JUAL beli persil-persil tanah seluas 232 ha di perbukitan
Lembang, Bandung, terancam pembatalan kembali. Sebab si penjual
yang mengaku ahli waris Adiwarta, diduga telah memalsukan vonis
Pengadilan Negeri Bandung, dan kemudian memakai vonis palsu itu
untuk dasar penjualan tanah-tanah tersebut. Padahal di tanah itu
kini telah berdiri bangunan-bangunan permanen seperti Kompleks
Seskau (Sekolah Staf Angkatan Udara), pasar, terminal bis,
bahkan kerangka hotel Pertamina, selain dimiliki perseorangan.
Kejaksaan Tinggi Ja-Bar yang mengusut kasus pemalsuan vonis
pengadilan ini, 27 Juli 1981 mengirimkan surat kepada berbagai
instansi di Lembang untuk mengamankan tanah sengketa itu.
Artinya, menurut, Asisten Operasi Kejati Ja-Bar, Soepardjo, agar
tidak terjadi lagi pemindahtanganan tanah-tanah itu. Saat ini
persil-persil tanah itu tercatat atas nama berbagai pembeli. Di
antaranya cukup dikenal seperti Ibnu Sutowo, Dharsono, Ibrahim
Adjie dan instansi-instansi pemerintah.
Dasar penyidikan kejaksaan bermula dari pengaduan Sardi cs yang
mengaku ahli waris sah dari Nyi Urkinah alias Urky, seorang
wanita cantik dari Majalengka yang menjadi peliharaan seorang
pengusaha warga Italia, Muziek Orsone. Bersama dua orang
saudaranya, Orsone, 77 tahun yang lalu mendirikan perusahaan
yang bergerak di bidang peternakan, pertanian dan susu sapi
dengan nama Naamlooze Vennoottsclap Maatschappij Tot
Exploitatie Van Onrerende Goederen Baroe Adjak. Untuk usahanya
itu mereka mendapat tanah dengan hak Eigendom dari pemerintah
Belanda, seluas 108 ha, di Lembang.
Usaha itu berkembang, tetapi Orsone tak dapat memperluas areal
tanahnya, karena orang asing tidak diperkenankan membeli tanah
dari penduduk. Namun kemudian pembelian dilakukan dengan memakai
nama Nyi Urky, untuk tanah seluas 140 ha. Pembelian selanjutnya,
untuk tanah seluas 92 ha, dipakai nama seorang mandor pribumi
yang setia, Adiwarta.
Mandor Susu
Nyi Urky, 34 tahun kemudian jatuh sakit dan dikhawatirkan
meninggal. Orsone tidak kehilangan akal, Nyi Urky disuruh
membuat surat penyerahan tanah kepada Adiwarta, sehingga tanah
seluas 232 ha saat itu sepenuhnya atas nama Adiwarta. Empat
tahun kemudian Nyi Urky meninggal, dengan meninggalkan 3 orang
saudaranya sebagai ahli warisnya Nyi Amasah, Madtasri dan
Madtasik - yang sekarang hanya tinggal keturunan mereka, Sardi
cs.
Perjanjian-perjanjian atas tanah 232 ha pada beberapa puluh
tahun yang lalu itulah yang menjadi sumber kericuhan antara ahli
waris Nyi Urky dengan Adiwarta, yang kemudian dilanjutkan ahli
warisnya. Karena Adiwarta merasa tanah itu haknya. Maka ia tetap
mendudukinya. Sebaliknya, ahli waris Nyi Urky menganggap semua
tanah itu milik Nyi Urky, selaku istri Orsone dan berpendapat,
pembelian sebagian tanah itu atas nama Adiwarta hanya meminjam
sama mandor susu sapi itu saja. Pada Desember 1953, dicapailah
perdamaia di Pengadilan Negeri Bandung dengan sebuah vonis
perdamaian. Isinya, Adiwarta melepaskan haknya atas semua tanah
itu, kecuali 28 ha yang memang diberikan Orsone kepada Adiwarta
sebagai imbalan pemakaian namanya. Adiwarta meninggal tahun
1961.
Vonis perdamaian itu ternyata tidak pernah dinikmati ahli waris
Nyi Urky, karena tidak pernah dilaksanakan Adiwarta maupun ahli
warisnya, begitu dituturkan Sardi. Tinggal di rumah gubuk,
Sardi, 56 tahun, mengaku pernah ditahan selama 5 bulan (tahun
1977) karena dituduh menyerobot tanah ahli waris Adiwarta.
Bahkan ahli-ahli waris Adiwarta pernah menganiayanya, pembacokan
dan diceburkan ke kolam oleh orang-orang yang mengaku ahli
waris, karena dia ngotot menuntut haknya berdasarkan vonis
perdamaian. "Saya merasa kamilah yang berhak atas peninggalan
Nyi Urky, tetapi untuk mengurusnya kami tidak punya uang," ujar
Sardi. Sampai akhirnya, beberapa bulan lalu Sardi dkk mengadukan
ke pengadilan untuk meminta agar vonis palsu itu diusut.
Ahli waris Adiwarta melalui kuasanya, R. Suganda, selain
menggusur keluarga ahli waris Nyi Urky, juga berhasil
mendapatkan vonis no. 990/1953/sipil tertanggal 14 Mei 1958. Isi
vonis itu menyatakan pembatalan vonis perdamaian sebelumnya,
dan mengembalikan semua tanah itu kepada ahli waris Adiwarta.
Berdasarkan vonis itu, R. Suganda bersama salah seorang ahli
waris Adiwarta, Tata Lukita, menjual tanah seluas 232 ha itu ke
berbagai pembeli. Menurtlt Tata Lukita, 5 ha dari tanah itu
dijual kepada Ibnu Sutowo seharga Rp 5 juta, pada 1970. Suganda
juga mengakui pernah menjual tanah itu seluas 7 ha kepada
sekelompok pembeli yang terdiri dari bekas perwira tinggi dan
menengah ABRI antaranya, Dharsono, Satibi Darwis, Kolonel
Subandi, seluruhnya seharga Rp 1,25 juta. Sedang 10 ha lainnya
dijual Suganda kepada Kodak Langlangbuana, dan 2 ha
dihibahkannya kepada Pemda Bandung untuk terminal dan pasar.
"Saya melaksanakan putusan pengadilan, dan melaksanakan
ketentuan yang digariskan pemerintah," ujar Suganda. Jual beli
itu terhenti setelah keluar larangan Pengadilan Negeri Bandung
tahun 1974.
Suganda mengakui, sebagai kuasa yang mengurus keluarnya vonis
yang didituduh palsu itu. Ia yakin vonis itu benar, "dan saya
bertanggung jawab atas itu," ujar Suganda, anggota Pusbadhi
Bandung. Tetapi kalau terbukti vonis itu palsu, "bukan saya yang
dituntut tetapi pengadilan, bukankah saya mendapatkannya dari
pengadilan," kata Suganda lagi. Keyakinan Suganda juga dikuatkan
Tata Lukita, "kami punya bukti otentik tanah itu milik
Adiwarta," kata Lukita.
Namun Suganda dibantah oleh saksi-saksi yang disebut dalam vonis
itu. Hampir semua saksi membantah pernah didengar keterangannya
untuk dasar vonis yang diduga palsu itu. "Saya kaget nama saya
dimasukkan sebagai saksi," ujar Astradipura, bekas Kepala
Inspeksi Agraria Ja-Bar. Kepala Panitera Pengadilan Bandung
tahun 1969-1972, R. Ukun, di pemeriksaan kejaksaan membenarkan
pula vonis itu tidak pernah dikeluarkannya, dan tidak ada berita
acaranya.
Yang kaget bukan hanya saksi, tai juga pembeli. Seorang Letkol
Pensiun, Nurdin (67 tahun) tidak tahu kalau tanah yang dibelinya
dalam sengketa.
Karena murah saya beli saja," ujar Nurdin yang mendapatkan tanah
seluas 1 ha dari Suganda dengan harga Rp 225.000. Hanya Ibrahim
Adjie yang tidak ikut kaget karena ia membeli tanah seluas 38
ha, justru dari Sardi cs. tahun 1961. "Jadi yang saya beli
legal, tidak masuk sengketa, " ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini