Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELEPONNYA tak pernah berhenti berdering. Lalu lintas e-mail-nya pun terbilang sibuk. Namun Serena Williams, 27 tahun, tak pernah merasa terganggu. Justru sebaliknya. Dia melayani diskusi dengan agennya, William Morris Agency, dengan penuh antusias.
Di tengah turnamen Wimbledon yang berakhir dua pekan lalu, dia tak kehabisan energi untuk mengaduk tiga serial televisi, yakni Desperate Housewives, Sex and the City, dan Family Guy, menjadi sebuah adonan cerita yang baru. Tetap lucu, juga ada sedihnya, dan mampu membuat penonton duduk di depan televisi.
Serena memang punya kesibukan baru. Selain mengayun raket tenis, dia harus memeras keringat untuk mencari cerita yang pas buat serial televisi yang tengah dipersiapkannya. ”Jangan kaget, saya sudah menyelesaikan tiga bagian cerita, lho,” katanya sambil tersenyum.
Sayangnya, dia tidak bisa berlama-lama berkutat menulis cerita. Jadwal bertanding memanggilnya. ”Lagi pula mood saya sekarang kurang baik. Kemarin sih bagus banget. Saya bisa menyelesaikan treatment (salah satu proses penulisan skenario) dengan cepat,” katanya.
Beda di depan monitor, beda juga di lapangan. Di lapangan rumput All England Club, London, dia selalu beroleh mood yang bagus. Semua lawan dilumatnya. Hingga akhirnya, di bagian tunggal putri, dia sampai pula di final. Lawannya? Venus Williams, 28 tahun, kakaknya sendiri.
Toh, dia sama sekali tak terpengaruh oleh status lawannya. ”Sori, saya tidak memikirkan soal Venus hari ini. Saya hanya menganggapnya sebagai musuh,” katanya seusai pertandingan, Sabtu dua pekan lalu.
Memang bukan pertama kali ini mereka berhadapan. Di berbagai turnamen, mereka sudah bertemu sebanyak 21 kali. Skor kemenangan masih dipegang Serena: 11-10. Namun kali ini teramat istimewa. Mereka harus saling bantai di Wimbledon, turnamen akbar yang selalu dirindukan petenis mana pun.
Mau tak mau, kedua Williams itu beradu otot dan taktik. Mereka saling melumpuhkan. Tak ada lagi senyum di antara mereka. Mereka pun tak mau melihat satu sama lain. Perseteruan itu berakhir setelah Serena menamatkan pertandingan dengan skor 7-6, 6-2. Setelah itu, seperti biasa, mereka pun berpelukan dan saling memberikan senyum. Si kakak, yang dua tahun sebelumnya menjadi juara di turnamen ini, memberikan selamat kepada sang adik, yang usianya terpaut hanya setahun.
Prestasi keduanya pun kian lengkap. Di bagian ganda, mereka juga menjadi pemuncak. Tampil berpasangan, mereka berhasil menaklukkan Samantha Stosur/Rennae Stubbs asal Australia, 7-6 (4), 6-4.
Inilah prestasi yang menyenangkan bagi kakak-adik itu. Selama 2003-2006, mereka terjerembap dalam kegagalan. Penyebabnya adalah soal cedera. Salah satunya di bagian lutut, yang memang membutuhkan waktu pemulihan yang tidak sebentar.
Padahal, sebelumnya, mereka boleh dibilang merupakan penguasa tenis wanita. Berbagai gelar, termasuk grand slam, mampir dalam genggaman mereka. Kalau bukan tunggal, ya, ganda. Masa itu dikenal sebagai era Williams Bersaudara.
Nah, kalau sekarang mereka kembali, itu tentu tidak dengan ujuk-ujuk. Proses comeback juga tak selalu mulus. Mereka gagal di berbagai turnamen. Namun, setiap kali gagal, mereka kembali menata kekuatan masing-masing. Secara spartan mereka pun melakukan latihan.
Di Florida, tempat tinggal mereka, keduanya bangun pagi-pagi sekali. Keinginan mereka tak lain sampai di peringkat 10 dunia. Hasilnya, keinginan itu tercapai. Akibat prestasi di Wimbledon itu, kini mereka bercokol di urutan 2 dan 3.
Kehadiran Serena dan Venus di lapangan tenis merupakan sebuah fenomena unik. Mereka berasal dari kulit hitam—sesuatu yang mengejutkan. Setelah Arthur Ashe dan Althea Gibson, belum ada lagi Afro-Amerika yang berjaya. Serena pun membuat sejarah menjadi juara Amerika Terbuka pada 1999.
Rupanya, ini bukan sekadar kebetulan. Jauh sebelum anak-anaknya lahir, Richard Williams telah membuat sebuah skenario besar, munculnya Cinderella dari Ghetto. Merekalah yang akan merebut gengsi tenis yang dikuasai kaum kulit putih. Richard menggenjot anak-anaknya itu dengan latihan yang ketat.
Namun tak selamanya jalan itu mulus. Saat Serena dan Venus berlatih di Los Angeles, Yetunde Price, kakak mereka, terbunuh oleh gangster. Kematian itu sungguh memukul keduanya. Bagi mereka, Yetunde tak lain orang yang teramat penting. Dia menjadi asisten pelatih, juga yang mengurusi segala kebutuhan mereka.
Kematian sang kakak membuat Serena lebih religius. Dalam sebuah wawancara dengan Guideposts, Oktober 2004, dia menuliskan betapa kematian itu membuatnya selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Dia menambah senjata dalam setiap pertandingan. Senjata itu adalah doa. ”Kuatkan aku. Berikan aku ketenangan untuk melakukan yang terbaik. Thank you, Lord.” Itulah yang dilakukannya setiap kali memulai sebuah pertandingan.
Berbagai raihan prestasi yang diperoleh keduanya tak pelak menggendutkan pundi-pundinya. Kekayaan Serena, yang antara lain berasal dari 12 grand slam, mencapai US$ 25 juta. Sedangkan Venus, di antaranya dari sembilan grand slam, beroleh uang sekitar US$ 23 juta. Penghasilan lain diperoleh dari iklan dan sponsor.
Mereka tidak lagi tinggal di sebuah apartemen sederhana di Los Angeles, seperti saat memulai karier. Dua tahun lalu, Gaby Woods, wartawan Guardian, bertandang ke rumah mereka di Florida, Amerika Serikat. Rumah tersebut besar dan lapang. Maklum, rumah itu berada di kompleks perumahan kelas atas.
Tak pelak, dunia mereka tak lagi sekadar mengayun raket. Serena banyak berkecimpung di dunia televisi, sementara Venus giat menyusun berbagai rencana untuk kemajuan produk pakaiannya, EleVen. Saking seriusnya, Venus pun mengambil pendidikan di sebuah sekolah desain. Terkadang pula, sambil mengikuti turnamen besar, dia menangani berbagai urusan pekerjaan.
Venus juga membuat perusahaan desain interior, V Starr Interiors, yang berlokasi di Jupiter, Florida. Job-nya lumayan banyak. Salah satunya membangun apartemen atlet di New York, yang akan dipergunakan dalam upaya New York menjadi tuan rumah Olimpiade 2012. Proyek lain adalah membangun berbagai properti di kawasan Florida.
Serena? Sama saja. Dia punya juga clothing, Aneres. Dia juga demen mejeng di berbagai acara televisi, seperti ER, serta mengisi suara untuk The Simpsons dan beberapa film animasi. Pada 2005, Serena dan si kakak muncul dalam reality show Venus and Serena: For Real.
Di acara itulah publik melihat keseharian dua Cinderella ini. Termasuk tekad yang tetap kuat untuk menjadi nomor satu di lapangan. Persis seperti yang mereka alami saat ini.
Kini jalan terang bagi kedua Cinderella kembali terbentang. Keduanya merasa karier mereka belumlah redup. Pada 1997, dalam sebuah wawancara dengan New York Times, Richard Williams berharap kedua putrinya akan segera pensiun pada usia 23 atau 24 tahun. Ternyata Serena pada usianya yang ke-27 masih memiliki servis yang menggelegar. Paling keras di antara petenis wanita mana pun.
Istirahat? No way la yaw. Prestasi mereka belum apa-apa dibanding legenda tenis lain seperti Margaret Court, yang meraih 24 gelar grand slam, atau Steffi Graf dengan warisan 22 titel grand slam. Paling tidak, mereka bisa melampaui 18 gelar grand slam yang diraih Martina Navratilova dan Chris Evert. ”Itu juga sudah berarti banyak dalam tenis,” kata Serena.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo