KETIKA pemerintah melaksanakan ide pembentukan lembaga keuangan
(LK) non-bank pada awal 70-an, itu dimaksudkan untuk mengisi
kekosongan yang belum bisa diisi bank biasa. Kebutuhan
pembiayaan bisnis di negeri ini sudah berkembang dari kredit
bank biasa jangka pendek untuk modal kerja menjadi kredit jangka
panjang dan bahkan modal penyertaan. Lembaga keuangan non!bank
PT Usaha Pembiayaan Pembangunan Indonesia -- Uppindo -- atau
yang dikenal dengan Indonesian Development Finance Company"
(IDIC), didirikan pada 1972, merupakan salah satu LK perintis
bidang baru ini. Minggu lalu LK yang berkantor di Jl. Abdul
Muis, Jakarta, ini memperingati ulang tahunnya yang keenam,
dengan hanya mencatat 80 nasabah yang dibantunya satu hasil
kerja yang nampaknya kurang mengesankan untuk waktu selama itu.
Namun satu awal yang baik sudah dimulai dan Uppindo punya
beberapa alasan untuk diberi salut.
Orientasinya kini lebih bergeser ke arah perusahaan kecil dan
menengah. Dan pendekatan kepada nasabahnya sudah lebih
menyeluruh, tidak melepaskan nasabah begitu saja begitu mereka
menerima pinjaman. Mereka terus dibina dan dibimbing. Di
Surabaya, anak perusahaannya, PT Bina Wiraswasta Konsultan (BWK)
memberi bimbingan dan jasa konsultasi kepada nasabah yang
menerima pinjamannya. BWK membantu ikut mengusahakan agar
pengusaha besi dan logam di Surabaya itu mendapat tender dan
kontrak dari PLN dan PT Nindya Karya.
Itu ide segar dari Uppindo. Seperti dikatakan Direktur Uppindo
Moerdyono Soemadyono "Uppindo membantu mereka memperoleh suplai
bahan baku yang lebih murah dan kontinu, di samping mencarikan
penyaluran bagi hasil produksinya, misalnya dengan menjadi
sub-kontraktor perusahaan besar." Ini bukan hal yang susah bagi
Uppindo karena koneksinya tentunya banyak sekali dengan
perusahaan besar.
Uppindo masih mengalami kekurangan tehnisi. Tapi ini tak
menghalangi usahanya melebarkan sayapnya ke daerah lewat kerja
sama dengan Bank Pembangunan Daerah setempat, seperti yang
dilakukannya dengan BPD Jawa Tengah baru-baru ini untuk bisa
menyalurkan hantuan jangka menengah dan panjang kepada
proyek-proyek kecil dan menengah di sana.
Separoh
Orientasi kepada hldustri kecil lebih terasa sejak 1977. Dari 15
permohonan bantuan yang disetujui, 8 merupakan proyek kecil dan
6 proyek menengah. Memang sejak 1975 prioritas bantuan diberikan
untuk usaha kecil dan menengah (menurut definisi Uppindo yang
punya kebutuhan pembiayaan minimum Rp 20 juta dan maksimum Rp
100 juta). Pada 1975 proyek-proyek sebesar ini mewakili 39%
nasabah Uppindo, tapi bagian mereka naik menjadi 68% pada 1978.
Mereka ini menikmati kredit dengan jangka waktu antara 3 sampai
15 tahun deng.ln bunga berkisar antara 9,55-10% sampai 18%.
Sekalipun demikian tak berarti pinjaman yang sudah disetujuinya
sampai sekarang ini sebagian besar sudah dinikmati pengusaha
kecil. Jumlah pinjaman yang sudah disetujui sampai akhir 1978
berjumlah Rp 11,5 milyar. Tapi lebih dari separoh tersalur pada
pabrik-pabrik tekstil (integrated), pabrik bahan bangunan, dan
pabrik farmasi. Pendek kata, lebih dari separoh kreditnya
dinikmati sektor usaha yang tidak bisa dikatakan kecil. Begitu
pula modal penyertaan Uppindo yang pada akhir 1977 mencapai Rp
978 juta sebagian besar masih dinikmati perusahaan kelas kakap
seperti PT Intermasa, percetakan (Rp 248 juta), PT Aluminium
Extrusion Indonesia (Rp 100 juta) dan PT Tubantia Kudus Spinning
Mills (Rp 219 juta).
Jumlah Pendapatan Uppindo seluruhnya pada 1977 meningkat 40%
menjadi Rp 1 milyar. Sebagian besar pendapatan ini berasal dari
bunga pinjaman jangka panjang yang pada akhir 1977 sudah
mencapai Rp 5,4 milyar. Dari jumlah ini hanya Rp 0,4 milyar yang
jatuh tempo untuk 1 tahun. sisanya lebih dari 1 tahun. Labanya
sebelum pajak, naik dari Rp 19.juta pada 1976 menjadi Rp 139
juta pada 1977, atau sekitar 140 dari jumlah pendapatan, satu
tingkat keuntungan yang cukup lumayan bagi suatu bisnis.
Tingkat keuntungan yang besar ini dimungkinkan karena dana yang
diputarkannya seluruhnya merupakan kredit murah yang
diperolehnya dari Bank Indonesia dan Nederlandse Financierings
Maatschappij voor Ontwikkelingslanden NV (FMO). Jumlah pinjaman
dari BI seluruhnya Rp 3,3 milyar, sebagian besar hanya dengan
bunga 3 sampai 6% setahun untuk masa antara 25 dan 30 tahun.
Dari FOM diterima kredit Rp 2,4 milyar, juga dengan bunga antara
2,5 sampai 3% dengan masa angsuran yang tak kalah panjangnya
dengan pinjaman BI. Dengan kondisi yang demikian maka pada 1977
ketika Uppindo membayar bunga Rp 239 juta, bunga yang
diterimanya dari nasabah berjumlah Rp 937 juta. Selisih hampir
Rp 700 juta untuk keuntungan Uppindo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini