya. "Kadang saya merasa jelek," kata Nita.
Miris, bukan? Kejahatan risak tak berhenti bahkan setelah korban tak diganggu lagi.
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo