Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Arief memprotes arif diprotes

Dr. arief budiman, dosen universitas kristen satya wacana, salatiga didemonstrasi puluhan mahasiswanya. ia menulis surat, minta perhatian rektor tentang adanya dosen yang ngobyek.

19 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH hukum karma, bagi yang percaya. Seorang bekas demonstran yang gigih di tahun 1966 dan awal 1970-an pekan lalu ganti didemonstrasi. Begini kisahnya. Acara kebaktian di kampus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga -- acara rutin -- Senin pekan lalu menjadi "kebaktian plus". Sekitar lima puluh mahasiswa tiba-tiba menyanyikan mars Satya Wacana. Lalu tampil seorang mahasiswi membacakan petisi. Mereka itu mengimbau pimpinan Universitas agar memecat Dr. Arief Budiman, salah seorang dosen, dan membreidel majalah Imbas, yang diterbitkan oleh Jurusan Elektro Fakultas Teknik sejak empat tahun lalu. Setelah itu, mereka berjalan kaki mengelilingi kampus. Jumlah pejalan kampus itu makin lama makin besar, karena ada yang bergabung. Terdengar juga teriakan-teriakan, "Bakar Imbas. Arief go to hell." Ada juga spanduk dan poster, salah satunya bertuliskan: "Arief Teh Botol (teknokrat bodoh dan tolol)". Beredar pula selebaran yang mencantumkan nama Riu Auguso Gomes, mahasiswa Fakultas Hukum. Selebaran itu mengecam Imbas karena memuat tulisan yang meresahkan kampus. Mengapa Imbas dan Arie diprotes? Dalam nomor terbaru, Desember 1987, majalah tersebut memuat wawancara Arief yang menyoroti keterlibatan pimpinan Universitas dan beberapa dosen dalam proyek-proyek di luar kampus. Juga dipersoalkan tidak bertungsinya Senat Universitas sejak kepemimpinan Rektor Dr. Willi Toisuta. Selain itu, Imbas juga memuat ringkasan surat pribadi Arief Budiman kepada Rektor beberapa bulan lalu. Itulah yang membuat berang sejumlah mahasiswa. Hari itu Arief sendiri tenang-tenang saja di ruang kerjanya. Para demonstran rupanya tak mencoba menemuinya. Kepada TEMPO dosen Satya Wacana sejak 1981 ini mengaku memang menulis surat kepada Rektor, Juli lalu. Dalam surat tujuh halaman itu ia mempersoalkan dosen yang ngobyek dan adanya mahasiswa titipan yang nilainya di bawah standar. "Ya, saya tidak enak, dong, kerja mati-matian sendiri," kata Arief, 46 tahun, yang lahir dan besar di Jakarta. "Apalagi penghasilan mereka yang ngobyek itu sangat besar, jutaan rupiah setiap bulannya." Dan Arief "mengancam", jika surat tidak ditanggapi, ia akan mengundurkan diri sebagai Sekretaris Program Pasca-Sarjana. "Ternyata, Rektor tidak menanggapi, saya pun mundur per 1 September lalu," tutur bapak dua anak ini. Beberapa dosen dan mahasiswa datang kepada Arief, menanyakan soal kemundurannya. "Agar mudah menjawabnya, kepada yang bertanya saya berikan tembusan surat saya kepada Rektor. Ada sepuluh orang yang saya pinjami surat itu, dua di antaranya mahasiswa," tutur Arief. Tapi kemudian surat itu menjadi berpuluh-puluh dan menyebar dengan luas, "entah siapa yang memperbanyak, saya tidak tahu." Beredarnya surat disinggung Rektor Willi dalam pidato Dies Natalis 30 September. Katanya, itu sama saja dengan "menyebarluaskan prasangka pribadi dengan jalan menimbulkan keresahan masal." Dan kemudian majalah Imbas mewawancarai Arief. Dan kemudian demonstrasi itu. Arief punya kesan, demonstrasi, "ditolerir oleh pimpinan." Ditemui TEMPO Kamis pekan lalu, Rektor Willi Toisuta menolak diwawancarai. "Tanyakan saja kepada Pak Urip," katanya. Yang dimaksud, Drs. Urip Sutiyono, M.A., Pembantu Rektor, menjelaskan bahwa beberapa orang demonstran sudah dipanggil Rektor. "Mereka dimarahi habis-habisan. Jadi, tak benar jika unjuk rasa ini didukung Rektor," kata Urip. Tentang surat Arief kepada Rektor, Urip tak mau berkomentar. Ia cuma membenarkan bahwa surat Arief sudah menjadi bacaan umum di kampus Satya Wacana. Agaknya, baru sekali ini terdengar seorang dosen minta perhatian atas dosen-dosen lain yang ngobyek, dan kemudian mundur dari jabatan Sekretaris Fakultas. Kini, persoalan jadi meluas. Tapi, kata Arief, "Saya malah senang, karena masalahnya jadi terbuka." Kepada mahasiswa yang memprotes dia dengan kata-kata kasar, ia tak punya sakit hati, karena, "saya dulu juga begitu." Heddy Lugito (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus