Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manu Daher sesaat mengerutkan kening, lalu tertawa geli. "Anda ingin memotret bekas rumah ÂZinedine Zidane?" katanya kepada Tempo, akhir Mei lalu. Pria yang bekerja sebagai koordinator pusat olahraga Sportif di La Castellane, Marseille, Prancis, itu kemudian mengajak ke luar gedung dan menunjuk lurus ke arah kanan. "Lihat itu, mereka sedang menghancurkannya." Telunjuknya mengarah ke dua buldoser yang bertengger di atas reruntuhan gedung. Para pekerja tampak sibuk meremukkan sisa-sisa beton yang membandel.
Gedung G atau yang kerap dijuluki Gedung Zidane dirobohkan mulai 10 Mei lalu. Penghancuran gedung yang dibangun pada 1971 itu merupakan bagian dari proyek peremajaan kota. Setelah pada Gedung G, penghancuran akan dilakukan pada Menara K, yang dihuni 97 keluarga. Selain untuk menyediakan perumahan yang lebih layak, peremajaan dilakukan buat membuka akses agar memudahkan polisi mengatasi peredaran obat terlarang, yang merajalela di daerah itu.
Penghancuran rumah masa kecilnya itu terjadi ketika Zidane bersiap menghadapi laga besar. Di Stadion San Siro, Milan, Italia, 18 hari setelah rumah masa kecilnya dirontokkan, Zidane memimpin tim asuhannya, Real Madrid, menjalani partai final Liga Champions Eropa melawan tim Spanyol lainnya, Atletico Madrid. Pelatih 43 tahun itu kemudian bisa menyaksikan timnya, yang sempat ditahan lawan 1-1 hingga babak perpanjangan waktu, menjadi juara setelah menang adu penalti 5-3.
Zidane, yang baru menggantikan Rafael Benitez pada Januari lalu, tampak berseri-seri saat mengangkat trofi. "Memenangi Liga Champions adalah yang terbaik, serupa dengan keberhasilan menjadi juara dunia," kata pria yang ikut mengantar tim nasional Prancis menjuarai Piala Dunia 1998 itu, seperti dikutip The Guardian. "Ini sangat spesial. Saya sangat bahagia memenangi trofi Liga Champions sebagai pemain, asisten pelatih, dan pelatih kepala."
Sebagai pemain, Zidane pernah mengantar Real Madrid menjadi juara kompetisi yang sama pada 2002. Pada 2014, ia juga ikut mengantar tim yang sama sebagai juara saat menjadi asisten Carlo Ancelotti. Kini ia menjadi pelatih Prancis pertama yang mampu merebut gelar bergengsi kompetisi Eropa itu, sekaligus orang ketujuh yang bisa meraih gelar tersebut sebagai pemain dan pelatih.
Trofi Liga Champions dan medali Piala Dunia hanyalah sebagian dari sederet penghargaan yang diraih Zidane. Ia juga ikut mengantar Prancis menjuarai Piala Eropa 2000. Ia sekali terpilih sebagai pemain terbaik Eropa dan tiga kali menjadi pemain terbaik dunia. Ketika masih bermain, ia juga dikagumi karena kemampuan olah bolanya yang mencengangkan.
Kevin Keegan, mantan Manajer Inggris, menyebutkan bahwa perbedaan Zidane dengan pemain hebat lain adalah kemampuannya memanipulasi bola. "Ia bisa menemukan ruang bagi dirinya dari ketiadaan. Ditambah visinya dalam bermain, ia benar-benar spesial," kata Keegan, seperti dikutip The Daily Telegraph pada 2000. Sedangkan legenda sepak bola Jerman, Franz Beckenbauer, kepada harian Spanyol, AS, menggambarkannya sebagai "lebih seperti penari ketimbang pemain bola".
Kemampuan yang menyihir itu bermula di La Castellane, kawasan berbukit dan berbatu yang berjarak 15 kilometer dari pusat Kota Marseille. Zidane mulai mengasah kemampuan mengolah si kulit bundar di Place de La Tartane, lapangan terbuka di dekat kompleks rumahnya. Sayangnya, tempat itu pun segera sirna. "Place de La Tartane, tempat Zidane kecil bermain bola, berada di balik gedung (G) itu. Tentu saja lapangan itu sekarang sudah tidak kelihatan karena tertimbun reruntuhan," ujar Manu Daher.
Selain di La Tartane, bakat Zidane terÂasah di SO Septemes-les-Vallons. Klub yang lokasinya berjarak 20 kilometer dari Stade Velodrome, Kota Marseille, itu agak tersembunyi dari jalan raya Avenue du 8 Mai 1945. Tempat itu tampak sepi ketika Tempo mendatanginya, akhir Mei lalu. Menurut Frederic Bonnet, wakil presiden klub tersebut, hari itu mereka memilih tutup karena ada demo buruh besar-besaran di seluruh Prancis.
Zidane berlatih di tempat itu saat berusia 13 tahun. Ia pindah dari klub lamanya, US Saint-Henri, karena ingin mencari pelatih yang lebih baik. Bonnet kala itu berlatih bersama Zidane. "Dia biasa datang sendiri dengan bus atau diantar dengan mobil butut ayahnya. Kalau sedang ada pertandingan, pelatih kami yang datang menjemputnya di La Castellane," katanya.
Bonnet dan kawan-kawan biasa menyebut Zidane sebagai "le beau gosse" atau anak tampan. Bocah yang sangat sopan itu amat menonjol begitu bermain di lapangan. "Suatu kali kami bertanding dengan AS Foresta dan menang 11-0. Tujuh gol di antaranya dicetak Zidane," ujar pria kelahiran 1971 ini. AS Foresta adalah klub tetangga SO Septemes-les-Vallons.
Zidane berlatih di SO Septemes-les-Vallons selama setahun. Pada usia 14 tahun, saat ia mengikuti program pelatihan di Aix-en-Provence, bakatnya terendus klub AS Cannes. Zidane bergabung dan berhasil menembus tim utama pada usia 17 tahun. Saat ia mencetak gol perdana, presiden klub itu menghadiahinya sebuah mobil Clio berwarna merah.
Di klub itu pula Zidane mulai mampu memukau dunia, termasuk saat memamerkan gerakan ala roulette. Ketika membawa bola dan dihadang lawan, ia tiba-tiba bisa memutar tubuh 360 derajat dengan tetap menguasai bola di kaki dan kemudian meneruskan aksi dribbling-nya. Gerakan seperti itu lantas seperti menjadi ciri khasnya dan berkali-kali ditunjukkan sepanjang kariernya, sehingga kerap disebut Zidane turn, meski sebelumnya juga dipraktekkan Diego Maradona dan Johan Cruyff.
Setelah di Cannes, petualangan sang gelandang berlanjut di Bordeaux, Juventus (Italia), dan Real Madrid (Spanyol). Di keempat klub itu, Zizou—panggilannya—meraih total 13 gelar juara. Dalam rentang 18 karier bermainnya, ia juga memperkuat tim nasional Prancis 108 kali dengan menyumbangkan 31 gol.
Kariernya di tim nasional terbilang lengkap karena bisa merebut gelar juara Piala Eropa dan Piala Dunia, meski ujung kariernya sempat diwarnai noda. Pada laga terakhirnya bersama tim nasional, dalam partai final Piala Dunia 2006 di Berlin, Jerman, Zidane mendapat kartu merah akibat menanduk dada pemain Italia, Marco Materazzi, yang menghina ibunya.
Bonnet hanya menyaksikan sepak terjang mantan rekan setimnya itu dari jauh. Ia terakhir kali bertemu dengan Zidane delapan tahun lalu ketika terlibat dalam pertandingan persahabatan untuk mengumpulkan dana bagi kegiatan donor darah di kota pesisir Fos-sur-Mer. "Kami hanya bisa iri tapi ikut bahagia atas keberhasilannya. Saya dengar dia membelikan rumah bagi seluruh keluarganya di Les Pennes-Mirabeau, daerah perbukitan yang asri tak jauh dari Marseille," ujarnya.
Zidane adalah anak terkecil dari lima bersaudara. Kedua orang tuanya, Smail dan Malika Zidane, datang ke Prancis dari Kabylie, bagian utara Aljazair, pada 1953. Dalam keluarganya, Zidane biasa dipanggil Yazid. Sejak kecil, ia sudah dicekoki ayahnya, pengawas gudang sebuah department store, soal pentingnya kerja keras. "Ia mengajari kami bahwa seorang imigran harus bekerja dua kali lebih keras daripada orang lain dan tak boleh menyerah," katanya, seperti dikutip The Guardian, April 2004.
Dalam berbagai kesempatan, Zidane mengaku beruntung akhirnya bisa keluar dari La Castellane. "Itu (tinggal di sana) mengajarkan tak hanya soal sepak bola, tapi juga kehidupan. Ada banyak anak dari keluarga miskin dan ras berbeda-beda. Orang-orang kadang harus berjuang untuk melewati hari," ujarnya. "Sepak bola adalah jalan termudah."
Karena latar belakang keluarganya, kehebatan dan kebesaran Zidane ikut mengangkat martabat imigran di masyarakat Prancis. Bagi Douglas Gordon dan Philippe Parreno, pembuat film dokumenter Zidane: A 21st Century Portrait, Zidane adalah teladan di dunia kontemporer yang kerap menghadirkan krisis identitas. "Banyak orang tercerabut dari akarnya dan harus berjuang mendapatkan pengakuan di tempatnya yang baru. Zidane adalah duta untuk mereka."
Saat Prancis menjadi tuan rumah Piala Eropa 2016, mulai Jumat pekan lalu hingga 10 Juli mendatang, nama Zidane niscaya akan kembali disebut-sebut. Kebesarannya bahkan masih memikat sponsor. Perusahaan telekomunikasi Inggris, Orange, menjadikannya ikon dalam iklan untuk turnamen itu.
Pada saat yang sama, di La Castellane, jejaknya justru menipis bersama runtuhnya Gedung G dan lapangan La Tartane. Manu Daher menyebut tempat itu seperti sudah tidak ada hubungan dengan Zidane. "Seluruh keluarganya sudah keluar dari kompleks ini. Teman-teman masa kecilnya juga ikut pindah," katanya. "Hanya orang-orang yang tidak punya pilihan yang bertahan tinggal di sini. Tapi, jika ada kesempatan, semua orang ingin keluar dari La Castellane."
Sepeninggal Zidane, La Castellane tak menjadi lebih baik. Melimpahnya pendatang baru justru membuat daerah itu kian sesak dan menjadi lahan subur tumbuhnya geng baru. Gelombang baru pendatang juga membuat angka pengangguran terus menjulang. "Yang menjadi korban adalah anak-anak dan remaja, yang terjebak dalam situasi yang tidak kondusif," ujar Lydie Marchi, koordinator acara seni budaya di La Castellane, kepada Tempo, akhir Mei lalu.
Namun nama Zidane tak benar-benar hilang dari sana. Ia masih menjabat presiden kehormatan klub Nouvelle Vague, yang menampung anak-anak La Castellane. Farid, kakak Zidane yang menjadi pelatih di klub tersebut, melukiskan peran tak langsung saudaranya itu. "Ketika Anda bilang berasal dari La Castellane, orang-orang biasanya takut," katanya. "Kemudian, ketika Anda menjelaskan bahwa tim ini dipimpin Zidane, mereka biasanya langsung menunjukkan rasa hormat."
Zizou kini bermukim di Madrid, bersama istrinya, Veronique, dan empat anaknya, Elyaz, Theo, Luca, dan Enzo. Tapi ia tak pernah melupakan tempat masa kecilnya itu. "Setiap kali memikirkan dari mana saya berasal, saya masih bangga tentang siapa diri saya: pertama-tama, seorang Kabylie dari La Castellane, lalu seorang Aljazair dari Marseille, kemudian seorang Prancis," ujarnya. Asmayani Kusrini (Marseille), Nurdin saleh (The Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo