BETAPA ganasnya lalu lintas di jalan raya bisa terlihat dalam
Tour de Jawa yang berakhir Selasa pekan ini. Ketika
iring-iringan pembalap masih berada sekitar 20 km di luar Kota
Bandung, ratusan sepeda motor dan mobil menjemput ke sana.
Sambutan yang memanaskan suasana ini begitu sampai di garis
finish di By-pass Bandung, berubah menjadi malapetaka.
Di tengah hiruk-pikuk sekitar 10.000 penonton yang menyerbu ke
tengah jalan, sebuah Honda Civic nyelonong dan menghajar
pembalap Brathara, 500 meter menjelang finish. Velg dan ban
belakang sepeda balapnya remuk. Dengan paha, lengan, dan mulut
berlumuran darah, pembalap dari tim Tunas Inti ini terpaksa
memanggul sepedanya mencapai finish.
Maut juga sempat mengancam iring-iringan 86 pembalap ketika
melalui etape Solo-Semarang. Pihak keamanan sudah meminta supaya
pengendara meminggirkan kendaraan karena beberapa saat lagi
pembalap akan lewat. Berbagai macam kendaraan memang menyingkir.
Tapi begitu pihak keamanan sudah menjauh ke depan mereka kembali
ke tengah jalan. Ketika polisi yang mengendarai mobil patroli
mengeluarkan ancaman akan mencabut SIM barulah keadaan agak
teratasi.
Ancaman lalu lintas memang menjadi ciri yang membedakan Tour de
Jawa yang dibangkitkan kembali setelah macet hampir seperempat
abad. Ketika lomba daya tahan menggenjot pedal ini diperkenalkan
pertama kali tahun 1958, ancamannya berada di hutan-hutan lebat,
terutama di Cadas Pangeran, Jawa Barat. Karena daerah tersebut
dikenal sebagai salah satu pusat persembunyian DI/TII.
Menjadikan lintasan itu selain berat, karena menanjak sampai
setinggi lebih kurang 700 meter dari permukaan laut, juga
membikin pembalap naik bulu kuduknya.
Satu yang tidak berubah. Yaitu sambutan masyarakat terhadap
balap sepeda yang berlangsung 1 sampai dengan 9 Agustus dengan
menempuh 958 km dan terbagi dalam 8 etape itu. Start dari
Surabaya dan berakhir di Jakarta. Penonton yang berdiri di
sepanjang lintasan menyaksikan para pembalap yang meluncur
dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam itu diperkirakan ada
sekitar satu juta orang. Ini adalah tontonan gratis paling besar
dari seluruh pesta olah raga yang pernah dilangsungkan di sini.
Berkilo-kilo meter menjelang finish (begitu juga ketika lepas
dari garis start), penonton terkadang berdiri berbaris sampai 5
lapis, membentuk pagar manusia. Pegawai-pegawai pemerintah
memperoleh izin atasan untuk meninggalkan pekerjaan selama 3 jam
buat melemparkan pandang ke arah iring-iringan pembalap yang
terbungkuk-bungkuk mengayuh sepedanya. Anak-anak sekolah boleh
meninggalkan kelas 2 jam. Pada hari Minggu, 7 Agustus, mereka
malahan disuruh masuk, mengenakan pakaian seragam dan disuruh
ramai-ramai menyaksikan balapan yang hanya lewat di depan hidung
mereka kurang dari 20 menit.
Kegairahan penonton terkadan menjadi liar dan membahayakan. Di
Pekalongan, seorang yang tahu benar bagaimana menderitanya
mengayuh di bawah terik matahari, tiba-tiba mengguyurkan air ke
arah seorang pembalap. Yang tertimpa air memang jadi segar.
Tetapi pembalap yang menyusul di belakangnya langsung
tergelincir begitu ban sepeda menerobos air guyuran yang
menggenang di aspal. Seorang anggota pengaman rute yang
mengendarai Harley Davidson tergelincir pula di situ, dan
motornya menimpa kepala seorang pembalap yang juga tersungkur
karena licinnya aspal tadi.
Yang paling berambisi untuk menggondol kemenangan dalam lomba
yang memperebutkan hadiah Rp 8 juta ini tentu saja Jawa Barat
yang mendominasi lomba serupa tahun 1958 dan 1959 lewat
pembalapnya Munaip Saleh (baca: Tamu Kita). Tetapi ternyata
lintasan yang membelah Pulau Jawa itu menjadi kancah Korea.
Jantung dan betis pembalap Korea Selatan, Yoo Byung Hun terlalu
kuat buat pembalap-pembalap Indonesia.
Andalan Jawa Barat, Enceng Durachman, memang berhasil merebut
tempat pertama di etape II (Madiun-Solo yang berjarak 118 km).
Tapi setelah itu paru-parunya seperti kempes. Enceng mau
membalas di etape VI (Cirebon-Bandung). Namun dia menemukan
nasib lebih menyedihkan. Justru di lintasan yang melewati daerah
penuh tanjakan dan belokan maut serta jurang yang menyeringai di
bawah, tempat Enceng saban hari berlatih, pembalap Korea
Selatan, Yoo Byung Hun menang mutlak. Enceng dipermalukan, dan
masuk finish nomor 5 di Bandung.
Korea Selatan bertumpu pada kekuatan Yoo Byung Hun, karyawan
perusahaan kontraktor itu. Tetapi sebagai satu tim, Korea
Selatan juga ampuh. Karena kemampuan di antara 5 pembalapnya
merata. Mereka selalu berusaha menempatkan diri di depan.
Taktiknya tidak terlalu luar biasa. Yoo Byung Hun selalu melesat
lebih dulu. Dua temannya "menggoda" pembalap tuan rumah yang
mereka anggap lawan berbahaya. (Muangthai dan Malaysia juga ikut
serta).
Sekitar 20 km menjelang finish berganti-ganti kedua pembalap
tadi memancing pembalap Indonesia. Karena kocokan
"cepat-lambat", pembalap sekuat Sutiono, Enceng, maupun Fanny
Gunawan kehabisan tenaga. Dan dengan mudah Yoo Byung Hun, juara
yunior Korea Selatan itu melaju ke garis finish sendirian.
Bukan itu saja. Tim tamu ini kelihatannya memang lebih cermat.
Menghadapi etape di Jawa Barat yang terkenal ganas dengan
tanjakan-tanjakan curam, seperti Nyalindung dan Cadas Pangeran,
pelatih dan tim manajer mereka lebih dulu meninjau medan sehari
sebelumnya. "Regu Korea Selatan mempersiapkan diri dengan baik.
Sedangkan pembalapnya satu setengah kali lebih baik dari
pembalap Indonesia," ujar Ronny Noma, pelatih tim Jawa Barat.
Pembalap-pembalap Korea Selatan kelihatannya seperti tak perlu
mengadakan latihan lagi menghadapi arena Tour de Jawa ini. Sebab
dalam setahun di negerinya paling tidak ada 15 kali kejuaraan.
Yoo, misalnya, menggenjot sepeda 4 sampai 5 jam sehari, menempuh
200 km. Kalau musim dingin turun, dia masuk ke ruangan latihan
tertutup. Menggenjot argocycle, lari di tempat dan angkat besi.
Boleh dikatakan sebagai karyawan perusahaan, kerjanya hanya
menggenjot pedal. Karena itulah dia siap betul untuk tampil di
Jawa ini. Satu-satunya tantangan yang tak bisa diatasinya adalah
kondisi jalan yang buruk. "Bergelombang, sehingga tangan lecet
dan melepuh. Selangkangan sakit," katanya.
Sedangkan daerah-daerah tanjakan seperti Alasroban (Jawa Tengah)
dan cadas Pangeran serta Sukaraja (Jawa Barat) menurut pengakuan
Yoo, "tak menjadi soal". Karena di negerinya masih ada tanjakan
lebih terjal.
Beberapa pengamat menyebutkan, kelemahan tuan rumah tidak
menampilkan tim nasional untuk menyaingi Korea Selatan yang
tampil dengan tim yang dipungut dari berbagai perkumpulan itu.
Jago balap Indonesia, seperti, Sutiono, Fanny Gunawan, dan
Enceng Durachman terpencar untuk mempertahankan daerah mereka
masing-masing.
Parahnya, seperti yang dikatakan manajer tim Kalimantan Barat,
Yan van Nassau, terjadi jegal-menjegal antarpembalap tuan rumah.
"Semua pembalap kita berprinsip asal tidak kalah dari pembalap
dalam negeri. Akibatnya tak ada kerja sama menghadapi tim unggul
Korea Selatan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini