Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ambisi dari purwokerto

Universitas jenderal soedirman, purwokerto, menaikkan daya tampung 3 kali lipat. timbul heboh mengenai dana yang dipungut dari mahasiswa baru. (pdk)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMBISI Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah, ternyata bikin heboh. Tahun akademik 1983-1984 ini universitas itu menaikkan daya tampung dari yang biasanya 600 menjadi 1.800. (Ini luar biasa: Sebab daya tampung Proyek Perintis I saja, misalnya, paling banter cuma naik 500 per tahun). Dan itu berarti harus ada penambahan fasilitas ruang kuliah, laboratorium beserta perlengkapannya, juga tambahan anggaran bagi honorarium dosen. Hitung punya hitung biaya tambahan yang diperlukan sekitar Rp 360,5 juta. Soalnya kemudian, dari mana universitas negeri ini harus menambah biaya? Subsidi pemerintah hanyalah diperhitungkan untuk sekitar 4.700 mahasiswa lama plus 600 yang baru. Akhirnya disepakati oleh pihak Yayasan Pembina Unsoed dan universitas, yang sejak 1982 dipimpin Rektor Prof. Drh. R. Djanuar, untuk memungut dana dari mahasiswa baru, Rp 150 ribu per orang. Yayasan Pembina Unsoed ini harap dicatat, tidak serupa yayasan di perguruan tinggi swasta. Yayasan ini lebih mirip persatuan orangtua murid dan guru di sekolah. Anggotanya pun adalah para orangtua mahasiswa dan masyarakat Purwokerto. Dan tujuannya adalah membantu universitas ini berkembang. Ide menaikkan daya tampung itu pun mula-mula datang dari pihak yayasan. Untuk menampung minat masuk universitas dari lulusan SMA yang makin besar. Maka itulah dalam pemberitahuan penerimaan mahasiswa baru, pertengahan bulan lalu, disertai pula pengumuman adanya "uang partisipasi" -- istilah Unsoed -- Rp 150 ribu yang harus dibayarkan ketika mahasiswa baru membayar sumbangan pembinaan pendidikan. Kontan muncul heboh. Soalnya mahasiswa yang hanya membayar SPP tak diberikan nomor mahasiswa -- berarti tak ada bukti bahwa dia sudah mencatatkan diri menjadi mahasiswa Unsoed yang sah. Ada beberapa mahasiswa yang konon sampai menangis karena belum mampu melunasi uang partisipasi itu. Maka diadakanlah pertemuan antara yayasan dan orangtua mahasiswa, 20 Juli, di gedung President Theatre, Purwokerto. Kesepakatan yang diperoleh: orangtua mahasiswa tak keberatan membayar "uang partisipasi", tapi pembayaran boleh diangsur semampunya. "Karena memang diperlukan, maka kami tak keberatan," kata Syamsu Pudjomartoyo, kepala SMPN II, Purwokerto, salah seorang orangtua mahasiswa. Toh, ada sedikit kekisruhan. Seorang mahasiswa baru yang mendaftar dan membayar SPP tapi belum membayar uang partisipasi, sehari sesudah pertemuan di gedung bioskop itu, tak diberi nomor mahasiswa. Padahal ia sudah membuat surat pernyataan bahwa akan mengangsur uang partisipasi dua kali, bulan depan dan berikutnya. Setelah orangtua mahasiswa turun tangan, ternyata pihak yayasan hanya minta bukti kesediaan itu dengan membayar dulu berapa saja. "Yang penting ada blanko yang masuk ke bank," kata Iswanto, pembantu Rektor II, yang juga menjadi sekretaris I Yayasan Pembina Unsoed. Dan besar uang itu bisa satu atau dua ribu rupiah bahkan Rp 500 pun boleh. Itu sebabnya kemudian tim dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang datang mengusut heboh itu, 2 Agustus yang lalu, akhirnya tak mengambil tindakan apa pun. Uang partisipasi jalan terus. "Sepanjang sumbangan itu suka rela dan tak ada sangkut pautnya dengan penerimaan mahasiswa baru, itu boleh," kata Doddy Tisna Amidjaja, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Ternyata sejumlah besar mahasiswa baru sudah membayar. Menurut catatan sampai pekan lalu sekitar 1.400 mahasiswa sudah melunasinya, 240 menyatakan akan mengangsur, dan sisanya belum membayar sama sekali. "Yang memang tak mampu akan diselesaikan pihak yayasan secara bijaksana," kata Soetardjo Soemoatmodjo, ketua Harian Yayasan tersebut. Tapi seberapa jauh Universitas Jenderal Soedirman memerlukan dana itu? Universitas yang dibentuk pada 1963 ini perkembangannya agaknya memang seret. Dari empat fakultasnya, (Ekonomi, Pertanian, Peternakan, dan Biologi), hingga kini baru meluluskan sekitar 750 sarjana. Fakultas Hukum yang baru berdiri dua tahun lalu belum meluluskan sarjana, tentu saja. Dan meski luas tanah kampus sekitar 18 hektar, tanah untuk gedung perpustakaan masih kosong. Yang tampak megah cuma kantor pusat yang dua tingkat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus