Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Maha

13 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sapardi Djoko Damono*

Sila pertama dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, disingkat YME. Kalau kita menuruti kaidah berbahasa, cara penulisan itu keliru. Kata "maha" tidak bisa berdiri sendiri kalau diikuti kata dasar, jadi seharusnya penulisannya adalah "Mahaesa". Di samping itu, kata "yang" tidak seharusnya diawali dengan huruf kapital. Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Pemurah karena "pengasih" dan "pemurah" bukan kata dasar, tapi berasal dari kata "kasih" dan "murah"—meskipun kata dasar "murah" ini tidak berkaitan dengan harga. Kata "murah" akan menjadi lain artinya jika diberi awalan "pe-", artinya suka memberi dan sangat baik hati. Tapi istilah itu akan bermasalah jika kita menyingkatnya menjadi YM karena YM adalah singkatan Yang Mulia, penyebutan untuk orang yang kita hormati. "M" dalam singkatan itu bukan maha.

Apakah yang maha hanya Tuhan? Tidak juga. Ada mahasiswa, mahasiswi, mahaguru, mahapatih, dan sebagainya—semuanya manusia yang "maha". Orang-orang yang berlabel maha kita anggap unggul dibandingkan dengan yang lain. Maharani adalah ratu perempuan, meskipun bisa juga berarti nama tetangga di sebelah rumah yang oleh ibu dan bapaknya diharapkan menjadi sosok yang unggul. Maharesi adalah resi yang unggul; maharupa artinya elok sekali.

Alinea pertama tulisan ini mengacu pada beberapa pengertian: pertama, "maha" adalah bentuk terikat, maka tidak bisa berdiri sendiri; kedua, segala sesuatu yang "maha" me­ngandung arti sangat, amat, dan unggul. Namun perlu diingat bahwa ternyata "maha" hanya bisa digabungkan dengan kata yang menunjukkan keunggulan. Maharupa berarti elok parasnya, padahal sebenarnya ada muka yang buruk. Terdengar aneh ternyata kalau menggabungkan "maha" dengan sifat yang negatif. Tidak ada kata mahaburuk atau mahapayah atau mahagoblok atau maharunyam meskipun kita sadar bahwa ada di antara kita ini, baik orang maupun benda, yang memang benar-benar buruk, payah, runyam, dan goblok.

Tampaknya, "maha" juga lebih sesuai kalau digabungkan dengan pengertian yang ada kaitannya dengan masa lampau. Maharesi, maharana (maharana berarti perang besar, bukan maharani laki-laki), maharaja, dan mahadewi adalah beberapa contoh sebutan yang kita kenal saja. Terdengar aneh, meskipun sebenarnya tidak ada yang melarang, kalau ada kata mahacaleg, mahasopir, mahakenek, dan mahapartai. Namun kesimpulan tentang masa lampau itu ternyata keliru juga karena kita mengenal istilah mahasiswa, mahaguru, dan mahakarya. Hanya, kalau maha digabungkan dengan presiden, menjadi mahapresiden, kita akan mengernyitkan dahi karena merasa aneh atau geli. Ada raja, ada maharaja, ada patih, ada mahapatih—semua terdengar wajar. Patih adalah sebutan bagi orang yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi, pintar, halus budi tutur kata, bisa sebagai wakil utusan raja. Kanuragan adalah ilmu bela diri yang bertumpu pada kekuatan adikodrati. Di zaman lampau dikenal kata mahaduta, sekarang kita biasa menyebutnya duta besar. Di zaman yang belum jauh lampau, patih adalah jabatan administratif sebagai kepanjangan tangan raja. Di zaman Majapahit, hanya Gajah Mada yang diberi sebutan Mahapatih.

Kita tidak usah berlama-lama di masa lampau, kembali saja ke masa kini untuk membicarakan mahasiswa, mahasiswi, dan mahaguru. Siswa adalah orang yang mengikuti proses pembelajaran dengan maksud mengembangkan potensi dirinya pada tingkat pendidikan menengah. Kita juga menggunakan kata "murid" yang berlaku untuk mereka yang baru belajar di taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Begitu masuk ke jenjang pendidikan tinggi, label lulusan sekolah menengah diganti menjadi mahasiswa dan, tidak tahu mengapa, bukan mahamurid. Siswa kemudian diganti menjadi peserta didik, pengertian yang tentu mencakup jenis-jenis siswa lain, seperti santri, cantrik, warga belajar, dan pelajar—label-label yang disangkutkan ke berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Perhatikan, hanya siswa yang berhak disebut maha dan, karena itu, tidak kita kenal label mahasantri atau mahacantrik.

Ada mahasiswa, ada mahaguru. Guru adalah pengajar di sekolah dasar sampai sekolah menengah. Tidak ada perbedaan antara yang mengajar di sekolah rendah dan sekolah menengah. Guru di pendidikan tinggi disebut dosen, tapi kita tidak mengenal istilah "mahadosen". Tentu karena bingungnya menyebut guru yang maha ini, kita lebih sering menyebutnya profesor—mungkin karena profesor lebih mudah dicantumkan sebagai gelar seseorang: ada Profesor Sapardi, tapi tidak ada Guru Besar Sapardi (tidak sebab orang itu kurus). Namun lembaga yang isinya otak pendidikan tinggi biasanya disebut dewan guru besar dan bukan dewan profesor. Mungkin keinginan untuk memberi label setepat-tepatnya itulah yang antara lain menggeser-geser "maha" sebagai bentuk terikat dalam bahasa Indonesia, meskipun media yang memuat karangan ini tidak mau menyebut dirinya "mahaenak dibaca dan mahaperlu".

*) Guru, sastrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus