ANTEK, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti ?orang (negara) yang diperalat atau dijadikan pengikut orang (negara lain); kaki tangan; budak?. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta, antek diterangkan sebagai ?budak (abdi); kaki tangan?. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer susunan Peter Salim dan Yenny Salim bahkan menurunkan kalimat contoh: ?Antek-antek yang mendalangi gerakan subversif itu harus dibasmi sampai tuntas.?
Kita tak tahu kamus apa yang dirujuk oleh Ketua Umum Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), R. Hartono, ketika beliau mengumumkan dirinya sebagai ?antek Soeharto?, Ahad 14 Maret lalu. Yang kita tahu, adalah sah belaka bagi siapa pun untuk mengumumkan dirinya sebagai antek apa pun, selama pernyataan itu bersifat pengakuan dan pertanggungjawaban individual.
Masalahnya baru menjadi lain ketika tokoh yang sama mengimbau sebuah kelompok masyarakat, dalam hal ini ?orang Yogya?, untuk ikut menjadi antek Soeharto? ?kalau (mereka) merasa orang Yogya dan bangga dengan Yogya-nya?. Tak mengherankan jika gayung bersambut langsung diserukan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang sebetulnya tak suka banyak bicara itu.
Secara arif Sultan mengingatkan bahwa orang Yogya tak akan berpaling dari Deklarasi Yogyakarta, yang secara hakiki menyatakan pemihakan kepada reformasi seraya mengucapkan selamat tinggal kepada rezim Orde Baru. ?Jika kemudian ada yang mengajak menjadi antek Orde Baru, saya jelas menolak,? kata Sultan. Kelompok mahasiswa Yogyakarta bahkan sempat merencanakan turun ke jalan menolak ajakan itu.
Dalam bingkai pikiran ini, reformasi dimaknakan sebagai langkah ?meninggalkan masa lampau yang salah?, lepas dari kenyataan bahwa ?reformasi? pun pada akhirnya terjerembap ke dalam berbagai praksis yang tidak sepenuhnya benar. Karena itu, jika hanya dalam lima tahun kemudian sudah muncul keberanian memutar kembali jarum jam sejarah, semua pihak yang berkemauan baik seyogianya bersama-sama meluruskan pikiran.
Manuver ?rindu Soeharto? mengingatkan kita pada situasi sulit sandang-pangan 1960-an, ketika sebagian orang?terutama para mantan ambtenaar?merindukan kembali ?zaman normal?, yakni era kolonial Hindia Belanda. Tapi ketika itu pun rakyat sadar, ?kembali ke zaman normal? sama dengan mengkhianati Proklamasi Kemerdekaan, mengkhianati para bapak bangsa dan jutaan pejuang yang gugur, serta kembali menjadi ?antek kolonialis?.
Demokrasi, yang merupakan satu di antara pilar reformasi, memang memberikan hak hidup bagi semua kelompok politik?tapi bukan tanpa catatan. Jika satu kelompok politik merupakan bagian dari sistem dan perangkat masa lampau yang menginjak-injak demokrasi itu sendiri, memberangus kemerdekaan berpikir dan berpendapat, serta menganiaya hak-hak asasi manusia, apakah kelompok ini berhak tampil kembali hanya dengan janji murah sandang murah pangan?
Sebaliknya, keberanian ?membangkitkan kembali batang terendam? ini seyogianya membuat seluruh komponen reformasi melakukan introspeksi, berpikir jernih, dan melaksanakan program yang selama ini keteteran. Banyak pekerjaan rumah yang terbengkalai, termasuk merumuskan ?rekonsiliasi? dengan sisa-sisa rezim Orde Baru secara jernih dan beradab.
Contoh paling aktual, mungkin, adalah rekonsiliasi model Afrika Selatan. Di sana, rekonsiliasi itu memang kemudian memberikan demokrasi bagi sisa-sisa perangkat rezim apartheid yang buas, tetapi setelah para eksponen rezim apartheid itu sendiri mengakui secara jelas dan terbuka apa saja yang mereka lakukan selama berkuasa. Seorang polisi apartheid, misalnya, memperagakan kembali caranya memukul dan menginjak-injak demonstran, atau menculik mahasiswa prodemokrasi tanpa surat perintah apa pun.
Hukuman memang kemudian dijatuhkan pada mereka, tanpa semangat membalas dendam. Termasuk hukuman badan dan larangan melakukan kegiatan politik selama sekian tahun, tergantung besar-kecilnya peranan yang diambil dalam rezim yang lampau itu. ?Peragaan? itu bukanlah pemblejetan, melainkan upaya berkaca untuk tidak mengulangi hal yang sama dalam menyelenggarakan demokrasi pascarekonsiliasi.
Di negeri ini, Orde Baru bukanlah sesuatu yang abstrak, sesuatu yang hanya singgah sebentar dalam mimpi buruk kita. Ia bertaut dengan ingatan empiris dan ingatan kolektif jutaan orang, baik yang masih hidup maupun yang telah berkalang tanah di makam-makam tak dikenal. Tapi ia juga bertaut dengan upaya meluruskan sejarah, sehingga masa gelap sekitar 32 tahun tidak tergerus oleh ?hujan sehari? masa-masa kampanye pada saat ini. Jika ajakan menjadi antek Soeharto dianggap sebagai pembodohan, seperti diungkapkan sejumlah komentator, selayaknyalah kekuatan-kekuatan proreformasi bermain ?pintar?, tidak sekadar mengobral janji dan harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini