Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Si Lapis Lagi Laris

Jumlah pabrik kayu lapis di Indonesia menggelembung setelah adanya SKB 3 menteri. Pamasaran meningkat perusahaan kecil tercekik dan masih ada yang memerlukan induk. (eb)

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARAT balon ditiup jumlah pabrik kayu lapis di Indonesia menggelembung cepat. "Saat ini ada 70-an pabrik baru sedang dibangun dan sudah ada 30-an lagi yang mengajukan permohonan," ujar Bob Hassan, Ketua Asosiasi Produsen Kayulapis Indonesia (Apkindo) Pabrik yang sudah beroperasi sampai Maret lalu tercatat 32 buah. Memang tidak ada pilihan lain bagi para pemegang HPH kecuali bergegas membangun pabrik kayu lapis, kalau masih berminat mengolah areal hutannya. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri -- Pertanian, Perdagangan, Keuangan -- ekspor kayu gelondongan hanya bisa dilakukan oleh pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang sudah mendirikan pabrik kayu lapis. "Sekitar US$ 1 milyar dana yang tertanam di pabrik plywood ini," ujar Bob yang juga Ketua Asosiasi Produsen Kayu lapis ASEAN. Barusan dia terpilih lagi jadi ketua Asosiasi Produsen Kayu lapis Asia. "Bagi Apkindo ini sangat membanggakan karena dana itu bukan dana pemerintah," tambahnya. Untuk membangun sebuah pabrik kayu lapis memang memerlukan modal, sedikitnya US$ 10 juta. Itulah sebabnya, timbul suara-suara SKB tadi hanya semakin mencekik pengusaha kayu menengah ke bawah. "Ada 30-an pemegang HPH yang menghentikan kegiatannya sama sekali dan sekitar 30-an juga yang segera menyusul," ujar sumber TEMPO di kalangan Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Pemerintah memang sudah memberi petunjuk agar pengusaha kecil-kecil itu mendirikan pabrik Plywood dengan sistem kongsi. Tapi rupanya memang tidak semudah itu. "Apalagi belum ada jaminan bank bahwa kalau sudah merger bisa mendapat kredit," ujar seorang pengusaha dari Kal-Tim. Dalam waktu setahun ini baru ada satu grup, Ratah Timber dari Samarinda, yang merencanakan kongsi. Itupun lantaran sudah sejak lama mengusahakan hutannya secara berkelompok. "Ini pun kalau modal yang diharapkan dari luar berhasil," ujar sumber TEMPO tadi. Upaya untuk menolong mereka ini tampaknya yang masih terus dipikirkan pemerintah. "Kalau kongsi di antara mereka sendiri sulit, pemerintah bisa membuat beberapa grup dengan Inhutani sebagai pemukanya. Kabarnya memang sedang digodok rencana pembentukan PT Pesero Inhutani I, II, III dan seterusnya sebagai induk dari beberapa pengusaha kecil yang memerlukan. Pemerintah sendiri memang tidak akan mundur dengan SKB 3 Menteri tadi. Bahkan dalam konperensi para Menteri Pertanian ASEAN pekan lalu di Jakarta soal pembatasan ekspor kayu bundar ini dibicarakan dan mendapat dukungan dari Muangthai, Malaysia dan Filipina. Selama ini ada kekhawatiran ketiga negara itu membanjiri pasaran kayu bundar setelah Indonesia secara dratis mengurangi ekspornya. "Kami juga sudah mengurangi ekspor log kami," ujar Datuk Abdul Manan Othman, mentri pertanian Malaysia pada TEMPO. "Dan lagi jumlah ekspor kami sangat sedikit dibanding Indonesia," tambahnya. "Konsensus ini sangat menggembirakan," komentar Ir. Soedjarwo, Dirjen Kehutanan pada TEMPO. Belum diketahui bagaimana sikap Singapura dalam konperensi itu. Yang pasti, seperti dikatakan Bob Hassan, Singapura yang semula punya 50-an pabrik pengolahan kayu kini merosot tinggal enam buah yang masih jalan. Dan pekan lalu ada iklan di The Straits Times sebuah pabrik lagi mau dijual. Adakah Indonesia bakal jadi pengekspor kayu lapis terbesar? "Sampai sekarang masih tetap kalah dengan Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Jepang," ujar Rustam Effendi, Dirut PT Kutai Timber Indonesia (KTI). Jumlah produksi kayu lapis Indonesia kini haru sekitar 1 juta m3. Dan 90% masih dijual di dalam negeri. Angka ekspor itu cenderung naik terus. Kalau selama 1979 baru 140 ribu m3, tahun lalu sudah dua kali lipat. Dan selama enam bulan pertama tahun 1981 saja sudah hampir 200 ribu m3. Terbanyak ke Timur Tengah, Hongkong, Inggris dan Singapura. Harganya sekitar US$ 300/m3. "Pasaran di luar negeri masih terbuka lebar," ujar Bob Hassan. Ia tidak khawatir terjadi kejenuhan pasar meskipun akhir 1981 ini produksi nasional bisa mencapai lebih dua juta m3. "Kalau kita bisa ambil 59 saja dari keperluan AS sudah US$ 3 milyar nilai ekspor kita," katanya. Gambaran itulah rupanya yang membuat beberapa perusahaan besar memperluas pabriknya. Bob sendiri pemilik PT Kalimanis Plywood di Selili (Samarinda) membangun dua pabrik plywood lagi di seberangnya dan sebuah pabrik lem untuk memenuhi keperluan ketiga pabriknya kelak. Di pihak lain, angka ekspor kayu bulat meluncur kencang. Kalau tahun 1979 masih 19 juta m3, tahun lalu tinggal 12 juta m3 dan tahun ini diperkirakan tinggal 6 juta m3. Bukan saja banyak pengusaha terkena jurus SKB tapi harga kayu di pasaran internasional memang lagi jelek. Untuk jenis meranti yang pernah laku US$ 180/m3 kini tingal US$ 85/m3.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus