MENGIKUTI latihan di Stuttgart dan Kiel, Jerman Barat, para
atlet Indonesi ternyata bisa membuat prestasi. Tiga rekor
nasional -- lempar cakram, lontar martil, dan tolak peluru --
tumbang selang dua bulan mereka berlatih di sana. Suhadi, Ir.
Budi Dharma, dan Mace Siahainenia -- ketiganya mematok rekor
dalam pertandingan lokal di Karlsruhe (Juni) dan uji coba di
Kiel (Juli).
Rekor baru Suhadi untuk lempar cakram 44,80 m(lama 44,32 m),
Budi untuk lontar martil 47,34 m (44,34 m), dan Mace untuk tolak
peluru 13,40 m (12,95 m). Prestasi Suhadi dan Budi sudah
dikukuhkan Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) sebagai
rekor nasional terakhir. Sedang PASI masih menunggu laporan
tentang prestasi Mace.
Untuk latihan di Jerman Barat itu, PASI mengirimkan 21 atlet. Di
antaranya 11 orang ke Kiel dan 10 lagi ke Stuttgart. Tapi sejak
Juli jumlah mereka tinggal 20. Pelari Siegfried Lapian yang
berlatih di Stuttgart dipulangkan karena menderita alergi, tak
tahan terhadap perubahan cuaca. Tim Indonesia tiba di sana 29
Mei -- masih terasa dingin di sana.
Pelatih Paulus Pasurney, yang mendampingi tim di Kiel,
menyatakan hampir semua atlet pada mulanya mengalaml kesulitan
dalam menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan dan perubahan
cuaca. Sepanjang Juni latihan belum bisa dilakukan sepenuhnya.
"Berlatih di lapangan berlapis karet, dengan suhu udara yang
dingin, menyebabkan otot dan engsel kaki rasanya sakit sekali,"
kata atlet Judhi Karmani.
Tim Indonesia di Jerman Barat berlatih lima hari dalam seminggu.
Pagi (latihan fisik) selama dua jam dan sore (latihan teknik)
sekitar dua setengah jam. Sistem latihan di sana berbeda sekali
dengan pengalaman di Indonesia. Di Jerman Barat, menurut Paulus,
pelatih menganut metode kompensasi dalam saha meningkatkan
prestasi atlet.
Metode kompensasi itu menekankan latihan pada komponen prestasi
tertentu -- bisa berupa fisik rnaupun teknik. Komponen fisik
bisa berupa daya tahan, kecepatan, dan kemampuan elastisitas
otot. Komponen teknik bisa terdiri dari cara dan gaya seorang
atlet dalam berlari, melompat, atau melempar. Di samping itu
kepribadian atlet bersangkutan juga menentukan.
Melaksanakan metode kompensasi itu, pelatih Frank Beckmann
terpaksa menyiapkan bentuk dan jadwal latihan lari tersendiri
untuk asuhannya, Uenny Maspeitella dan Vonny Sondakh. Henny,
menurut Beckmann, lemah pada otot tungkai, perut dan punggung,
tapi teknik larinya sudah baik. Sebaliknya-lengan Vonny. Karena
perbedaan itu, menu yang diberikan untuk keduanya juga tak sama.
Henny diberi makanan ekstra yang lebih banyak mengandung protein
Mengenai Mace, menurut pelatih Beate Gobe, berat badannya harus
diturunkan sekitar 10 kg lagi. Ia dinilai terlalu gemuk. Lemak
yang berlipat di sekitar pinggang dan perutnya merupakan
penghalang baginya untuk bergerak lebih cepat. Mace -- tinggi
165 cm dan berat 72 kg -- diharuskan lebih banyak latihan lari
dibanding waktu di Indonesia. Selain itu ia juga lemah pada otot
tungkai dan lengan. "Yang sudah baik dari Mace adalah
eksplosivitas dan sudut tolakannya saja," kata Paulus mengutip
Gobe.
Di nomor lompat jauh, terdapat atlet Judhi Karmani, Ruben Noya,
Wayan Kurniawan, Johannes Yong Chong, dan Mohtar Mohamad yang
dilatih. Menurut pelatih Wolfgang Delf, mereka punya kelemahan
dalam mengambil ancang-ancang. Judhi, misalnya, punya kecepatan
yang makin rendah begitu mendekati papan tolak. Padahal di sini
dibutuhkan kemampuan maksimal. Sedang empat pelompat jauh putra
lainnya punya kelemahan dalam gerak dan langkah yang tidak
efisien -- umumnya makin dekat ke titik tumpuan langkah mereka
kian besar. Ini dianggap Delf merugikan.
Pelari Mudjiono mengakui kemajuan yang dicapainya banyak sekali
setelah berlatih di Jerman Barat selama dua setengah bulan. Juga
peloncat galah Djoko Sudargo berkata begitu. "Walau belum
menyumbangkan rekor nasional," ujar Mudjiono kepada Paulina
Heidemann dari TEMPO, "Saya mulai punya kepercayaan terhadap
diri sendiri." Mudjiono dan Djoko, keduanya pemegang ekor
nasional, sekarang ini berhasil mencatat waktu tempuh maupun
tinggi loncatan yang stabil.
316 Atlet
Kecepatan Mudjiono sehari-hari berkisar 48 sampai 50 detik untuk
putaran 400 m. Sedang loncatan Djoko 4 sampai 4,10 m. Rekor
nasional dalam kedua nomor tersebut adalah 47,8 detik dan 4,20
m. "Rata-rata atlet kita mendapat kemajuan di Jerman Barat,"
kata Ketua Umum PASI Bob Hassan. Setelah meninjau ke Stuttgart
dan Kiel, akhir Juli, Bob optimistis sistem latihan di Jerman
Barat bisa diterapkan pula di Indonesia. Itulah sebabnya PASI
juga mengirimkan pelatih Paulus dan Jan Sondakh mendampingi
atlet. Tapi "semua itu akhirnya juga terpulang pada keseriusan
atlet bersangkutan," lanjut Bob.
Hanya mereka yang tinggal di Stuttgart yang dibiayai PASI.
Sedang di Kiel biaya mereka ditanggung secara patungan oleh para
pelatih -- seperti Beckmann dan Dr. Bodo Smith yang sudah pernah
berkunjung ke Indonesia. "Ini dimungkinkan berkat terjalinnya
kerjasama yang baik antara PASI dan Persatuan Atletik Jerman
Barat (LDV)," kata Bob.
Ternyata kemajuan tidak hanya dicapai di Jerman Barat. Juga
untuk PON X (pertengahan September) di Jakarta sudah tercatat
316 atlet yang lolos kualifikasi, sedang jatah yang diberikan
panitia cuma 230 orang. "Padahal angka kualifikasinya sudah
dinaikkan," kata Kepala Humas PASI J. Mariono. Kelebihan atlet
dari jatah itu konon cukup memusingkan panitia penyelenggara PON
X.
Sebagian dari mereka yang lolos kualifikasi, termasuk mereka
yang berlatih di Jerman Barat, diduga akan terpilih untuk SEA
Games XI di Manila, Desember. Saingan berat bagi Indonesia dalam
atletik adalah Malaysia, Muangthai, dan Filipina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini