Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Agama Schoemaker

Seperti rancangannya yang selalu berubah, kisah hidup Wolff Schoemaker juga penuh drama. Schoemaker pernah menulis buku bersama Mohammad Natsir. Dia menjalankan ibadah haji pada Desember 1938.

13 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 1942 merupakan saat yang mencekam bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia. Orang Belanda dan yang berdarah Indonesia-Belanda menjadi sasaran penangkapan bangsa Jepang yang menginvasi Indonesia. Demi keselamatan, Wolff Schoemaker menitipkan anak-anaknya, Maximilliaan, 9 tahun, Nachita (8), dan Ernst Prosper (6), kepada keluarga angkat salah satu mantan istrinya, Ouw Joe Hoa Njo, di Ujung Berung, Bandung. Tapi situasi tak menjadi lebih aman di sana.

Ouw Joe Hoa sempat membawa tiga anaknya ke rumahnya di Gang Tilil, kawasan Dago, Bandung, sebelum mengungsi bersama rombongan ke Losarang, Indramayu, tempat tinggal orang tua kandungnya. Nachita masih ingat betul bagaimana jarak 100 kilometer itu mereka tempuh dengan berjalan kaki selama berhari-hari.

Setiap kali bertemu dengan gerilyawan Indonesia, Nachita, yang fisiknya paling bule di antara saudara-saudaranya, menjadi anak pertama yang disembunyikan. Jika ketahuan, rombongan mengaku bahwa Nachita dan saudara-saudaranya adalah anak Wolff Schoemaker, "Kami dilepaskan dan boleh berjalan lagi," kata Nachita, kini 82 tahun, kepada Tempo di Den Haag, mengenang kejadian itu. Selama perjalanan itu, nama Wolff Schoemaker menyelamatkan mereka. Bukan hanya para gerilyawan memberikan jalan. Tentara Gurkha—tentara bayaran Inggris asal Nepal—juga menjaga mereka dalam perjalanan itu.

Begitulah Wolff Schoemaker dikenal pada masanya: seorang arsitek Belanda kelahiran Banyu Biru, Semarang, rektor dan guru besar sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia. Hubungan baiknya dengan komunitas Belanda dan tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia itu yang menyelamatkannya, juga keluarganya, pada masa "bersiap". Dia tidak pernah ditangkap tentara Jepang meski tak mengungsi pada masa itu.

***

Wolff Schoemaker lahir dengan nama Charles Prosper Schoemaker di Banyu Biru, 25 Juli 1882. Dia anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Jan Prosper Schoe­maker dan Josephine Charlotte Wolff, seorang Jerman. Pada usia 12 tahun, Schoemaker menempuh pendidikan menengah di Nijmegen, Belanda. Enam tahun kemudian, dia menjadi kadet di Koninklijke Militaire Academie, Breda, Belanda.

Pada 1905, Schoemaker kembali ke Indonesia sebagai tentara Ko­ninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) berpangkat letnan dua dengan keahlian di bidang teknik. Dia menikahi Lucie Holfstede, gadis Belanda yang dikenalnya sejak remaja di Nijmegen. Pernikahan itu menghasilkan lima anak. Namun, setelah 12 tahun, mereka bercerai.

Ketika kontrak empat tahun di KNIL berakhir, Schoemaker mundur atas permintaan sendiri. Dia meniti karier di departemen pekerjaan umum, lalu di perusahaan importir peralatan teknik, Carl Schlieper & Co. Pada masa itu, dia sempat tinggal di kota-kota besar Amerika Serikat untuk mengamati karya-karya Frank Lloyd Wright.

Ketika kembali, Schoemaker bersama adiknya, Richard Leonard, mendirikan firma C.P. Schoemaker en Associate Architecten & Ingenieurs di Bandung pada Mei 1918. Firma ini tutup pada 1924, tapi reputasi Schoemaker kala itu telah mengubah namanya menjadi Wolff Schoemaker sebagai arsitek. Schoemaker diangkat menjadi profesor arsitektur di Technische Hogeschool di Bandung. Schoemaker menikmati perannya sebagai pengajar. Dalam lingkup akademik, pandangannya kerap berseberangan dengan Maclaine Pont. Debat arsitektur panjang di antara keduanya sempat menjadi polemik dan tak memiliki titik temu.

Di kampus, dia dikenal dekat dengan kelompok kecil mahasiswa pribumi yang memulai aktivitas nasionalis. Di antaranya Sukarno, salah satu mahasiswanya yang paling cemerlang. Selain aktivitasnya sebagai arsitek dan akademikus, Schoemaker aktif dalam berbagai organisasi seni. Di antaranya Bandung Art Circle. Schoemaker juga dikenal sebagai pematung dan pelukis. Salah satu karya patungnya yang terkenal adalah Monumen De Groot, yang dibangun di Taman Citarum, Bandung. Saat ini monumen itu sudah digantikan dengan bangunan masjid dan Sekolah Istiqomah.

Sebagai pelukis, karya-karya Schoemaker dapat ditemukan dalam koleksi seni taipan media sekaligus pemilik Vila Isola, D.W. Beretty. C.J. van Dullemen menuturkan bahwa Sukarno memiliki setidaknya tiga lukisan karya Schoemaker. "Saya pernah melihat sebuah lukisan besar Sukarno berbaju putih dan berpeci hitam di atelier lukis ayah saya," kata Nachita. Ukurannya kurang-lebih 100 x 70 sentimeter dan tersimpan di salah satu museum di Jakarta.

Nachita mengakui bahwa ayahnya sosok yang populer di kalangan elite Hindia Belanda. Setelah perpisahannya dengan Lucie Holfstede, "Ayah saya selalu dikelilingi perempuan dan kerap tertarik pada perempuan," kata Nachita. Pada 1922, Schoe­maker menikahi Petronella Margaretha van Oppen. Pernikahan itu tak membuahkan keturunan. Mereka berpisah dua tahun kemudian.

Pertemuannya dengan Ouw Joe Hoa Njo berawal dari pekerjaannya. Schoemaker selalu membeli kayu di Ujung Berung, Bandung, yang kala itu dikenal sebagai perkebunan dan pusat penjualan kayu yang bagus. "Ibu saya tinggal di sana bersama orang tua angkatnya. Ketika melihat Ibu, Ayah melamarnya. Mereka menikah pada 1933 dengan selisih usia 29 tahun," katanya.

Pernikahan ketiga ini hanya bertahan dua tahun. Ibu Nachita, perempuan Tionghoa yang tak bisa berbahasa Belanda, tak bisa menerima Schoemaker yang sering berada di luar rumah karena pergaulan sosialnya yang luas. Apalagi Schoemaker yang flamboyan itu acap dikelilingi lawan jenis. "Situasi itu tidak bisa diterima ibu saya sehingga mereka bercerai," katanya. Pada 1935, Schoemaker menikahi Corona "Croontje" Aveline Hilgers, gadis Belanda-Jawa. Mereka memiliki satu anak sebelum bercerai. Pada saat invasi Jepang, Schoemaker menikahi sekretarisnya, Jetty van Burgen. Pernikahan ini bertahan hingga akhir hayatnya. Dari lima pernikahan ini, Schoemaker memiliki enam putra dan empat putri.

***

Agama menjadi bagian dari kisah hidup Schoemaker yang paling menarik. Selama hidupnya, Schoemaker membangun tiga rumah ibadah yang menjadi ikon Kota Bandung: Gereja Katolik Saint Peters (1922), Gereja Bethel (1925), dan Masjid Nijland­weg (1933). Entah kebetulan entah tidak, tiga agama itu pernah dianutnya sepanjang hidup.

Schoemaker lahir dari keluarga Katolik yang taat. Menurut Dullemen, yang mewawancara Lucie, putri kedua Schoemaker dari istri pertamanya, Schoemaker meninggalkan Katolik dan menjadi muslim pada 1915. Namun, menurut Nachita, ayahnya masuk Islam pada 1934, tahun yang sama dengan kelahirannya. "Ayah mengatakan nama saya berasal dari bahasa Arab Mesir yang bermakna derai hujan. Tapi, menurut kawan-kawan saya yang berbahasa Arab, Nachita berarti mem­bangun," kata Nachita sembari tertawa.

Langkah itu dilakukan Schoemaker setelah mendalami Islam dan mempelajari Al-Quran. Hal ini membuatnya populer di kalangan mahasiswa pribumi tapi menyebabkan komunitas kulit putih Belanda mengernyitkan dahi. Tindakan itu dianggap merendahkan status sebagai bangsa superior. Selain Schoemaker, satu-satunya orang Belanda terkenal yang melakukan langkah ini adalah profesor asal Leiden, Snouck Hurgronje.

Tatkala memeluk Islam, Schoemaker terbilang aktif dalam organisasi Islam. Dia tercatat sebagai Wakil Ketua Western Islamic Association di Bandung. Dia juga menulis buku bersama tokoh Persatuan Islam (Persis), Mohammad Natsir, yang berjudul Cultuur Islam pada 1937. Nama Schoemaker di muka buku itu ditulis sebagai Prof Kemal C.P. Wolff Schoemaker.

Dalam buku itu, Schoemaker memuji karakter Islam yang humanis, toleran, dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Dia juga menjelaskan sejarah arsitektur masjid dunia, dari Jazirah Arab hingga India. "Rupa kekuatan Islam bisa dilihat dari pembangunan masjid." Schoemaker juga mengkritik masjid yang ada di Indonesia, yang menurut dia, "Sederhana, miskin, tidak mempunyai kekuatan dan keindahan yang diciptakan oleh Islam di tempat lain." Hal ini kontras dengan potensi umat Islam Indonesia yang berjuta-juta jiwa.

Sebelum buku itu ditulis, Schoemaker membangun Masjid Nijland­weg (Masjid Raya Cipaganti) pada 1933. Namanya tercantum dalam prasasti di masjid itu. Mahasiswa-mahasiswa Schoemaker membantu dengan membuat besi tempa dan kayu untuk masjid dengan sokongan Laboratorium Keramik di Bandung. Bagaimana masjid itu bisa dibangun di daerah elite Belanda itu masih jadi misteri. Yang jelas, Schoemaker memadukan arsitektur Jawa, pengaruh Timur Tengah, dan gaya modern Eropa dalam masjid itu.

Schoemaker menjalankan ibadah haji pada Desember 1938. Ibadah itu dilakukan tak lama setelah dia berlayar ke Belanda menggantikan adiknya, Richard, sebagai pengajar di Technische Hogeschool Delft selama setahun. Schoemaker membawa istrinya, Croontje, dan Nachita, putrinya, dalam perjalanan itu. Mereka sempat singgah di Kairo, Mesir.

Selama masa pendudukan Jepang, Schoemaker dilindungi imam masjid Muhammadiyah dari Jepang. Nachita juga menyebut ayahnya merupakan anggota dari salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Schoemaker juga bergabung dengan Persatoean Oemmat Islam tak lama setelah perang.

Setelah pendudukan Jepang, Nachita tinggal kembali dengan ayahnya. Dia ingat bahwa ayahnya beberapa kali menggelar pesta dengan rijstafel—prasmanan Indonesia dengan gaya Belanda—di rumahnya di Nijland­weg, Bandung. "Banyak sekali orang Indonesia yang hadir. Kami, orang Belanda, tidak punya tradisi untuk menerima tamu di rumah. Jadi saya kira Ayah lebih banyak melakukan pertemuan dengan kawan-kawannya di masjid, di kampus, atau tempat-tempat sosial lain."

Pada 1948, setahun sebelum kematiannya, Schoemaker sempat berkirim surat kepada Sukarno, yang kala itu telah menjadi Presiden Republik Indonesia. Dia mendorong anak didiknya itu untuk mengubah negara Indonesia menjadi kesultanan Islam Indonesia. Menurut dia, hanya kohesi muslim yang mampu menyatukan Indonesia. Dia juga menyebutkan keinginannya untuk bekerja sebagai arsitek lagi dan berencana membangun konsultan konstruksi bersama R. Roosseno Soerjohadikoesoemo, salah satu anak didiknya.

Keinginan itu tidak terlaksana. Schoemaker mengalami perdarahan di otak. Pada masa itu, dia kecewa karena tak banyak orang dari kalangan Muhammadiyah yang datang dan mengontak. "Yang saya ingat, hanya ada sepasang suami-istri dari Muhammadiyah yang secara teratur menjenguk ayah saya. Saya masih ingat wajah mereka. Sukarno—murid kesayangannya—tidak pernah menengok," kata Nachita. Dalam sakit yang semakin berat, Schoemaker terus mengajar. "Murid terakhirnya adalah sepasang suami-istri Tiong­hoa yang secara khusus datang ke rumah kami."

Di ranjang kematiannya, Schoemaker meninggal sebagai Protestan. C.J. van Dullemen menduga berpindahnya Schoemaker lebih merupakan upaya untuk memenuhi keinginan keluarganya ketimbang keinginannya sendiri. Apalagi Jetty, istri terakhirnya, dalam surat-suratnya kepada keluarga di Belanda, sempat menyebutkan bahwa Schoemaker banyak menderita dan mulai mengalami kebingungan mental.

Namun hal ini dibantah Nachita. Menurut dia, selama ayahnya sakit, "Ada seorang pendeta Protestan yang selalu setia mendampingi. Tampaknya situasi ini berpengaruh sehingga ia meninggal sebagai Protestan." Schoemaker meninggal pada 22 Mei 1948. Dia dikebumikan di Permakaman Pandu, Bandung. Sukarno disebut sebagai orang yang merancang nisan sederhana untuk gurunya itu. AMANDRA M. MEGARANI (JAKARTA), LEA PAMUNGKAS (DEN HAAG), ANWAR SISWADI (BANDUNG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus