Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kebutan yoo di cadas pangeran

Setelah 25 tahun tour de jawa diadakan lagi. dulu DI/TII mengancam dari hutan. sekarang balapan sepanjang hampir 1.000 km ini diancam oleh lalu lintas yang ganas.

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPA ganasnya lalu lintas di jalan raya bisa terlihat dalam Tour de Jawa yang berakhir Selasa pekan ini. Ketika iring-iringan pembalap masih berada sekitar 20 km di luar Kota Bandung, ratusan sepeda motor dan mobil menjemput ke sana. Sambutan yang memanaskan suasana ini begitu sampai di garis finish di By-pass Bandung, berubah menjadi malapetaka. Di tengah hiruk-pikuk sekitar 10.000 penonton yang menyerbu ke tengah jalan, sebuah Honda Civic nyelonong dan menghajar pembalap Brathara, 500 meter menjelang finish. Velg dan ban belakang sepeda balapnya remuk. Dengan paha, lengan, dan mulut berlumuran darah, pembalap dari tim Tunas Inti ini terpaksa memanggul sepedanya mencapai finish. Maut juga sempat mengancam iring-iringan 86 pembalap ketika melalui etape Solo-Semarang. Pihak keamanan sudah meminta supaya pengendara meminggirkan kendaraan karena beberapa saat lagi pembalap akan lewat. Berbagai macam kendaraan memang menyingkir. Tapi begitu pihak keamanan sudah menjauh ke depan mereka kembali ke tengah jalan. Ketika polisi yang mengendarai mobil patroli mengeluarkan ancaman akan mencabut SIM barulah keadaan agak teratasi. Ancaman lalu lintas memang menjadi ciri yang membedakan Tour de Jawa yang dibangkitkan kembali setelah macet hampir seperempat abad. Ketika lomba daya tahan menggenjot pedal ini diperkenalkan pertama kali tahun 1958, ancamannya berada di hutan-hutan lebat, terutama di Cadas Pangeran, Jawa Barat. Karena daerah tersebut dikenal sebagai salah satu pusat persembunyian DI/TII. Menjadikan lintasan itu selain berat, karena menanjak sampai setinggi lebih kurang 700 meter dari permukaan laut, juga membikin pembalap naik bulu kuduknya. Satu yang tidak berubah. Yaitu sambutan masyarakat terhadap balap sepeda yang berlangsung 1 sampai dengan 9 Agustus dengan menempuh 958 km dan terbagi dalam 8 etape itu. Start dari Surabaya dan berakhir di Jakarta. Penonton yang berdiri di sepanjang lintasan menyaksikan para pembalap yang meluncur dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam itu diperkirakan ada sekitar satu juta orang. Ini adalah tontonan gratis paling besar dari seluruh pesta olah raga yang pernah dilangsungkan di sini. Berkilo-kilo meter menjelang finish (begitu juga ketika lepas dari garis start), penonton terkadang berdiri berbaris sampai 5 lapis, membentuk pagar manusia. Pegawai-pegawai pemerintah memperoleh izin atasan untuk meninggalkan pekerjaan selama 3 jam buat melemparkan pandang ke arah iring-iringan pembalap yang terbungkuk-bungkuk mengayuh sepedanya. Anak-anak sekolah boleh meninggalkan kelas 2 jam. Pada hari Minggu, 7 Agustus, mereka malahan disuruh masuk, mengenakan pakaian seragam dan disuruh ramai-ramai menyaksikan balapan yang hanya lewat di depan hidung mereka kurang dari 20 menit. Kegairahan penonton terkadan menjadi liar dan membahayakan. Di Pekalongan, seorang yang tahu benar bagaimana menderitanya mengayuh di bawah terik matahari, tiba-tiba mengguyurkan air ke arah seorang pembalap. Yang tertimpa air memang jadi segar. Tetapi pembalap yang menyusul di belakangnya langsung tergelincir begitu ban sepeda menerobos air guyuran yang menggenang di aspal. Seorang anggota pengaman rute yang mengendarai Harley Davidson tergelincir pula di situ, dan motornya menimpa kepala seorang pembalap yang juga tersungkur karena licinnya aspal tadi. Yang paling berambisi untuk menggondol kemenangan dalam lomba yang memperebutkan hadiah Rp 8 juta ini tentu saja Jawa Barat yang mendominasi lomba serupa tahun 1958 dan 1959 lewat pembalapnya Munaip Saleh (baca: Tamu Kita). Tetapi ternyata lintasan yang membelah Pulau Jawa itu menjadi kancah Korea. Jantung dan betis pembalap Korea Selatan, Yoo Byung Hun terlalu kuat buat pembalap-pembalap Indonesia. Andalan Jawa Barat, Enceng Durachman, memang berhasil merebut tempat pertama di etape II (Madiun-Solo yang berjarak 118 km). Tapi setelah itu paru-parunya seperti kempes. Enceng mau membalas di etape VI (Cirebon-Bandung). Namun dia menemukan nasib lebih menyedihkan. Justru di lintasan yang melewati daerah penuh tanjakan dan belokan maut serta jurang yang menyeringai di bawah, tempat Enceng saban hari berlatih, pembalap Korea Selatan, Yoo Byung Hun menang mutlak. Enceng dipermalukan, dan masuk finish nomor 5 di Bandung. Korea Selatan bertumpu pada kekuatan Yoo Byung Hun, karyawan perusahaan kontraktor itu. Tetapi sebagai satu tim, Korea Selatan juga ampuh. Karena kemampuan di antara 5 pembalapnya merata. Mereka selalu berusaha menempatkan diri di depan. Taktiknya tidak terlalu luar biasa. Yoo Byung Hun selalu melesat lebih dulu. Dua temannya "menggoda" pembalap tuan rumah yang mereka anggap lawan berbahaya. (Muangthai dan Malaysia juga ikut serta). Sekitar 20 km menjelang finish berganti-ganti kedua pembalap tadi memancing pembalap Indonesia. Karena kocokan "cepat-lambat", pembalap sekuat Sutiono, Enceng, maupun Fanny Gunawan kehabisan tenaga. Dan dengan mudah Yoo Byung Hun, juara yunior Korea Selatan itu melaju ke garis finish sendirian. Bukan itu saja. Tim tamu ini kelihatannya memang lebih cermat. Menghadapi etape di Jawa Barat yang terkenal ganas dengan tanjakan-tanjakan curam, seperti Nyalindung dan Cadas Pangeran, pelatih dan tim manajer mereka lebih dulu meninjau medan sehari sebelumnya. "Regu Korea Selatan mempersiapkan diri dengan baik. Sedangkan pembalapnya satu setengah kali lebih baik dari pembalap Indonesia," ujar Ronny Noma, pelatih tim Jawa Barat. Pembalap-pembalap Korea Selatan kelihatannya seperti tak perlu mengadakan latihan lagi menghadapi arena Tour de Jawa ini. Sebab dalam setahun di negerinya paling tidak ada 15 kali kejuaraan. Yoo, misalnya, menggenjot sepeda 4 sampai 5 jam sehari, menempuh 200 km. Kalau musim dingin turun, dia masuk ke ruangan latihan tertutup. Menggenjot argocycle, lari di tempat dan angkat besi. Boleh dikatakan sebagai karyawan perusahaan, kerjanya hanya menggenjot pedal. Karena itulah dia siap betul untuk tampil di Jawa ini. Satu-satunya tantangan yang tak bisa diatasinya adalah kondisi jalan yang buruk. "Bergelombang, sehingga tangan lecet dan melepuh. Selangkangan sakit," katanya. Sedangkan daerah-daerah tanjakan seperti Alasroban (Jawa Tengah) dan cadas Pangeran serta Sukaraja (Jawa Barat) menurut pengakuan Yoo, "tak menjadi soal". Karena di negerinya masih ada tanjakan lebih terjal. Beberapa pengamat menyebutkan, kelemahan tuan rumah tidak menampilkan tim nasional untuk menyaingi Korea Selatan yang tampil dengan tim yang dipungut dari berbagai perkumpulan itu. Jago balap Indonesia, seperti, Sutiono, Fanny Gunawan, dan Enceng Durachman terpencar untuk mempertahankan daerah mereka masing-masing. Parahnya, seperti yang dikatakan manajer tim Kalimantan Barat, Yan van Nassau, terjadi jegal-menjegal antarpembalap tuan rumah. "Semua pembalap kita berprinsip asal tidak kalah dari pembalap dalam negeri. Akibatnya tak ada kerja sama menghadapi tim unggul Korea Selatan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus