Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Klub dengan karantina pemain

Menjelang melawan warna agung, pardedetex mengkarantinakan semua pemainnya untuk menghindari usaha penyuapan yang kini makin menghantui klub-klub galatama. (or)

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG Hansip menghentikan mobil Fiat itu di depan pos penjagaan kompleks perusahaan Pardedetex Jl. Binjei Km. 11, Medan. Penumpangnya, Kamaruddin Panggabean, manajer klub Galatama Pardedetex, berteriak gusar "Kamu tidak kenal saya?" Berbeda dari biasa, di sana pekan lalu diadakan penjagaan ketat sebagai usaha mencegah para pemain Pardedetex berhubungan dengan orang luar. Sejak sepekan sebelum bertanding melawan Warna Agung, boss T.D. Pardede menahan senua pemainnya -- seperti calon jemaah yang diasramakan -- karena penyuapan dikhawatirkannya akan terjadi. Banyak pembina klub Galatama mencemoohkan cara yang ditempuh Pardedetex itu. "Melakukan karantina pemain tidak perlu," kata Beniardi, pimpinan Tunas Inti. "Sebab soal suap tergantung dari mental pemainnya juga sih." Kalau mentalnya sudah bejat, "biar kita kurung berapapun kuatnya, mereka bisa lewat jendela," kata Ibnu Rasyid SH, staf pimpinan NIAC Mitra, Surabaya. "Kalau orang mau berbuat jahat, cara apapun pasti ditempuhnya," tambah Acub Zainal, pimpinan Perkesa 78. Bukan Sebab Utama Tapi Pardede yang licin itu melakukan pengamanan rangkap. Selain karantina fisik, ia juga menjajal mental para pemainnya. Lewat seorang kurir, ia mencoba menyodorkan Rp 2 juta berikut sejumlah wanita kepada beberapa pemain menjelang pertandingan lawan Warna Agung. Semua itu ternyata ditolak. Juga melalui kurir lain, dicobanya menggoda bintang Pardedetex, Zulham Effendy, ketika didengarnya 2 penyuap ulung (di antaranya konon Jeffry Suganda Gunawan, Jakarta) mendarat di Medan. Ini pun tidak tembus. Ujian sampai di situ, dan Pardede berkesimpulan, "pemain saya bersih." Dia pun tampak tidak curiga terhadap hasil pertandingan Pardedetex - Warna Agung walaupun seri 1-1 pekan lalu. Kewaspadaan Pardede yang berlebihan itu memang beralasan. Sebab Warna Agung tadinya menjadi korban penyuapan, hingga gol menjadi berimbang secara mengherankan ketika ia melawan NIAC Mitra. Dua pemain Warna Agung dituduh menerima suap dari Jeffry Suanda. Adalah tokoh ini juga yang pernah hampir merontokkan klub Perkesa 78 ketika Javeth Sibi dkk terbukti menerima suap. Sementara kasus Warna Agung masih segar, mendadak dua pemain teras PSIS (Semarang) diketahui menerima suap ketika melawan Persipal (Palu) dalam kompetisi PSSI di Semarang yang barusan selesai. Sungguh menyolok dalam tahun ini sedikitnya 5 kasus suap sudah diketahui. Banyak pembina sepakbola mencari penyebabnya: Dari gaji kecil, mental yang bejat, sampai soal kondisi masyarakat. Mana yang paling benar? Gaji kecil agaknya bukan sebab utama. Warna Agung, yang pemain utamanya terkena sogok, membayar gaji Rp 75.000 sampai dengan Rp 250.000 sebulan berikut jaminan sosial. Juga Javeth Sibi dari Perkesa 78 menerima imbalan yang lumayan. Klub Tidar Sakti yang terdiri dari pegawai negeri memberi imbalan Rp 10.000 saja sebulan pada tiap pemain, sedang Cahaya Kita hanya berkisar Rp 50.000 sebulan. Kedua klub itu ternyata belum dipengaruhi suap. Alasan pemain mudah disogok karena "kurang atau berlebihnya bayaran, itu relatif," kata Ibnu Rasyid dari NIAC Mitra. "Sebab bukan pemain yang menyodorkan diri untuk disuap, tapi penyuaplah yang datang." Jadi apa sebabnya? "Mental yang bobrok!" jawab Kaslan Rosidi, pembina Cahaya Kita. "Yang kena suap, tentu pemain yang mentalnya tidak terpelihara," sambung F.X. Haryoto, Ketua I Tidar Sakti. "Meski tidak punya uang kalau mentalnya kuat," tidak mungkin dia bisa disuap." Mental yang bobrok itu, menurut Acub Zainal, adalah akibat lenyapnya kehormatan dan kebanggaan pemain akan olahraga sepakbola. Terus terang ia menyatakan heran mengapa kebanggaan membela panji klub di dalam kubu sendiri tidak tumbuh dengan kuat. Acub juga menyebut kondisi masyarakat kini sakit, mendorong suap terjadi. Tapi beberapa pembina klub Galatama menyesalkan sikap PSSI, yang memperingan hukuman terhadap penerima suap, bahkan memberi kesempatan mereka bermain kembali. Pardede, misalnya mengecam: "Pengurus PSSI terlalu banyak toleransi, mau baik ke sana, baik ke mari. Sebentar skors, kemudian cabut lagi." Pardede menunjuk peristiwa suap lswadi Idris dan Ronny Paslah. Dengan alasan masih muda dan akan membahayakan masa depannya, Pengurus PSSI, kata Pardede lagi, memberi kesempatan mereka bermain kembali. Tidak heran lanjutnya, setelah melihat 'kebijaksanaan' ini, para pemain klub Galatama ikut-ikutan. "Saya sudah sarankan dalam rapat, agar kalau memang tak mampu, pengurus PSSI itu mundur saja." Tanpa pertimbangan apapun, kata Beniardi pula, pemain yang kena suap harus dihukum berat. "Meskipun yang kena suap adalah bintang klub atau pemain unggulan, tidak ada privillege bagi mereka. " Diakui atau tidak, bobot pemain sering jadi pertimbangan dalam menjatuhkan putusan skorsing. Namun, demikian Pardede dan Beniardi senada, sebuah kesebelasan yang baik tidak boleh tergantung pada kemampuan beberapa pemain -- atau bahkan pada seorang pemain. Suwardi Arlan, pelatih klub Indonesia Muda juga menyesalkan tindakan PSSI yang memperingan hukuman. "Yang skors klub, dan PSSI tinggal memperkuat saja. Jangan malah PSSI merehabilitir yang bersangkutan dong, lanjut Suwardi. Kalau garis keras ditempuh, diduga banyak pemain andalan akan rontok. Pengurus PSIS, misalnya, mulai risau bila 2 pemain terasnya yang kena suap harus dipecat. "Kami terpaksa mencari pemain pengganti," kata drs. M. Sayoto pelatih PSIS. "Akibatnya kesebelasan PSIS mendatang tentu jadi iain. " Menurut SK Wibowo, pimpinan Buana Putra, klub Galatama sebaiknya memiliki banyak pemain yang didaftarkan. Buana sendiri memiliki 40 pemain, dengan risiko harus mengeluarkan dana semakin banyak. Berbahaya keadaan tim dengan pemain terbatas "kalau beberapa di antaranya kena suap " kata Wibowo. Tapi masih ada cara lain mencegah suap seperti dianjurkan drs Frans Hutasoit, manajer Jayakarta. Yaitu membina disiplin pemain dengan cara kekeluargaan, sambil memberi kesempatan bagi mereka yang ingin belajar untuk melanjutkan sekolah. "Inilah inti suatu pemhinaan klub yang bersih, sehingga pemain tidak mudah kena suap," kata Hutasoit. Jika penyuapan masih terjadi, parapenyuapnya, menurut Endang Witarsa pelatih Warna Agung sebaiknya "digebuki saja." Atau diajukan ke peneadilan? Menteri Kehakiman Mujono Sll menganjurkan supaya dicoba diajukan ke pengadilan. "Soal ditolak atau diterima, itu bagaimana nanti," katanya seperti dikutip Kompas. Sekalipun belum ada peraturan formal untuk mencegah soal suap di kalangan pemain bola, katanva lagi, "dalam putusannya hakim dapat menemukan, menciptakan dan memperluas hukum."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus