TIM Indonesia akan dicoba lagi dalam Kejuaraan Tenismeja Dunia
di Pyongyang, April. Tapi juara sulit diharapkan. Regunya sudah
dipersiapkan melalui kejuaraan nasional di Bandung dua pekan
lalu -- tampak tak akan banyak beda dengan tim yang turun dalam
Kejuaraan Tenismeja Dunia di Birmingham, Maret 1977.
Di bagian putera, diperkirakan pemain inti akan terdiri dari
Gunawan Suteja, Faisal Rachman, Sinyo Supit, Empie Wuisan,
dengan cadangan Tony Maringgih, dan Hartono Herliem. Di bagian
puteri, mungkin tampil Beatrix Pietersz, Carla Tejasukmana,
Liliana Wibisono, Ambar Maladi, serta pemain pengganti Karnelia.
"Nama-nama itu belum resmi," kata Sekjen Persatuan Tenismeja
Seluruh Indonesia (PTMSI), Willy Warokka. "Pilihan lain memang
tak ada. Karena dalam kejuaraan nasional kemarin, mereka masih
membuktikan diri sebagai yan terbaik. "
Di Birmingham, kedua regu nasional itu terlempar dari Divisi I
ke Divisi II. Bagaimana di Pyongyang? "Agak berat, memang,"
tambah Warokka. "Apalagi untuk tim puteri." Rasa pesimisnya itu
terutama dikaitkan dengan kebijaksanaan KONI Pusat yang tak akan
mengirimkan lagi atlit Indonesia untuk berlatih di luar negeri.
"Berlatih di dalam negeri bukan tidak bisa," kata anggota Komisi
Teknik PTMSI. Ahmad Jaya. "Cuma kita tidak bisa mengukur
kekuatan Sebab lawan yang dihadapi adalah rekan sendiri."
Ketika mengikuti Asian Games 1978 i Bangkok, latihan di luar
negeri itu ditawarkan olch manajer tim tenismeja Korea Utara,
Sim Goh II. Jika PTM menerima, Pyongyang akan menampung,
selama 2 bulan. "Jangan pikirkan biaya," kata Sim seperti
dituturkan kembali oleh Warokka.
Pekan silam, Kedutaan Besar Korea Utara di Jakarta meralat
sedikit. Kesediaan mereka menampung tim Indonesia berlatih cuma
20 hari. "Kurang manfaatnya, kalau cuma 20 hari saja," ucap
Warokka.
KONI Pusat memikul sisanya? "Bukan kita tidak mau," kata Ketua
Harian KONI Pusat, D. Soeprajogi. "Duitnya yang tak ada." Untuk
mempersiapkan 18 cabang olahraga, termasuk tenismeja, ke SEA
Games X di Jakarta, pemerintah hanya menyediakan biaya Rp 500
juta.
Namun PTMSI kini menunggu kedatangan pelatih dari Jepang, M.
Aikawa. Ia dikontrak untuk menangani tim nasional sampai SEA
Games September nanti. Kebolehannya diakui sesudah mengasuh
Mitsuru Kohno, juara dunia 1977.
Turun Kelas
Vntuk pergi ke Birmingham, regu Indonesia dilatih di Senta,
Yugoslavia di bawah asuhan Selbella. Waktu itu diperkirakan
Indonesia akan masuk dalam kelompok 10 besar Divisi I. Tapi
kenyataannya kedua regu, putera dan puteri, terlempar ke luar,
dan menempati urutan 16 dan 17. "Untuk bisa masuk Divisi I lagi,
minimal kita harus menjadi ruuner up Divisi II," lanjut Warokka.
Menurut ketentuan, tim yang berhak menempati Divisi I adalah
regu yang sampai tempat ke-14.
Kedudukan terbaik yang pernah dicapai Indonesia adalah di
Sarajevo, Yugoslavia, 1973. Waktu itu tim putera menempati
urutan ke-11, dan regu puteri di nomor 13. Di Calcutta, 2 tahun
kemudian, keduanya tergeser ke urutan 13 dan 15. Di Birmingham,
keduanya terlempar ke Divisi II.
Dalam Kejuaraan Asian Table Tennis Union (ATTU) di Kuala Lumpur,
Nopember 1978, tim Indonesia menduduki tempat ke-5 (putera) dan
ke-7 (puteri) di antara 26 negara peserta. Prestasi tersebut
belum mungkin dijaminkan untuk Pyongyang.
Tim nasional masih bertahan dengan pemain-pemain lama. Sekolah
Lanjutan Pertama dan Atas khusus untuk olahragawan di Ragunan,
Jakarta, tampak belum mampu mencetak pemain unggul. Buktinya,
dalam kejuaraan nasional di Bandung, tak satu pun di antara 7
pelajar Ragunan yang tampil sebagai juara. Pembina cabang
tenismeja di SMP/SMA Ragunan, nyonya Sutirta, mengatakan para
pelajarnya kurang mendapat pengalaman bertanding. "Tahun 1978,
bahkan tak ada pertandingan sama sekali," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini