API Pekan Olahraga Nasional XII yang diarak jauh-jauh dari Mrapen, Jawa Tengah, telah menyala di koldron Stadion Utama Senayan, Jakarta. Perburuan medali pun dimulai, dan gengsi kedaerahan mencuat -- setidak-tidaknya untuk siklus empat tahun sekali. Perang bonus mulai dilontarkan tokoh-tokoh daerah untuk atlet peraih medali. Jawa Timur, misalnya. Tersedia bonus Rp 2 juta untuk atlet balap sepedanya, jika berhasil menyumbangkan medali emas untuk nomor 100 km Team Time Trial (TTT). Bonus besar itu memang untuk medali paling bergengsi, emas pertama PON XII. Tentu saja bonus itu tak jadi keluar. Sejak bendera start dikibaskan Menpora Akbar Tandjung, atlet Ja-Tim memang sempat memimpin di 50 km pertama pada lomba yang diselenggarakan di jalan tol Jakarta-Tangerang itu. Tapi sial, 15 km menjelang finish, M. Handy -- salah seorang dari empat pembalap Ja-Tim --berbenturan dengan Sugeng Tri Hartono, kakaknya sendiri. Ia jatuh. Atlet Jawa Barat -- menurunkan kakak beradik Ronny dan Robby Yahya, Abdurrahman serta Maulana -- melesat ke depan dan menembus finish dengan catatan waktu 2 jam 23 menit 52,17 detik. Prestasi bagus untuk Ja-Bar? Belum. Ronny dkk. belum mampu memecahkan rekor PON: 2 jam 23 menit 15,08 detik. Rekor ini justru atas nama Ja-Bar, yang dicatat pada PON X 1981. Juga masih jauh dibandingkan prestasi Indonesia, yang meraih emas 100 km TTT di SEA Games Kuala Lumpur lalu, dengan catatan waktu 2 jam 18 menit 28,55 detik. Bukan berarti PON XII merosot prestasinya. Adu otot masih panjang. Jumat lalu, Mardi Lestari, atlet Sumatera Utara asal Binjai, terbukti mencatat prestasi gemilang. Pemegang emas 100 dan 200 meter SEA Games ini mengukir rekor baru Asia untuk 100 meter, dengan waktu 10,20 detik. Rekor Asia sebelumnya atas nama Li Tao, atlet RRC, dengan waktu 10,26 detik, yang diciptakan di Kejuaraan Atletik Asia di Jakarta pada 1986. Begitulah dunia olahraga. Ada yang naik, ada yang turun. Namun, sebelum melanjutkan cerita tentang perburuan medali, agaknya layak pula disorot acara "nonmedali". Misalnya acara pembukaan, yang menurut banyak orang kurang ada greget. Sambil menanti kedatangan Presiden Soeharto yang membuka PoN XII ini, pengunjung menikmati koor yang dibawakan sekitar seribu anggota Korpri, yang memperdengarkan lagu Gita Jaya. Koor ini masih belum kompak, dan seperti hanyut dengan gemuruh massa. Sekitar 30 penerjun FASI dengan payung dan asap warna-warni lebih memikat sebagai tontonan. Begitu pula penampilan tujuh marching band dari DKI dan Ja-Bar hanya sekadar bisa melepas keplok tangan. Bukan rasa kagum yang dalam. Lalu, ketika Presiden Soeharto dan Ibu Tien memasuki podium kehormatan, mulailah acara yang formal dan hikmat. Tiap kontingen masuk dengan seragam beraneka rupa. Gengsi -- dan keunggulan -- daerah mulai diadu di sini, lewat tata busana. Irian Jaya lagi-lagi tampak menonjol. Bukan saja busananya yang rapi, tapi budaya daerahnya muncul lewat tari Yosim Pancar. Presiden Soeharto membuka PON XII pukul 15.55 WIB. Dari sebuah sudut Senayan, Christian Hadinata dan Imelda Wigoena Kurniawan -- atlet veteran bulu tangkis -- berlari gagah membawa api PON untuk disulutkan ke koldron. "Saya bangga dan tak mengira akan mendapat hadiah ini. Rupanya, masih ada yang menghargai saya. Kesempatan ini tak akan terlupakan seumur hidup," kata Imelda mengenang. Nah, setelah api menyala, dan kontingen meninggalkan lapangan, acara yang ditunggu-tunggu ternyata terasa datar. Atraksi Seni Perkusi dari gabungan sanggar tari di DKI, yang menyuguhkan kesenian berbagai daerah, tenggelam untuk ukuran "panggung" stadion Senayan. Tak adanya ide garapan tari yang bisa mengimbangi acara akbar begini jangan-jangan suatu pertanda bahwa kesenian kita "kurang mendapat perhatian" dibandingkan olahraga. Senam masal yang dilakukan seribu pelajar sekolah menengah tingkat pertama juga miskin gerak -- dan kurang kompak. Awalnya malah terasa lamban, apalagi dengan iringan instrumentalia lagu pop Kemesraan. Namun, ada alasan pemaaf, kalau mau dicari. Kabarnya, persiapan mereka terlalu mepet, cuma sebulan. Penonton tertawa riuh, bukan oleh konfigurasi di lapangan, tapi satu dua pesenam keseleo. Untung, ada sepasukan artis penyanyi. Mereka mendendangkan lagu Derapkan Langkahmu dalam irama rock yang pas betul dengan acara pesta olahraga ini. "Buktikan langkahmu, buktikan dirimu jadilah nomor satu," begitu antara lain syair lagu yang ditulis penyiar TVRI Anita Rachman itu. Dan untung pula konfigurasi gambar yang dibuat pelajar SMTA bagus, kompak, dan variatif. Acara pembukaan seperti itu menghabiskan Rp 900 juta. Kabarnya, untuk kostum dan konsumsi yang mahal. Tak apa-apa, bukankah PB PON XII sudah meraih keuntungan? Menurut laporan terakhir sekitar Rp 200 juta laba sudah diraup PB PN XII. Keuntungan diperoleh berkat adanya sponsor. Walau dari acara pembukaan tak ada sponsor resmi yang pamer -- di situ justru dikibarkan umbul-umbul bertuliskan RCTI -- toh di setip arena pertandingan spanduk dan umbul-umbul sponsor resmi bertebaran. Tampaknya, hanya satu arena yang tidak dimasuki sponsor resmi, yaitu Stadion Madya Senayan, tempat berlangsungnya pertandingan di cabang atletik. Ada kisah tentang ini. Stadion Madya, yang berada di sebelah stadion utama, pengelolaannya ditangani PB PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia). Kabarnya, Ketua Umum PB PASI Bob Hasan tak mengizinkan stadion itu dimasuki sponsor lain yang tak ada kaitannya dengan PASI. "Ya, mau apa lagi kalau pengelola Stadion Madya tidak mengizinkan sponsor resmi PON XII masuk di sana," kata M.P. Hutajulu, staf bidang III urusan dana PB PON XII. "Kita sudah berusaha mengadakan pendekatan langsung dengan Ketua Umum PB PASI." Di stadion khusus atletik itu hanya ada dua papan iklan, yakni Sportif dan Bank Dagang Negara -- majalah olahraga dan bank pemerintah yang bukan sponsor resmi. Pada nomor dada atlet ditambah satu sponsor lagi yakni Tugu Muda Pratama. Sejauh ini, para sponsor resmi tak ada yang "protes resmi". Presiden Direktur Aqua, Willy Sidharta, bersikap pasrah. "Teknis pemasangan papan sp-onsor seluruhnya diprogram oleh Matari sebagai pemegang hak untuk itu," kata Willy. Pada PON-PON sebelumnya, menurut Willy, setiap tempat bisa dikontrak sponsor. "Kami langsung memasang sendiri billboard di lapangan," katanya. Cerita lain di luar gelanggang selain sponsor dan keuntungan panitia adalah keluhan atlet. Kamar di perkampungan atlet Senayan, yang berukuran 3 x 2,5 meter, dijejali tiga orang atlet. "Memang sempit kalau untuk bertiga. Mana siang hari begini panas, kita tak bisa tidur siang," ujar Wiwi . Rahman, atlet bulu tangkis Lampung. "Ya, panas dan nyamuknya itu yang tidak tahan," kata Ratmi, pelatih atletik Ja-Teng yang tinggal di Jalan Bola Volley. Keluhan tak hanya soal panas dan nyamuk. Di beberapa tempat, aliran air belum juga lancar -- malah pernah mati total. "Bukan cuma itu, WC-nya mampet, baunya tidak tahan," kata Kuncoro Jarwo, atlet angkat besi DI Yogyakarta, yang menghuni kamar di Jalan Tokyo. Tak cuma perkampungan Senayan. Asrama Haji Pondok Gede juga banyak dikeluhkan atlet. Aidil Martim, atlet gulat Sum-Bar, Minggu dua pekan lalu kehilangan uang kontannya Rp 180 ribu. Afrizal, rekan sedaerah Aidil, juga kecolongan Rp 200 ribu dari dompetnya yang diletakkan di kamar tidurnya. Andi Setiawan, atlet basket dari Riau mengeluh soal menu makanan yang membosankan. Ketika itu Andi sedang melahap sepiring nasi dengan sayur buncis, telur rebus, dan sepotong besar daging rebus. "Bosan juga daging rebus terus," kata Aubdani, atlet dari Sum-Bar. Kalau sudah mendapat menu "wajib" itu, para atlet langsung jajan di warung padang yang banyak berjejer di sekitar asrama haji itu. Pondok Gede ternyata juga tak bebas nyamuk. Guna mengusir gangguan itu, para atlet terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membeli obat nyamuk. Syukurlah, Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, selaku Ketua Umum PB PON XII, tanggap akan keluhan ini. Ia menyanggupi akan memberesi semua yang masih dikeluhkan atlet. Kan sudah untung? Toriq Hadad, Tommy Tamtomo, Sri Pudyastuti, dan Muchlis H.J.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini