IBARAT balon ditiup jumlah pabrik kayu lapis di Indonesia
menggelembung cepat. "Saat ini ada 70-an pabrik baru sedang
dibangun dan sudah ada 30-an lagi yang mengajukan permohonan,"
ujar Bob Hassan, Ketua Asosiasi Produsen Kayulapis Indonesia
(Apkindo) Pabrik yang sudah beroperasi sampai Maret lalu
tercatat 32 buah.
Memang tidak ada pilihan lain bagi para pemegang HPH kecuali
bergegas membangun pabrik kayu lapis, kalau masih berminat
mengolah areal hutannya. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) 3 Menteri -- Pertanian, Perdagangan, Keuangan -- ekspor
kayu gelondongan hanya bisa dilakukan oleh pemegang HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) yang sudah mendirikan pabrik kayu lapis.
"Sekitar US$ 1 milyar dana yang tertanam di pabrik plywood
ini," ujar Bob yang juga Ketua Asosiasi Produsen Kayu lapis
ASEAN. Barusan dia terpilih lagi jadi ketua Asosiasi Produsen
Kayu lapis Asia. "Bagi Apkindo ini sangat membanggakan karena
dana itu bukan dana pemerintah," tambahnya.
Untuk membangun sebuah pabrik kayu lapis memang memerlukan
modal, sedikitnya US$ 10 juta. Itulah sebabnya, timbul
suara-suara SKB tadi hanya semakin mencekik pengusaha kayu
menengah ke bawah. "Ada 30-an pemegang HPH yang menghentikan
kegiatannya sama sekali dan sekitar 30-an juga yang segera
menyusul," ujar sumber TEMPO di kalangan Masyarakat Perkayuan
Indonesia (MPI).
Pemerintah memang sudah memberi petunjuk agar pengusaha
kecil-kecil itu mendirikan pabrik Plywood dengan sistem kongsi.
Tapi rupanya memang tidak semudah itu. "Apalagi belum ada
jaminan bank bahwa kalau sudah merger bisa mendapat kredit,"
ujar seorang pengusaha dari Kal-Tim. Dalam waktu setahun ini
baru ada satu grup, Ratah Timber dari Samarinda, yang
merencanakan kongsi. Itupun lantaran sudah sejak lama
mengusahakan hutannya secara berkelompok. "Ini pun kalau modal
yang diharapkan dari luar berhasil," ujar sumber TEMPO tadi.
Upaya untuk menolong mereka ini tampaknya yang masih terus
dipikirkan pemerintah. "Kalau kongsi di antara mereka sendiri
sulit, pemerintah bisa membuat beberapa grup dengan Inhutani
sebagai pemukanya. Kabarnya memang sedang digodok rencana
pembentukan PT Pesero Inhutani I, II, III dan seterusnya sebagai
induk dari beberapa pengusaha kecil yang memerlukan.
Pemerintah sendiri memang tidak akan mundur dengan SKB 3 Menteri
tadi. Bahkan dalam konperensi para Menteri Pertanian ASEAN pekan
lalu di Jakarta soal pembatasan ekspor kayu bundar ini
dibicarakan dan mendapat dukungan dari Muangthai, Malaysia dan
Filipina. Selama ini ada kekhawatiran ketiga negara itu
membanjiri pasaran kayu bundar setelah Indonesia secara dratis
mengurangi ekspornya. "Kami juga sudah mengurangi ekspor log
kami," ujar Datuk Abdul Manan Othman, mentri pertanian Malaysia
pada TEMPO. "Dan lagi jumlah ekspor kami sangat sedikit
dibanding Indonesia," tambahnya. "Konsensus ini sangat
menggembirakan," komentar Ir. Soedjarwo, Dirjen Kehutanan pada
TEMPO.
Belum diketahui bagaimana sikap Singapura dalam konperensi itu.
Yang pasti, seperti dikatakan Bob Hassan, Singapura yang semula
punya 50-an pabrik pengolahan kayu kini merosot tinggal enam
buah yang masih jalan. Dan pekan lalu ada iklan di The Straits
Times sebuah pabrik lagi mau dijual.
Adakah Indonesia bakal jadi pengekspor kayu lapis terbesar?
"Sampai sekarang masih tetap kalah dengan Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong dan Jepang," ujar Rustam Effendi, Dirut PT Kutai Timber
Indonesia (KTI). Jumlah produksi kayu lapis Indonesia kini haru
sekitar 1 juta m3. Dan 90% masih dijual di dalam negeri. Angka
ekspor itu cenderung naik terus. Kalau selama 1979 baru 140 ribu
m3, tahun lalu sudah dua kali lipat. Dan selama enam bulan
pertama tahun 1981 saja sudah hampir 200 ribu m3. Terbanyak ke
Timur Tengah, Hongkong, Inggris dan Singapura. Harganya sekitar
US$ 300/m3.
"Pasaran di luar negeri masih terbuka lebar," ujar Bob Hassan.
Ia tidak khawatir terjadi kejenuhan pasar meskipun akhir 1981
ini produksi nasional bisa mencapai lebih dua juta m3. "Kalau
kita bisa ambil 59 saja dari keperluan AS sudah US$ 3 milyar
nilai ekspor kita," katanya.
Gambaran itulah rupanya yang membuat beberapa perusahaan besar
memperluas pabriknya. Bob sendiri pemilik PT Kalimanis Plywood
di Selili (Samarinda) membangun dua pabrik plywood lagi di
seberangnya dan sebuah pabrik lem untuk memenuhi keperluan
ketiga pabriknya kelak.
Di pihak lain, angka ekspor kayu bulat meluncur kencang. Kalau
tahun 1979 masih 19 juta m3, tahun lalu tinggal 12 juta m3 dan
tahun ini diperkirakan tinggal 6 juta m3. Bukan saja banyak
pengusaha terkena jurus SKB tapi harga kayu di pasaran
internasional memang lagi jelek. Untuk jenis meranti yang pernah
laku US$ 180/m3 kini tingal US$ 85/m3.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini