SEORANG Hansip menghentikan mobil Fiat itu di depan pos
penjagaan kompleks perusahaan Pardedetex Jl. Binjei Km. 11,
Medan. Penumpangnya, Kamaruddin Panggabean, manajer klub
Galatama Pardedetex, berteriak gusar "Kamu tidak kenal saya?"
Berbeda dari biasa, di sana pekan lalu diadakan penjagaan ketat
sebagai usaha mencegah para pemain Pardedetex berhubungan dengan
orang luar. Sejak sepekan sebelum bertanding melawan Warna
Agung, boss T.D. Pardede menahan senua pemainnya -- seperti
calon jemaah yang diasramakan -- karena penyuapan
dikhawatirkannya akan terjadi.
Banyak pembina klub Galatama mencemoohkan cara yang ditempuh
Pardedetex itu. "Melakukan karantina pemain tidak perlu," kata
Beniardi, pimpinan Tunas Inti. "Sebab soal suap tergantung dari
mental pemainnya juga sih."
Kalau mentalnya sudah bejat, "biar kita kurung berapapun
kuatnya, mereka bisa lewat jendela," kata Ibnu Rasyid SH, staf
pimpinan NIAC Mitra, Surabaya. "Kalau orang mau berbuat jahat,
cara apapun pasti ditempuhnya," tambah Acub Zainal, pimpinan
Perkesa 78.
Bukan Sebab Utama
Tapi Pardede yang licin itu melakukan pengamanan rangkap. Selain
karantina fisik, ia juga menjajal mental para pemainnya. Lewat
seorang kurir, ia mencoba menyodorkan Rp 2 juta berikut sejumlah
wanita kepada beberapa pemain menjelang pertandingan lawan Warna
Agung. Semua itu ternyata ditolak. Juga melalui kurir lain,
dicobanya menggoda bintang Pardedetex, Zulham Effendy, ketika
didengarnya 2 penyuap ulung (di antaranya konon Jeffry Suganda
Gunawan, Jakarta) mendarat di Medan. Ini pun tidak tembus. Ujian
sampai di situ, dan Pardede berkesimpulan, "pemain saya bersih."
Dia pun tampak tidak curiga terhadap hasil pertandingan
Pardedetex - Warna Agung walaupun seri 1-1 pekan lalu.
Kewaspadaan Pardede yang berlebihan itu memang beralasan. Sebab
Warna Agung tadinya menjadi korban penyuapan, hingga gol menjadi
berimbang secara mengherankan ketika ia melawan NIAC Mitra. Dua
pemain Warna Agung dituduh menerima suap dari Jeffry Suanda.
Adalah tokoh ini juga yang pernah hampir merontokkan klub
Perkesa 78 ketika Javeth Sibi dkk terbukti menerima suap.
Sementara kasus Warna Agung masih segar, mendadak dua pemain
teras PSIS (Semarang) diketahui menerima suap ketika melawan
Persipal (Palu) dalam kompetisi PSSI di Semarang yang barusan
selesai. Sungguh menyolok dalam tahun ini sedikitnya 5 kasus
suap sudah diketahui.
Banyak pembina sepakbola mencari penyebabnya: Dari gaji kecil,
mental yang bejat, sampai soal kondisi masyarakat. Mana yang
paling benar? Gaji kecil agaknya bukan sebab utama. Warna Agung,
yang pemain utamanya terkena sogok, membayar gaji Rp 75.000
sampai dengan Rp 250.000 sebulan berikut jaminan sosial. Juga
Javeth Sibi dari Perkesa 78 menerima imbalan yang lumayan.
Klub Tidar Sakti yang terdiri dari pegawai negeri memberi
imbalan Rp 10.000 saja sebulan pada tiap pemain, sedang Cahaya
Kita hanya berkisar Rp 50.000 sebulan. Kedua klub itu ternyata
belum dipengaruhi suap.
Alasan pemain mudah disogok karena "kurang atau berlebihnya
bayaran, itu relatif," kata Ibnu Rasyid dari NIAC Mitra. "Sebab
bukan pemain yang menyodorkan diri untuk disuap, tapi penyuaplah
yang datang."
Jadi apa sebabnya? "Mental yang bobrok!" jawab Kaslan Rosidi,
pembina Cahaya Kita. "Yang kena suap, tentu pemain yang
mentalnya tidak terpelihara," sambung F.X. Haryoto, Ketua I
Tidar Sakti. "Meski tidak punya uang kalau mentalnya kuat,"
tidak mungkin dia bisa disuap."
Mental yang bobrok itu, menurut Acub Zainal, adalah akibat
lenyapnya kehormatan dan kebanggaan pemain akan olahraga
sepakbola. Terus terang ia menyatakan heran mengapa kebanggaan
membela panji klub di dalam kubu sendiri tidak tumbuh dengan
kuat.
Acub juga menyebut kondisi masyarakat kini sakit, mendorong suap
terjadi. Tapi beberapa pembina klub Galatama menyesalkan sikap
PSSI, yang memperingan hukuman terhadap penerima suap, bahkan
memberi kesempatan mereka bermain kembali. Pardede, misalnya
mengecam: "Pengurus PSSI terlalu banyak toleransi, mau baik ke
sana, baik ke mari. Sebentar skors, kemudian cabut lagi."
Pardede menunjuk peristiwa suap lswadi Idris dan Ronny Paslah.
Dengan alasan masih muda dan akan membahayakan masa depannya,
Pengurus PSSI, kata Pardede lagi, memberi kesempatan mereka
bermain kembali. Tidak heran lanjutnya, setelah melihat
'kebijaksanaan' ini, para pemain klub Galatama ikut-ikutan.
"Saya sudah sarankan dalam rapat, agar kalau memang tak mampu,
pengurus PSSI itu mundur saja."
Tanpa pertimbangan apapun, kata Beniardi pula, pemain yang kena
suap harus dihukum berat. "Meskipun yang kena suap adalah
bintang klub atau pemain unggulan, tidak ada privillege bagi
mereka. "
Diakui atau tidak, bobot pemain sering jadi pertimbangan dalam
menjatuhkan putusan skorsing. Namun, demikian Pardede dan
Beniardi senada, sebuah kesebelasan yang baik tidak boleh
tergantung pada kemampuan beberapa pemain -- atau bahkan pada
seorang pemain.
Suwardi Arlan, pelatih klub Indonesia Muda juga menyesalkan
tindakan PSSI yang memperingan hukuman. "Yang skors klub, dan
PSSI tinggal memperkuat saja. Jangan malah PSSI merehabilitir
yang bersangkutan dong, lanjut Suwardi.
Kalau garis keras ditempuh, diduga banyak pemain andalan akan
rontok. Pengurus PSIS, misalnya, mulai risau bila 2 pemain
terasnya yang kena suap harus dipecat. "Kami terpaksa mencari
pemain pengganti," kata drs. M. Sayoto pelatih PSIS. "Akibatnya
kesebelasan PSIS mendatang tentu jadi iain. "
Menurut SK Wibowo, pimpinan Buana Putra, klub Galatama sebaiknya
memiliki banyak pemain yang didaftarkan. Buana sendiri memiliki
40 pemain, dengan risiko harus mengeluarkan dana semakin banyak.
Berbahaya keadaan tim dengan pemain terbatas "kalau beberapa di
antaranya kena suap " kata Wibowo.
Tapi masih ada cara lain mencegah suap seperti dianjurkan drs
Frans Hutasoit, manajer Jayakarta. Yaitu membina disiplin pemain
dengan cara kekeluargaan, sambil memberi kesempatan bagi mereka
yang ingin belajar untuk melanjutkan sekolah. "Inilah inti suatu
pemhinaan klub yang bersih, sehingga pemain tidak mudah kena
suap," kata Hutasoit.
Jika penyuapan masih terjadi, parapenyuapnya, menurut Endang
Witarsa pelatih Warna Agung sebaiknya "digebuki saja." Atau
diajukan ke peneadilan? Menteri Kehakiman Mujono Sll
menganjurkan supaya dicoba diajukan ke pengadilan. "Soal ditolak
atau diterima, itu bagaimana nanti," katanya seperti dikutip
Kompas. Sekalipun belum ada peraturan formal untuk mencegah soal
suap di kalangan pemain bola, katanva lagi, "dalam putusannya
hakim dapat menemukan, menciptakan dan memperluas hukum."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini