Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria bule itu berdiri di tengah lingkaran, sementara 34 pemuda berkulit sawo matang yang melingkar di sekitarnya bergantian menerima bola dari dia. Tiba-tiba lelaki itu berhenti mengumpan dan berteriak, "Plester...!" Suaranya yang berat langsung membuat latihan di lapangan ABC Senayan, Jakarta, Selasa pagi pekan lalu, terhenti.
Dalam sekejap, asisten pelatih mengulurkan alat penutup luka yang dimintanya. Plester? Tak ada yang tergores.... Tapi tidak ada yang mempersoalkan manfaatnya, dan tak satu pun berani bertanya. Memanggil dua pemuda agar mendekat, si bule membuka pembungkus plester, lalu merekatkannya ke bibir mereka. Mereka justru tambah bingung. "Apa salah kami?" mereka membatin, "Kami serius berlatih dan tidak celometan."
"Kalian tahu mengapa mulut mereka diplester?" kata si bule kepada para pemain melalui penerjemahnya. "Kalian diberi mulut untuk bicara, bukan untuk diam!" serunya. Kontan mereka tertawa dan suasana pun lumer. Ketika latihan dilanjutkan, mereka mulai berteriak-teriak melepaskan ketegangan.
Begitulah cara Peter Withe, 52 tahun, melatih anak-anak Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di bawah usia 20 tahun. Menurut pria kelahiran Liverpool itu, ketegangan saat latihan sangat mengganggunya. Dalam suasana yang tidak longgar, para pemain tidak leluasa menunjukkan kemampuan terbaiknya.
Withe memang punya banyak cara untuk mencairkan suasana. Sebelum mengakhiri latihan pagi, yang berlangsung lebih dari dua jam, dia membagi anak asuhnya ke dalam kelompok-kelompok tiga orang. Mereka harus menceploskan bola ke gawang sebelum mengakhiri sesi latihan.
Ketika satu kelompok anak muda membuat gol, Withe memerintahkan agar mereka meneriakkan ucapan sukacita. "Happy... happy...!" teriaknya. Saat kelompok lain mencetak gol, jeritan kesenangan mereka belum memuaskan sang pelatih. "Ulangi, kamu kurang happy," katanya sambil menunjuk salah seorang di antaranya. Ketika mereka kemudian melakukan hal seperti yang diinginkan pelatih dengan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil, Withe memujinya, "Good... good...." Ia tampak puas.
Sebenarnya wajar saja jika anak-anak itu tegang. Tugas perdana Withe, setelah menandatangani kontrak dengan PSSI tiga pekan lalu, adalah menyeleksi pemain muda. Dari 34 pemain yang disaring—termasuk 14 pemain dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Medan, yang ikut berebut posisi di skuad PSSI sejak sepekan lalu—nantinya hanya diambil 26 orang. Setiap orang tentu ingin terpilih. Bagaimana tak tegang?
Dalam simulasi pertandingan sehari sebelumnya, Withe banyak membuat catatan. Sesekali dia mendiskusikannya dengan Syamsudin Umar, asisten pelatih sekaligus penerjemahnya. Ketika anak asuhnya berbuat salah yang tidak perlu, dia langsung melepas topi hitamnya dan menggaruk-garuk kepala. "Kebodohan macam apa ini?" ia bergumam sambil membanting buku catatannya.
Kelemahan yang selalu dilihat Withe pada pemain adalah kerapnya mereka menurunkan tempo saat bola sudah masuk kotak penalti. "Ayo, teruskan, ambil kesempatan!" teriaknya berkali-kali. Penyebabnya, menurut dia, pemain kehilangan rasa percaya diri. "Itu juga yang saya temukan saat pertama melatih di Thailand," katanya.
Saat diminta menilai kualitas anak didiknya dalam skala 0 hingga 10, Withe langsung memberikan nilai satu! Namun, dalam tempo enam hingga delapan minggu, dia berjanji akan mampu meningkatkan mutu permainan mereka sampai nilai enam. Membualkah Withe?
Tentu penyerang tim Inggris era 1980-an ini harus unjuk bukti. Namun, jika dilihat dari prestasinya mengangkat tim nasional Thailand, harapan itu bukan mustahil. Withe datang ke Thailand pada Oktober 1998. Saat itu sepak bola Negeri Gajah Putih baru saja membuat aib besar dengan memainkan "sepak bola gajah" bersama Indonesia. Bertanding di Piala Tiger, kedua tim berupaya menghindari kemenangan agar tidak bertemu dengan tuan rumah Vietnam di babak semifinal. Namun Thailand akhirnya harus menghadapi Vietnam setelah pemain Indonesia melakukan gol bunuh diri.
Baru dua bulan Withe di Thailand, anak asuhnya membuat kejutan dengan mengalahkan raksasa sepak bola Asia, Korea Selatan. Dalam pertandingan babak perempat final Asian Games, Korea dipaksa menyerah 1-2. Lima bulan kemudian, Withe mengundang tim Divisi Utama Inggris, Arsenal—tentu bukan untuk jalan-jalan ke Pattaya.
Datang full team, hampir tidak ada yang percaya Arsenal bisa dikalahkan Thailand. Bahkan sebagian besar penonton di stadion mengenakan atribut Arsenal. Ternyata mereka dikalahkan Thailand 3-4. Seusai pertandingan, Manajer Arsenal, Arsene Wenger, bungkam seribu basa mengapa pemain belakangnya serapuh itu. Padahal, sepanjang musim kompetisi liga di negerinya, mereka hanya kebobolan 17 gol. Tiga bulan kemudian, Thailand menggulung Vietnam 2-0 di babak final SEA Games.
Kehadiran Withe di Thailand memang seperti bintang jatuh. Saat itu Inggris sedang bersaing pengaruh dengan Jerman untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Salah satu dari 26 negara yang berhak memberikan suara adalah Thailand. Inggris kemudian merayu dan menawarkan bantuan pelatihan kepada FAT (PSSI-nya Thailand)—semacam politik uanglah. "FA (PSSI-nya Inggris) memberikan bantuan pendanaan bagi Peter Withe," kata Alec McGiven, direktur kampanye Piala Dunia 2006 untuk Inggris.
Upaya Inggris menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006 akhirnya gagal. Yang untung Thailand karena Withe berhasil menggosok sampai mengkilap para pemain sepak bolanya. Bapak tiga anak ini meninggalkan pekerjaannya sebagai pencari bakat pemain Eropa bagi Aston Villa, klubnya pada 1980-an. Di Thailand, dia menerima bayaran US$ 14 ribu atau sekitar Rp 119 juta per bulan, yang sebagiannya sumbangan FA.
Awal tahun lalu, Thailand memperpanjang kontraknya. Namun, pertengahan tahun, Thailand gagal melaju ke Olimpiade Athena karena dikalahkan Uni Emirat Arab 1-4. Asosiasi sepak bola Thailand kemudian menghentikan kontraknya karena FA juga tidak lagi mensponsorinya.
Saat itulah sejumlah tawaran melatih di negeri lain meluncur kepadanya. Dua negara yang serius menawar adalah Indonesia dan Vietnam. Kedua negara ini menawarkan gaji US$ 12 ribu atau sekitar Rp 102 juta berikut berbagai fasilitas. Withe akhirnya memilih Indonesia. "Saya tertarik dengan rencana jangka panjang PSSI," kata pelatih yang dikontrak untuk jangka waktu empat tahun ini. PSSI tidak mau rugi. Maka Withe mendapat tiga tugas sekaligus: direktur teknik tim nasional, pelatih kepala tim nasional, dan instruktur pelatih.
Tapi, menurut mantan pelatih Pusat Pendidikan dan Pelatihan Medan, Eric Williams, bayaran PSSI terlalu besar untuk Withe. "Harga yang pantas hanya separuhnya," kata Williams—entah iri entah tidak. Setelah Withe berhasil mencetak prestasi, ujarnya, harga itu baru pantas ditawarkan. Agar tidak terlalu lama menanti bukti, September nanti tim nasional di bawah usia 20 tahun akan bertanding dalam putaran final Piala Asia di Malaysia. Mereka berada satu grup dengan Iran, Cina, dan Qatar.
Bagaimana target Withe? Dia menolak merincinya dan hanya menjawab pendek bahwa prestasi Indonesia bakal terangkat lebih tinggi, setidaknya di Asia Tenggara. Meskipun hanya tingkat regional, ini tentu beban berat bagi sang pelatih sepak bola termahal yang pernah dibayar di negeri ini—bahkan jika dibandingkan dengan pelatih tim nasional senior, Ivan Kolev, yang hanya dibayar US$ 4.000 (sekitar Rp 34 juta) sebulan.
Sambil lalu, Withe mengungkapkan rasa kagumnya kepada Arsenal. Menurut dia, Arsenal kini tim paling solid di Eropa. Padahal tahun ini klub "gudang senjata" itu sedang ngirit karena harus mengeluarkan uang cukup besar untuk menggandakan kapasitas stadionnya menjadi 60 ribu tempat duduk.
Wah, masih kalah dengan Indonesia, yang punya Stadion Utama Bung Karno yang berkapasitas 110 ribu penonton. "Harusnya Arsenal main di sini," katanya. Mau dicoba, Pak Withe?
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo