PAGI itu, tak seperti biasanya, Rasita berangkat ke sekolah membawa juga celurit. Sebuah rencana rupanya sudah disusun. Mula-mula ia mendatangi Iskandar, Kepala Sekolah SMP Wira Dharma, Indramayu, Jawa Barat. Ia ingin melihat rapornya. Iskandar menyarankan agar menemui wali kelas. Tiba-tiba, entah mengapa, siswa kelas III itu menggebrak meja, lalu lari ke luar. Sebelum kepala sekolah sempat marah, Rasita kembali muncul, menggenggam sepotong kayu. Ia memukul kepala sekolahnya. Untunglah, Iskandar sempat mengelak, malah berhasil merebut kayu itu. Rasita lari, Iskandar mengejar. Di halaman sekolah Rasita berhenti dan menunggu, dan terlihat ia kini memegang celurit. Pak Kepala mencoba meredakan amarah siswanya. Rasita yang rupanya sudah gelap mata tak mempan bujukan. Ia mengamuk mengayun-ayunkan celuritnya. Setelah lengannya tergores, Iskandar buru-buru menyelamatkan diri. Ganti kaca-kaca jendela kantor sekolah dan kursi tamu jadi sasaran Rasita. Lalu buku pelajaran di meja ditumpuknya, disiram dengan minyak tanah. Untung, korek api yang dibawanya tak menyala. Ulah Rasita tentu saja menimbulkan kegegeran. Para siswa yang sedang asyik mengikuti ujian semester berlarian ke luar kelas, diikuti sejumlah guru. Rasita akhirnya bisa diringkus. Ia langsung dibawa ke Polsek. Ia baru boleh pulang beberapa hari kemudian setelah dinasihati. Ceritanya, siswa ini tersinggung atas sikap kasar kepala sekolahnya. Yakni ketika ia minta penangguhan pembayaran SPP sebesar Rp 5 ribu per dua bulan, uang OSIS Rp 1.200,00, biaya ujian semester Rp 3.500,00, uang simpanan Rp 20.000,00, dan uang registrasi Rp 2.000,00 -- total Rp 31.700,00 yang harus dibayarnya. Dan jawab Kepala Sekolah: "Pokoknya, kamu harus bayar. Entah dari utang atau dari mana," kata Rasita menirukan kata-kata kepala sekolahnya. Rasita, 16 tahun, anak ketiga dari lima bersaudara yang orangtuanya buta huruf dan miskin, jadi bingung. Untuk menunjang hidup sehari-hari saja, sepulang sekolah ia terkadang harus jadi kuli, buruh tani, bahkan penarik becak dengan penghasilan paling tinggi Rp 1.500,00. Uang itu habis untuk keperluan keluarga dan biaya sekolah seorang adiknya yang masih di SD. "Tak ada yang bisa ditabung," kata pemuda yang mata kiriya buta sejak kecil itu. Sebenarnya, semangat hidup Rasita menyala-nyala. Bila ada liburan panjang, ia berangkat ke Jakarta mengadu nasib. "Saya jadi tukang becak," tuturnya perlahan. Pulang dari Jakarta, terkadang bisa membawa Rp 20.000,00 untuk orangtua dan biaya sekolahnya. Ia merasa bahagia bisa bertahan sekolah. Karena itu, ia benar-benar patah arang mendengar jawaban kepala sekolah. Timbullah dendam. "Kesabaran saya hilang. Saya benci Pak Iskandar." Iskandar, 44 tahun, bukannya tak tahu keadaan muridnya yang rajin salat dan termasuk peringkat menengah itu. Setahunya, selama ini, bila ada persoalan, Rasita menemui guru, dan menangis. Sudah. beberapa kali sekolah memberikan dispensasi. "Uang sekolah Rasita di kelas I dan kelas II ada yang kami putihkan," katanya. Tapi, kali ini agaknya tidak lagi ada pemutihan. Dan, celakanya, akibat ulahnya tertutup sudah pintu SMP yang berdiri pada 1984 itu bagi Rasita. Di rumahnya yang gedek dan sempit kata Rasita, "Saya orang miskin. Ingin bersekolah untuk mengubah nasib. Tapi...." Di antara 17 juta remaja Indonesia, yang seperti Rasita memang tak sedikit. Agung Firmansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini