Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tanah Warisan Nyi Urky

Tanah seluas 232 ha, dijual dengan dasar vonis pengadilan. Di antara pembelinya terdapat nama-nama beken dan instansi pemerintah. Sekarang vonis itu dituduh palsu. Kejaksaan mengusutnya

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUAL beli persil-persil tanah seluas 232 ha di perbukitan Lembang, Bandung, terancam pembatalan kembali. Sebab si penjual yang mengaku ahli waris Adiwarta, diduga telah memalsukan vonis Pengadilan Negeri Bandung, dan kemudian memakai vonis palsu itu untuk dasar penjualan tanah-tanah tersebut. Padahal di tanah itu kini telah berdiri bangunan-bangunan permanen seperti Kompleks Seskau (Sekolah Staf Angkatan Udara), pasar, terminal bis, bahkan kerangka hotel Pertamina, selain dimiliki perseorangan. Kejaksaan Tinggi Ja-Bar yang mengusut kasus pemalsuan vonis pengadilan ini, 27 Juli 1981 mengirimkan surat kepada berbagai instansi di Lembang untuk mengamankan tanah sengketa itu. Artinya, menurut, Asisten Operasi Kejati Ja-Bar, Soepardjo, agar tidak terjadi lagi pemindahtanganan tanah-tanah itu. Saat ini persil-persil tanah itu tercatat atas nama berbagai pembeli. Di antaranya cukup dikenal seperti Ibnu Sutowo, Dharsono, Ibrahim Adjie dan instansi-instansi pemerintah. Dasar penyidikan kejaksaan bermula dari pengaduan Sardi cs yang mengaku ahli waris sah dari Nyi Urkinah alias Urky, seorang wanita cantik dari Majalengka yang menjadi peliharaan seorang pengusaha warga Italia, Muziek Orsone. Bersama dua orang saudaranya, Orsone, 77 tahun yang lalu mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang peternakan, pertanian dan susu sapi dengan nama Naamlooze Vennoottsclap Maatschappij Tot Exploitatie Van Onrerende Goederen Baroe Adjak. Untuk usahanya itu mereka mendapat tanah dengan hak Eigendom dari pemerintah Belanda, seluas 108 ha, di Lembang. Usaha itu berkembang, tetapi Orsone tak dapat memperluas areal tanahnya, karena orang asing tidak diperkenankan membeli tanah dari penduduk. Namun kemudian pembelian dilakukan dengan memakai nama Nyi Urky, untuk tanah seluas 140 ha. Pembelian selanjutnya, untuk tanah seluas 92 ha, dipakai nama seorang mandor pribumi yang setia, Adiwarta. Mandor Susu Nyi Urky, 34 tahun kemudian jatuh sakit dan dikhawatirkan meninggal. Orsone tidak kehilangan akal, Nyi Urky disuruh membuat surat penyerahan tanah kepada Adiwarta, sehingga tanah seluas 232 ha saat itu sepenuhnya atas nama Adiwarta. Empat tahun kemudian Nyi Urky meninggal, dengan meninggalkan 3 orang saudaranya sebagai ahli warisnya Nyi Amasah, Madtasri dan Madtasik - yang sekarang hanya tinggal keturunan mereka, Sardi cs. Perjanjian-perjanjian atas tanah 232 ha pada beberapa puluh tahun yang lalu itulah yang menjadi sumber kericuhan antara ahli waris Nyi Urky dengan Adiwarta, yang kemudian dilanjutkan ahli warisnya. Karena Adiwarta merasa tanah itu haknya. Maka ia tetap mendudukinya. Sebaliknya, ahli waris Nyi Urky menganggap semua tanah itu milik Nyi Urky, selaku istri Orsone dan berpendapat, pembelian sebagian tanah itu atas nama Adiwarta hanya meminjam sama mandor susu sapi itu saja. Pada Desember 1953, dicapailah perdamaia di Pengadilan Negeri Bandung dengan sebuah vonis perdamaian. Isinya, Adiwarta melepaskan haknya atas semua tanah itu, kecuali 28 ha yang memang diberikan Orsone kepada Adiwarta sebagai imbalan pemakaian namanya. Adiwarta meninggal tahun 1961. Vonis perdamaian itu ternyata tidak pernah dinikmati ahli waris Nyi Urky, karena tidak pernah dilaksanakan Adiwarta maupun ahli warisnya, begitu dituturkan Sardi. Tinggal di rumah gubuk, Sardi, 56 tahun, mengaku pernah ditahan selama 5 bulan (tahun 1977) karena dituduh menyerobot tanah ahli waris Adiwarta. Bahkan ahli-ahli waris Adiwarta pernah menganiayanya, pembacokan dan diceburkan ke kolam oleh orang-orang yang mengaku ahli waris, karena dia ngotot menuntut haknya berdasarkan vonis perdamaian. "Saya merasa kamilah yang berhak atas peninggalan Nyi Urky, tetapi untuk mengurusnya kami tidak punya uang," ujar Sardi. Sampai akhirnya, beberapa bulan lalu Sardi dkk mengadukan ke pengadilan untuk meminta agar vonis palsu itu diusut. Ahli waris Adiwarta melalui kuasanya, R. Suganda, selain menggusur keluarga ahli waris Nyi Urky, juga berhasil mendapatkan vonis no. 990/1953/sipil tertanggal 14 Mei 1958. Isi vonis itu menyatakan pembatalan vonis perdamaian sebelumnya, dan mengembalikan semua tanah itu kepada ahli waris Adiwarta. Berdasarkan vonis itu, R. Suganda bersama salah seorang ahli waris Adiwarta, Tata Lukita, menjual tanah seluas 232 ha itu ke berbagai pembeli. Menurtlt Tata Lukita, 5 ha dari tanah itu dijual kepada Ibnu Sutowo seharga Rp 5 juta, pada 1970. Suganda juga mengakui pernah menjual tanah itu seluas 7 ha kepada sekelompok pembeli yang terdiri dari bekas perwira tinggi dan menengah ABRI antaranya, Dharsono, Satibi Darwis, Kolonel Subandi, seluruhnya seharga Rp 1,25 juta. Sedang 10 ha lainnya dijual Suganda kepada Kodak Langlangbuana, dan 2 ha dihibahkannya kepada Pemda Bandung untuk terminal dan pasar. "Saya melaksanakan putusan pengadilan, dan melaksanakan ketentuan yang digariskan pemerintah," ujar Suganda. Jual beli itu terhenti setelah keluar larangan Pengadilan Negeri Bandung tahun 1974. Suganda mengakui, sebagai kuasa yang mengurus keluarnya vonis yang didituduh palsu itu. Ia yakin vonis itu benar, "dan saya bertanggung jawab atas itu," ujar Suganda, anggota Pusbadhi Bandung. Tetapi kalau terbukti vonis itu palsu, "bukan saya yang dituntut tetapi pengadilan, bukankah saya mendapatkannya dari pengadilan," kata Suganda lagi. Keyakinan Suganda juga dikuatkan Tata Lukita, "kami punya bukti otentik tanah itu milik Adiwarta," kata Lukita. Namun Suganda dibantah oleh saksi-saksi yang disebut dalam vonis itu. Hampir semua saksi membantah pernah didengar keterangannya untuk dasar vonis yang diduga palsu itu. "Saya kaget nama saya dimasukkan sebagai saksi," ujar Astradipura, bekas Kepala Inspeksi Agraria Ja-Bar. Kepala Panitera Pengadilan Bandung tahun 1969-1972, R. Ukun, di pemeriksaan kejaksaan membenarkan pula vonis itu tidak pernah dikeluarkannya, dan tidak ada berita acaranya. Yang kaget bukan hanya saksi, tai juga pembeli. Seorang Letkol Pensiun, Nurdin (67 tahun) tidak tahu kalau tanah yang dibelinya dalam sengketa. Karena murah saya beli saja," ujar Nurdin yang mendapatkan tanah seluas 1 ha dari Suganda dengan harga Rp 225.000. Hanya Ibrahim Adjie yang tidak ikut kaget karena ia membeli tanah seluas 38 ha, justru dari Sardi cs. tahun 1961. "Jadi yang saya beli legal, tidak masuk sengketa, " ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus