Abdul Rauf, 39 tahun, terbaring lesu. Di tangannya masih menempel jarum suntik yang tersambung selang botol cairan infus. Sedangkan satu botol lainnya menjadi penampung darah yang masih menetes dari perutnya, yang tertembus timah panas. Di ruang Multazam, Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Abdul Rauf tidak sendirian. Ada satu kawan senasib, yakni Solomo Sianturi, 50 tahun.
Abdul Rauf dan Solomo adalah korban penembakan anggota Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) pada Kamis dua pekan lalu. Kedua korban mengaku tidak mengetahui pasti peristiwa keributan yang membuat mereka harus terbaring di rumah sakit. Abdul, pedagang asongan, kala itu keluar dari warung seusai menyeruput kopi. Tiba-tiba terdengar letusan yang membuat perutnya terasa panas, bukan karena kopi, melainkan lantaran hantaman timah panas. Sedangkan Solomo saat itu hendak membeli minyak tanah di warung dekat perempatan Jalan Ahmad Yani, Rawasari.
Peristiwa penembakan itu berawal saat iring-iringan mobil Toyota Land Cruiser Paspampres melaju mengantar Muhammad Riza, menantu Hamzah Haz, yang hendak pulang ke rumahnya di bilangan Cempaka Putih. Namun iring-iringan mobil itu terhambat lajunya gara-gara mobil Nissan Terrano yang dikendarai Djunaedi menghalangi jalan. Sirene sudah meraung, tapi Djunaedi bergeming.
Djunaedi tak bisa bergerak karena ia terjebak macet. Ini membuat anggota Paspampres, Sersan Satu Febriyo Nizarma, tidak terima. Anggota grup B (pengawal wakil presiden) itu turun dan menanyakan surat izin mengemudi kepada Djunaedi. Djunaedi menolak permintaan lantaran yang meminta bukan polisi.
Rupanya ini membuat Febriyo berang. Ia kemudian memukul Djunaedi. Melihat sopirnya dipukuli, Yandra, yang sedari awal hanya duduk di belakang sopir, ikut turun untuk melerai. Namun apes juga. Febriyo, yang sudah kalap, juga memukul Yandra. Saat itulah Yandra berteriak minta tolong. Teriakan itulah yang memancing datangnya massa.
Massa yang tiba-tiba berdatangan inilah yang membuat Febriyo keder. Menurut saksi mata, sempat terlontar kata-kata, "Saya pejabat." Tak lama kemudian, terdengar letusan pistol yang dibawa pengawal itu. "Kalau pejabat, kok, main tembak," ujar Sianturi, pengacara korban penembakan. Letusan itu membuat panik massa. Saat itulah para pengawal kabur dengan Land Cruiser B-8821-TU. Rupanya letusan itu mengenai sasaran, Solomo dan Abdul Rauf.
Kini Febriyo harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sejak Sabtu pekan lalu, pria berambut cepak itu tak bisa lagi mengantar keluarga pejabat. Ia harus mendekam di tahanan Polisi Militer Komando Daerah Militer (Pomdam) Jakarta di Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan. "Sebelumnya sempat diperiksa di kesatuannya di Paspampres, baru diantar ke Pomdam," ujar seorang perwira polisi militer.
Dari perwira di lingkungan korps polisi militer itu pula dipastikan Febriyo saat itu sedang mengawal salah satu menantu Wakil Presiden Hamzah Haz. Sampai saat itu, baru satu orang yang dijadikan tersangka. "Karena dia yang menembak. Lainnya menjadi saksi," ujar Komandan Pusat Polisi Militer Mayjen Sulaiman A.B.
Sulaiman berjanji, masalah ini tidak akan dipetieskan. Sebab, menurut Sulaiman, pelaku melakukan kesalahan fatal. Untuk menembak, ada prosedur yang harus dilakukan, misalnya memang jiwa pelaku atau yang dikawal terancam. "Kalau tidak membahayakan, seharusnya dialog saja, tak perlu dar-dor-dar-dor," ujar Sulaiman A.B.
Riza sendiri tak bisa dikonfirmasi soal aksi yang dilakukan pengawalnya. Telepon genggam suami Fera Haz itu hanya berbunyi perintah meninggalkan pesan. Pesan pendek yang berisi pertanyaan soal kasus penembakan itu juga tak berbalas. Padahal kasus ini sudah menjadi buah bibir di kalangan politisi Partai Persatuan Pembangunan, "Begitu tanya Riza, pasti mau tanya kasus (Jalan) A. Yani, kan?" kata kawan Riza yang tak mau disebut namanya.
Kini tinggal Solomo dan Abdul Rauf yang menghitung hari di rumah sakit. Namun, jika mereka sembuh, persoalan juga belum selesai. Keduanya harus menjalani pemeriksaan sebagai saksi. "Saya mau memberikan keterangan kalau sudah sembuh," ujar Solomo.
Edy Budiyarso, TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini