Sembilan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh optimistis akan suksesnya pemilu legislatif pada 5 April mendatang. Tetapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Pemilu sangat mencemaskan berlangsung sesuai dengan jadwal. Kecemasan itu terutama di daerah terpencil, yang pengiriman logistiknya menghadapi kendala.
Pemerintah sudah mengantisipasi masalah ini, meskipun KPU tetap memberi jaminan akan lancarnya distribusi. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, yang kini juga Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim, sudah mengatakan pemerintah akan mengeluarkan keputusan presiden untuk langkah darurat menanggulangi keterbatasan sarana pemilu, seperti bilik suara, kotak suara, honor petugas di lapangan, dan segala bentuk administrasi lainnya. Beban yang semula menjadi tanggung jawab KPU itu bisa diambil alih oleh pemerintah daerah dengan dana dari anggaran pembangunan daerah masing-masing. Keputusan presiden ini memang sangat perlu untuk memberikan payung politik kepada para gubernur dalam mengucurkan dana dan mengambil keputusan darurat.
Antisipasi pemerintah itu bukan jaminan Pemilu 2004 berjalan mulus. Bilik suara memang bisa dibuat oleh masyarakat, jika perlu memakai gorden seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Kotak suara tak harus dari kaleng yang berlogo KPU. Bisa dari kayu atau tripleks, bahkan dari bambu yang dianyam, seperti perabotan orang desa. Tetapi, surat suara, bagaimana membuatnya di daerah? Ini sangat mustahil karena ada persoalan teknis. Film surat suara harus dari KPU karena di situ tertera paraf pimpinan partai peserta pemilu. Belum lagi percetakan yang terbatas di daerah untuk mencetak surat suara berwarna.
KPU sudah mulai mengakui ada masalah dalam pencetakan surat suara. Ada jutaan surat suara yang belum dicetak karena percetakan ingkar janji. Di lapangan, ada ribuan surat suara yang kertasnya rusak, ada bolong-bolong di bagian pinggirnya dan ada sobekan di bagian pelipatan. Temuan ini baru sebagian saja karena proses sortir sedang dilakukan. Ini tentu persoalan besar. Jangankan mencetak surat suara pengganti yang rusak, surat suara yang belum dicetak saja masih ada jutaan.
Kita maklum, pengadaan surat suara adalah bagian yang paling bertele-tele. Sesungguhnya, inilah yang membedakan Pemilu 2004 dengan pemilu sebelumnya. Baru kali ini pada setiap surat suara tertera nama calon anggota legislatif, karena nama calon itu ikut dicoblos oleh para pemilih. Bayangkanlah ada berapa banyak jenis surat suara, pemilihan anggota DPR, DPRD Tingkat I, DPRD Tingkat II, dan itu harus dikalikan jumlah provinsi dan kabupaten. Belum lagi surat suara untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang juga bikin runyam sejak awal, surat suara itu disahkan dengan waktu yang molor dari jadwal, karena campur tangan partai yang berlebihan. Sebab lainnya lagi, semuanya diselesaikan di pusat.
Apa yang ingin kita katakan? Kalau faktanya begini, sebaiknya dari sekarang dirancang ”keadaan darurat yang lebih gawat”, yakni pengunduran jadwal pemilu. Tentu saja tidak di semua provinsi. Pengunduran hanya di provinsi tertentu, atau cuma di kabupaten tertentu yang betul-betul surat suaranya tidak cukup. Ini jauh lebih baik dibanding pemilu serentak tetapi terjadi kericuhan karena surat suara kurang. Membuat pemilu susulan bisa menyalahi undang-undang kalau langkah darurat tidak dibuat berdasarkan hukum.
Indonesia negeri yang luas. Menyelenggarakan pemilu secara serentak memang prestasi, tetapi menyelenggarakan pemilu dengan bertahap bukanlah aib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini