Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wolff di Jagat Seni Lukis

13 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sering dilupakan bahwa Wolff Schoemaker selain arsitek adalah pelukis kenamaan. Lexicon of Foreign Artist Who Visualized Indonesia 1600-1950 susunan Leo Haks dan Guus Maris Leo menambahkan bahwa ia juga pematung. Itu sebabnya, ketika pada 1986 kolektor Scherpel datang ke Indonesia dan memamerkan puluhan seni rupa Hindia Belanda, lukisan Wolff dicari-cari.

Kolektor kawakan yang mengerti sejarah seni memang akan memburu karya Wolff. Dan perburuan itu semakin seru lantaran lukisan Wolff ternyata langka. Menurut kritikus Kusnadi, narasumber Claire Holt kala menyusun buku Art in Indonesia: Continuities ad Change, kelangkaan tersebut terjadi karena Wolff lebih memilih profesi arsitek dan dosen ketimbang melukis. Maka Wolff bisa dibilang zondag kunstenaar (pelukis hari Minggu).

Namun, meski "pelukis hari Minggu", Wolff tetap diagul-agulkan! Menurut Ba­soeki Abdullah, Wolff sangat bersimpati kepada para pelukis Indonesia, yang sering didiskriminasi berbagai kunstkring (perkumpulan seni Belanda). Semangat anti-diskriminasi itu semakin menyala ketika Wolff mengenal dekat para pemikir kebangsaan di Bandung dan Batavia kala itu, seperti R.M.P. Sosrokartono, Mr Soenario, Otto Iskandardinata, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Juga tentu dengan Sukarno, muridnya di perguruan teknik. Patut diingat juga, Wolff adalah "provokator" para perupa Hindia Belanda untuk membuat poster-poster anti-penjajahan Jepang. Maka lahir poster heroik metaforik dari tangan Nico Broekman, Auke Sonnega, Pat Keely, dan sebagainya.

Basoeki pernah bercerita, ketika Wolff melihatnya melukis model di kios pasar malam kecil Bandung pada 1933, Wolff mengajaknya untuk ikut pameran Jaarbeurs XIV (Pasar Malam Besar ke-14) di Bandung, mendampingi para pelukis Hindia Belanda pilihan. Wolff (dan Sosrokartono) kemudian mengusahakan Basoeki untuk sekolah seni ke Belanda.

Menurut cerita pelukis istana Presiden Sukarno, Lim Wasim, pada 1940-an Wolff sering makan di Restoran Hoa Sang, Bandung. Restoran bermenu Eropa itu milik ayah Wasim, yang bernama Lim Tjie. Wolff tahu bahwa putra pemilik restoran adalah Wasim, pelukis remaja. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, banyak orang Belanda pulang ke negerinya. Restoran itu mulai sepi, dan Wolff merasa prihatin. Berkatalah Wolff kepada Lim Tjie: "Saya tak ingin tiba-tiba ada tulisan 'Dit huis staat te koop' (Rumah ini akan dijual) di dinding restoran, gara-gara bangkrut." Lim Tjie merasa kalimat itu bentuk perhatian Wolff kepada nasib Wasim sebagai calon pelukis.

Omar Basalmah, pelukis Bandung yang kemudian tinggal di Bogor, Jawa Barat, punya catatan unik mengenai Wolff. Pada 1948, Wolff merintis pendirian perkumpulan Tjipta Panjaran Rasa, yang beranggotakan Angkama, Abedy, Huang Wei Shing (Anton Kustiawijaya), sampai Basalmah sendiri. "Agar pelukis Bandung berani jalan ke mana-mana," kata Wolff. Namun perkumpulan ini tetap saja "kurang nyali", sehingga baru pada 1950 dinyatakan resmi berdiri oleh Angkama, setahun setelah Wolff wafat. Semangat ini diadopsi oleh Barli, yang mendirikan Jiva Mukti. "Sanggar Jiva Mukti berisi spirit pelukis Wolff," kata Barli.

Presiden Sukarno memasukkan lukisan Dua Gadis Sedang Mandi karya Wolff ke buku koleksinya. Lukisan itu menggambarkan dua perempuan Sunda telanjang sedang menikmati pancuran air sungai. Segala aspek lukisan ini sempurna, walaupun wajah gadis Sunda itu terkesan seperti noni Belanda.

Menurut Arie Smit, yang pernah mengajar di Institut Teknologi Bandung, Wolff melukis juga karena dorongan Jan Frank, Velthuysen, dan Piet Ouborg, rekan-rekannya di Bataviasche Kunstkring. Atas lukisan Dua Gadis Sedang Mandi, Wolff dirangsang oleh lukisan Paul Gauguin, Annah: la Javanaise. Pada 2011-2013, saya diminta Sekretariat Negara menominalisasi koleksi benda seni Istana Presiden yang berjumlah 16 ribu. Lukisan Wolff di atas, yang terbuat dari cat minyak di atas karton 70 x 50 sentimeter, tergantung anggun di ruang khusus nude dan terhargai sekitar Rp 300 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus