SEKS ternyata mencemaskan. Paling tidak kalau menyangkut
anak-anak. Pertanyaan seorang anak, (4 tahun) yang termashur,
"Bu, dari mana datangnya adik?," membuat si ibu dihadapkan pada
dua pilihan. berbohong atau bagaimana.
Masalah bagaimana itulah yang mendorong majalah Ayahbunda dan
Femina menyelenggarakan ceramah tentang "Penerangan Seks dalam
Keluarga," Jumat pekan lalu di Jakarta. Gagasan ini memang sudah
lama ada. Ayahbunda memiliki semacam kelompok studi
beranggotakan hampir seratus ibu di Jakarta, sudah enam kali
mengadakan pertemuan, dan "masalah pendidikan seks itu yang
sering dipersoalkan," kata Ny. Yus Kayam, redaktur Ayahbunda.
Enam penceramah dari berbagai bidang diundang -- ada dokter,
psikolog, konsultan perkawinan. Dr. Singgih Gunarsa, sarjana
psikologi, mengakui perlunya pendidikan seks buat anak. "Tetapi
itu hanya di kota besar macam Jakarta ini. Soalnya masalah seks
menyangkut perubahan nilai-nilai dan itu yang terjadi di
kota-kota besar," tuturnya.
Di kota besar ada tv, film, majalah atau buku yang sedikit atau
banyak menyinggung seks dan mudah dilihat dan merangsang siapa
saja, termasuk anakanak. Rangsangan pada anak -- yang memang
belum paham seluk-beluk seks-menimbulkan masalah sendiri, yang
harus mendapat pemecahan sewajarnya.
Dr Harlina Martono, Sarjana Kesehatan Masyarakat, menutip buku
Masalah Pendidikan Seks karya S. Pribadi, merumuskan tujuan
pendidikan seks: untuk mendidik anak tumbuh dewasa dalam
kehidupan seksnya. Artinya, mampu mengadakan hubungan
heteroseksual (hubungan yang bukan sekedar badaniah, tapi
meliputi semua aspek kepribadian manusia) secara wajar dan
bertanggung jawab.
Minum Dot
Bagaimana kalau "tak wajar"? Kejahatan seks di masyarakat?
Apakah kejahatan itu menunjukkan tidanya, atau salahnya,
pendidikan seks anak-anak, disangkal oleh Singgih Gunarsa. "Tak
ada hubungan langsung antara pendidikan seks dan masalah seks
dalam masyarakat," katanya kepada TEMPO.
Mungkin, karena yang terjadi dalam masyarakat disebabkan banyak
hal merupakan masalah kompleks. Drs. Mahmudin Sudin, dosen
Problematika Perkawinan dan Kehidupan Keluarga, Universitas
Islam Jakarta, menunjuk pada "tidak adanya kesatuan nilai dalam
lembaga keluarga, pendidikan dan masyarakat" sebagai sebab
munculnya kejahatan seks. Karena itu Mahmudin lebih menekankan
diberikannya "latihan religius" kepada anak-anak untuk
membekalinya dengan sikap hidup dan nilai-nilai mutlak.
"Menghadapi perubahan nilai-nilai sosial-budaya, tak ada
pegangan lain yang baik kecuali kepada nilai mutlak," katanya.
Diberikannya contoh, bagaimana paling sedikit lima kali sehari
agama Islam menyuruh orang menjatuhkan pilihan sholat atau
melakukan hal lain. Latihan ini, menurutnya, akan membentuk
kebiasaan memihak kepada "nilai-nilai ajaran Sang Pencipta."
Tetapi hadirin, sebagian besar ibu-ibu, agaknya tidak tertarik
kepada masalah pendidikan seks dalam skala lebih luas seperti
itu. Praktis pertanyaan yang diajukan berkisar kepada masalah
satu saja: bagaimana seharusnya menjawab pertanyaan anak-anak
tentang seks. Misalnya apa yang harus dilakukan seorang ibu,
kalau anaknya yang berumur dua tahun bila minum dot selalu
memegangi alat vitalnya bagaimana memberikdn penjelasan kepada
seorang anak yang merasa menyesal karena pada pernikahan
ayah-ibu kandungnya dia tidak bisa hadir sejak kapan anak-anak
boleh diberi penjelasan tentang seks dengan istilah sebenarnya.
Menurut Singgih Gunarsa masalah tersebut bukan hal baru, "sudah
sejak dulu masalahnya itu-itu juga," katanya. Dan menurut Wakil
Dekan Fak. Psikologi UI ini, yang paling dipersoalkan para ibu
ialah soal masturbasi pada anak-anak. "Sebaiknya ibu-ibu banyak
membaca masalah seks sehingga bisa memberikan penerangan yang
benar kepada anak. Atau paling tidak, menanyakannya kepada yang
ahli," sarannya. Yang masih jadi problem di kalangan orang,
bacaan belum memadai dan bagaimana mereka tahu apa yang disebut
"ahli"? Bagaimana pula para ahli agama?
Tapi nampaknya sama-sama dipahami bahwa pendidikan seks tak
terlepas dari pendidikan secara keseluruhan. Melepaskannya dari
pendidikan keseluruhannya, menurut dr Harlina, hanya menjadikan
remaja pintar seluk beluk seks -- pencegahan kehamilan,
menghindarkan penyakit kelamin dan lain-lain. Tujuan
sesungguhnya -- memperslapkan manusia dewasa berpribadi dan
bertanggung jawab -- bisa tak tercapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini