BUKAN main. Bukan main. Hujan salju. Lapangan berlumpur setinggi mata kaki. Suhu lima derajat di bawah nol. Toh 22 orang itu terus juga gigih berkutat memperebutkan bola. Sebuah pertarungan yang gila-gilaan. Sebuah pertandingan yang benar-benar mencekam. Kalau dikatakan pertardingan sepak bola, itu memang sepak bola. Tapi apakah bisa disebut sepak bola bila setiap kali ditendang menyusur tanah, bola lantas terhenti oleh lumpur? Atau bila seorang pemain terus meluncur sementara bola yang dikejarnya mandek di tanah becek? Di situasi seperti itu keterampilan bermain bola nyaris tak bisa dipertunjukkan. Pertandingan akbar antara F.C. Porto dari Portugal dan Penarol dari Uruguay di Stadion Nasional Tokyo, Jepang, Minggu pagi lalu memang sudah lama ditunggu. Sebab, perebutan Piala Toyota itu menentukan, siapa pemegang supremasi antarklub tahun ini, kesebelasan dari Eropa ataukah Amerika Latin. Karena itulah, meski cuaca dan kondisi lapangan sangat buruk, pertarungan itu tetap dilaksanakan. "Kalau bukan pertandingan memperebutkan gelar, mungkin saya akan menundanya," ujar pelatih Porto, Tomislav Ivic. Penentuan itu terjadi pada menit ke-110. Pada waktu itu skor imbang 1-1. Dari jarak sekitar 30 meter, Rabah Madjer dari Porto merebut bola berwarna kuning itu dari pemain belakang Penarol, Trasante. Ia langsung memvoli bola itu melewati penjaga gawang Pereira, yang sudah telanjur maju. Gol . . . ! Sekitar 45 ribu orang yang nekat menembus dingin untuk menonton pertandingan itu pun bersorak, menyambut gol indah Madjer, pemain andalan Aljazair di Piala Dunia 1982 dan 1986 ini. Gol itu memastikan kemenangan Porto juara Piala Champions -- atas Penarol juara Piala Libertadores, 2-1. Gol itu diciptakan pada perpanjangan waktu, 2 x 15 menit, setelah kedua kesebelasan bermain imbang 1-1 selama 90 menit. Keunggulan Porto atas Penarol untuk merebut Piala Toyota dan uang sejumlah 200.000 dolar AS sudah diramalkan sebelumnya. Porto diperkuat empat pemain nasional Portugal pada Piala Dunia 1986. Mistar gawang dikawal penjaga gawang nasional Polandia, Jozef Mlynarczyk, yang berkumis tebal. Poros halang Lima Pereira ternyata mampu menghadang permainan gaya Amerika Latin dari Penarol yang terus menyerang. "Pemain Porto sudah mempelajari gaya permainan Penarol dari rekaman video. Yang paling berbahaya hanya tiga pemain, Diego Aguirre sebagai ujung tombak serta Daniel Vidal dan Jose Cabrera," tutur Tomislav Ivic, dalam acara jumpa pers sebelum pertandingan. Ucapan Ivic itu bernada optimistis, sebab para pemain Amerika Latin mempunyai rekor kemenangan 6-1 melawan Eropa. "Kami akan memenangkan pertarungan ini karena memiliki tim serta pemain yang baik," kata Ivic. Porto memang kesebelasan yang kuat. Majalah sepak bola terkemuka, World Soccer, memilih FC Porto sebagai tim terbaik dalam kompetisi di Eropa tahun ini karena prestasinya mengalahkan klub besar dari Jerman Barat, Bayern Muenchen, 2-1 di final Piala Champions, di Wina, Austria, Mei lalu. Sukses Porto tidak terlepas dari andil Rabah Madjer dan kejelian Tomislav Ivic dalam menerapkan pola permainan. Misalnya, ditariknya kapten kesebelasan, Fernando Gomes, menjadi ujung tombak kedua pada babak kedua. Sedangkan ujung tombak pertama dipercayakan kepada Rabah Madjer seorang. Juga penerapan serangan balik cepat begitu serangan Penarol gagal. Taktik itu membuat pemain Penarol terpancing untuk menekan pertahanan Porto terus-menerus, dan hanya meninggalkan seorang pemain untuk menjaga Madjer. Akibatnya, pertahanan mereka kedodoran ketika Madjer memperoleh umpan pada menit ke-110 itu. Gol pertama Porto, yang diciptakan Gomez, adalah juga hasil umpan dari Madjer. Rabah Madjer, 29 tahun, bergabung dengan Porto sejak musim kompetisi 1985-1986. Sebelumnya ia bergabung dengan klub Racing, Paris. Gaya permainan Madjer tampaknya lebih berkembang bersama Porto. Itu dibuktikannya dengan membawa Porto menjadi juara Piala Champions. "Sebagai pemain saya selalu berusaha melakukan yang terbaik di lapangan," ujar Madjer. Prestasi Porto, yang didirikan sejak 2 Agustus 1906 ini, sebetulnya naik turun. Gelarnya sebagai juara Piala Champions, yang direbutnya dengan susah payah dari Bayern Muenchen, sudah terlepas akibat kalah dari Real Madrid pada babak perdelapan final. Tapi dalam perebutan Piala Super, melawan juara Piala Winner, Ayax, Amsterdam, Porto peluangnya besar. Dalam pertandingan pertama di kandang lawan, tuan rumah Ayax dipukul 1-0. Banyak yang menduga, bila kondisi lapangan dan cuaca bagus, hasil pertandingan Porto melawan Penarol bisa lain. Ujar pelatih Penarol, Oscar Tabarez, "Saya hanya menerapkan taktik yang sederhana saja dalam kondisi lapangan seperti itu: tendanglah bola sekeras mungkin." Taktik itu memang dilaksanakan para pemain Penarol yang rata-rata lebih muda dibanding Porto. Tapi ternyata kecerdikan Porto bisa mengatasi Penarol. Kejuaraan yang mempertemukan juara antarklub Eropa dengan Amerika Selatan ini sudah diselenggarakan sejak 1980. Hingga pertemuan yang kedelapan, tahun ini, klub dari Amerika Selatan sudah menjuarainya sebanyak 6 kali, melalui klub Independiente (1984), River Plate (1986) dari Argentina, Flamengo (1981), Gremio (1983) dari Brasil, Nacional (1980) dan Penarol (1982) dari Uruguay. Sedangkan dari Eropa, baru dua klub yang mampu mematahkan klub Amerika Latin, Juventus, Italia (1985), dan Porto, Portugal (1987). Sebenarnya, kejuaraan antarklub dua benua ini sudah dilakukan sejak 1960 dengan sistem home and away. Baru pada 1980, diganti menjadi Piala Toyota dan menunjuk Tokyo sebagai tempat netral untuk menjadi tuan rumah, sekaligus sebagai sponsor tunggal. Kejuaraan ini sudah ditahbiskan oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) sebagai salah satu simbol supremasi klub sepak bola dunia. Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini