"SAYA masih memendam rasa kecewa," kata Yan Imang. Di
sebuah rumah tanpa listrik, di pinggir rel keretaapi dekat
Senayan, Jakarta, pelari maraton itu akhir pekan lalu
melontarkan kekecewaannya.
Sebelumnya, ia gagal menjuarai Maraton Nasional 1980.
Sedang pengurus Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI)
menuntut supaya ia memecahkan rekor Gurnam Singh yang diciptakan
tahun 1962. Walaupun tidak memecahkan rekor, Ali Sofyan Siregar
malah jadi juara dalam perlombaan 23 November itu.
Kekecewaannya makin bertambah karena kepergiannya ke Hawai
dibatalkan. Di Hawai, seyogianya ia mengikuti maraton
internasional hari Minggu lalu.
"Saya gagal memecahkan rekor itu, hukan kesalahan saya
sendiri," katanya lagi pada Max Wangkar dari TEMPO di bawah
cahaya suram lampu teplok di rumah atlet klub Indonesia
Muda (IM) itu. Pengurus PASI dituduhnya ikut bersalah .
"Hendaknya PASI turut memperhatikan atlet kalau menuntut
atlet supaya berprestasi . . . Menjelang maraton lalu saya cuma
mendapat izin satu hari libur. Bagaimana saya bisa berprestasi
hebat. Gurnam Sinh dulu dipersiapkan dua tahun . . . Keembang
yang ditanam tak akan tumbuh baik kalau tak disiram Siram . "
"Siraman" PASI memang tak dinikmatinya. Bahkan PASI
dianggapnya lalai menguruskan izin Pertamina, tempat ia bekerja,
supaya bisa pergi ke Hawai . Tapi itu diluar wewenang PASI,
demikian Ketua umum Bob Hasan.
Rencana ke Hawai itu datang dari Pemda DKI, penyelenggara
Proklamathon 1980 yang dimenangkan Yan Imang. "Sayang, Yan tidak
mendapat izin libur," kata seorang rekannya dari bagian
personalia Pertamina.
Kegagalan itu membuat Yan Iman, menurut suratkabar Kompas,
telah memutuskan mengundurkan diri. Berita itu tidak
disangkalnya, namun ia menentang tulisan di situ bahwa
seakan-akan ada masalah antara dirinya dengan pelatihnya, M.
Asro. "Pak Asro sudah banyak membantu saya," katanya.
Tak Banyak Menuntut
Adalah John Sondakh, yang bermula menangani Yan Imang
ketika baru mulai menjadi atlet Jawa Timur di Atletik Club '75
(AC '75). Tapi pelatih Sondakh mengakui keberhasilan Yan Imang
berkat asuhan Asro. "Dulu ketika Yan masih mahasiswa STO, ia
masih kalah dari Amang Mulahela. Tapi wataknya baik, dan tidak
banyak menuntut."
Selesai PON 1977, ia pindah ke Jakarta dengan alasan ingin
memperbaiki nasib hidupnya. Sebetulnya atlet kelahiran Alabai,
Pulau Alor (NTT) itu sudah diusahakan bekerja di pabrik gelas
Kedurus, Surabaya. Pindah ke Jakarta Ia menganggur dan bertemu
dengan pelatih klub atletik Maesa, M. Asro, teman Sondakh juga.
Di sini Yan Imang mulai mendapat nama dengan menjuarai
Proklamathon 1978.
Namun kejuaraan ini dipandang oleh beberapa pengasuh
atletik telah mencemarkan watak para atlet. Yan Imang memperoleh
hadiah sepeda motor, misalnya. "Kalau tidak ada perangsang
hadiah, tentu saja kami tidak banyak berusaha," katanya. Ia
memang merebut lagi hadiah sepeda motor pada Proklamathon 1979.
Proklamathon 1980 yang ulenghadiahkan tiket (yang dibatalkan
itu) ke Hawai juga direbutnya.
"Motivasi yang ada sekarang, memang harus dicari gantinya,"
kata Asro. "Soal hadiah bagi seorang yang telah berprestasi
--apalagi di tingkat internasional membawa bangsa Indonesia
pasti akan ada. Tapi janganlah hadiah ItU dijadikan motivasi "
Asro menandaskan bahwa atletik adalah olahraga yang
benar-benar amalir. "Anak-anak datang berlatih pada saya atas
kemauan sendiri. Mereka saya wajibkan membayar Rp 100 sebulan.
Itu sebagai tanda ikatan saja. Kalau mereka mau pergi, tidak
akan saya tahan. Tidak ada kontrak khusus."
Dengan klub IM, Yan Imang tidak melihat ada masalah.
Bersama Asro, ia pindah dari Maesa ke klub IM untuk mendapatkan
pengurus yang lebih banyak mencurahkan perhatian. Buktinya,
Ketua IM menyalurkan mereka bekerja di Pertamina.
"Kalau PASI masih membutuhkan, saya bersedia berlatih
kembali, asal ada perhatian lebih baik. Kalau tidak, saya akan
beralih ke olahraga lain," kata Yan Imang. Akhir pekan lalu ia
memang sudah ikut Lomba Gerak Jalan dan Lari Beregu yang
diadakan Pertamina untuk memeriahkan HUT perusahaan minyak
nasional itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini