HARI lahir Nabi Muhammad dianggap penting oleh sebagian orang
Jawa. Setidaknya generasi tuanya. Terutama di Sala, Yogya dan
Cirebon -- 3 daerah bekas pusat kerajaan Islam di Jawa. Jatuh
tanggal 12 Rabi'ulawal, maulud Nabi yang bagi lidah Jawa disebut
muludan itu diperingati secara istimewa.
Menurut cerita, peringatan itu merupakan salah satu kesempatan
bagi para ulama penyebar agama Islam di abad 17 dulu -- yang
dikenal dengan para Wali -- untuk berda'wah, mengajak rakyat
memeluk Islam. Dengan pandai para Wali memanfaatkan kesenian
Jawa sebagai daya tarik.
Bahkan kekuasaan para raja pun dimanfaatkan. Sebuah mesjid besar
selalu sendiri tak jauh dari istana. Di sanalah peringatan
dipusatkan, dengan puncak para pembacaan riwayat Nabi. Agar
rakyat datang berbondong mendengarnya, dua perangkat gamelan
dibunyikan halaman mesjid.
Apalagi, biasanya sang raja hadir dalam pembacaan riwayat Nabi
tersebut. Dulu, begitu ceritanya, rakyat yang bersedia masuk
Islam lantas diajari mengucap 2 kalimah syahadat, alias
syahadatein. Bagi lidah Jawa, syahadatein lantas menjadi
sekaten. Maka perayaan muludan pun lantas disebut pula sekaten
atau sekatenan.
Menurut perhitungan kalender Jawa, hari lahir Nabi jatuh persis
di tahun Dal. Bila suatu kali sekaten jatuh di tahun Dal,
perayaan pun diselenggarakan besar-besaran. Mengapa Karena hal
itu berarti tumbuk sewindu atau jatuh persis dalam siklus 8
tahun sekali (kalender Jawa mengenal 8 jenis tahun: Alip, Ehe,
Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jima kir).
Tahun ini, sekaten juga jatuh di tahun Dal (lihat Ilustrasi),
sampai-sampai menarik perhatian Mejelis Ulama.
Bid'ah
Bahkan Hamka, ketuanya, merasa perlu menyaksikannya. "Saya
bertanya kepada Sri Sultan, sekaten itu benar berasal dari kata
syahadatein atau sekati seperti banyak diceritakan orang?" ujar
Hamka yang Sabtu pekan lalu berulangtahun ke-71.
Menurut Sri Sultan -- begitu certa Hamka -- memang berasal dari
kata syahadatein. Dari Jakarta, llamka juga mennbawa naskah
riwayat Nabi yang ditulis dalam bahasa Jawa untuk dibacakan di
Mesjid Agung Yogya. Akhirnya Hamka pun berkesimpulan: sekaten
-tak lagi diragukan -- adalah perayaan Islam.
Menganggap sekaten sebagai da'wah, Hamka bahkan menilainya
sebagai "syi'ar Islam" alias semaraknya agama. Bahwa di dalamnya
ada hal-hal kecil yang di mata orang Islam bisa disebut bid'ah
atau khurafat, "itu perkembangan jaman, yang hendaknya kita
salurkan." Sikap Hamka hahkan "tidak apriori."
Bid'ah, adalah perbuatan keagamaan yang menyimpang, sedang
khurafat bisa digolongkan semacam tahyul. Kepada wartawan TEMPO
di Yogya, K.H. Hasan Basri -- salah seorang ketua Majelis Ulama
yang menyertai Hamka -- menambah, "hal itu dapat dihilangkan
dengan lebih meningkatkan pendidikan masyarakat."
Hasan Basri sendiri menyebut sekaten sebagai "pasar malam."
Meski begitu, toh muncul protes dari umat Islam Yogya karena di
sana juga ada semacam perjudian. Bahkan juga da'wah Kristen
lewat pertunjukan sirkus (TEMPO, 3 Pebruari, Hiburan). Ada
kesan, mereka tak mau menganggap sekaten cuma sekedar "pasar
malam" melainkan peringatan maulid Nabi yang bersifat da'wah.
Tapi nyatanya, sejak jaman penjajahan pun sekaten memang
merupakan pasar malam. Dan sejak dulu kalangan Kristen sudah
pula berusaha tampil di dalamnya. Seperti reportase Hamka
seniiri dalam cerita pendeknya "Malam Sekaten" yang dimuat
dalam kumpulan cerpen "Di dalam Lembah Kehidupan"
Riuh-rendah di malan Sekaten, sorak-sorai orang menjajakan
barang dagangannya, mendengung-dengung bagai bunyi sekawanan
lebah berpindah sarang. Tukang-tukang obat menyeru-nyerukan
minyaknya yang mujarab. Pada suatu penjuru kelihatan orang
sedang memuji-mujikan semacam bir. Di penjuru lain tampak
seorang haji menyerukan kemuliaan Islam. Di tempat lain ada pula
seorang serdadu Bala Keselamatan menyeru-nyeru orang supaya
diperhatikan Kitab Injil. Dan di pekarangan mesjid Agung
kedengaran bunyi gung bertalu-talu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini