Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Liga Para Begundal

Steven Gerrard, yang kalem di lapangan, berubah ganas setelah berpesta di sebuah klub malam. Kelakuan seperti ini khas para bintang sepak bola Inggris.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERHARAP gelar treble, Steven Gerrard kini malah dikepung trouble. Cedera hamstring-nya—salah satu tendon di belakang lutut—membuat dia harus absen dalam beberapa pertandingan. Padahal, dalam waktu bersamaan, di Liga Inggris, penampilan klubnya terus menurun. Pekan lalu, Liverpool mulai disalip Chelsea. Bersamaan dengan itu, dia harus berurusan dengan hukum. Harapan meraih treble—memenangi tiga kejuaraan sepak bola—bagi Liverpool pun di ujung tanduk.

Urusan yang terakhir memang paling berat. Semua gara-gara pesta kemenangan yang dirayakan bersama teman-temannya, akhir Desember lalu. Saat itu, dia baru saja memimpin timnya menggusur Newcastle dengan angka 5-1. Dia juga jadi bintang. Dua gol dibuatnya dalam pertandingan itu. ”Saatnya kita berpesta merayakan kemenangan,” paparnya.

Setelah berpeluh di lapangan, mereka bersantai di klub. Galibnya sebuah perayaan, mereka pun berpesta. Tempatnya di Lounge Inn, sebuah restoran yang kalau malam berubah menjadi ajang ajojing, di kawasan Southport, Liverpool.

Namun, menjelang pagi, tiba-tiba petaka datang. Marcus McGee, pria yang berdinas sebagai disc jockey alias peramu lagu malam itu, tiba-tibaogah memutar lagu yang diminta meja tempat Gerrard kongko. Gerrard dan kawan-kawan tak terima dengan perlakuan itu. Kerusuhan pun terjadi.

Aneh memang. Gerrard adalah orang yang kalem minta ampun. Di lapangan, biarpun jatuh digaprak, paling juga dia hanya meringis, lalu memaafkan orang yang menggasak kakinya. Tapi di klub malam? Lain persoalannya. Dia tak bisa menahan emosi dan bergabung dengan teman-teman satu mejanya.

Bak, buk, crots…! Kepala beradu kepalan. Sebiji gigi loncat dari mulut Marcus McGee. Darah berceceran. Gelas kaca beterbangan. Marcus si deejay melolong minta ampun. Kurang dari sepuluh detik, pertarungan tak seimbang pun usai. Marcus dibopong ke rumah sakit. Hidungnya patah. Empat jahitan mampir di wajahnya. Sedangkan Gerrard dan begundal lainnya dikirim ke kantor polisi.

Meski pagi harinya boleh pulang, Gerrard tampaknya akan menempuh perjalanan panjang: dia harus mengikuti persidangan. Dia pun diancam kurungan lima tahun.

Vonis memang belum turun. Persidangan masih berlanjut. Tapi, kalah atau menang di meja hijau, proses yang makan waktu itu akan mempengaruhi penampilannya di lapangan hijau. Apalagi kini Liverpool sangat membutuhkan kehadirannya di lapangan.

Inilah wajah lain sepak bola Inggris, liga paling keras dan termahal di planet ini. Peristiwa pemain berkelahi di luar lapangan bukanlah cerita baru. Bila ditelisik sebabnya, pasti berhulu pada pesta di klub malam. Bagi orang Inggris, datang ke klub malam tanpa menenggak minuman beralkohol tentulah aneh. Bila sudah ”high”, emosi pun cepat terpancing.

Klub malam adalah tempat favorit pemain sepak bola di sana. Mereka bisa melempar jauh-jauh stres yang mencengkeram. Sayangnya, justru di klub malam ini masalah bisa datang. Bintang dari Amerika Latin, misalnya, banyak yang terjerembap di kehidupan malam.

Adriano, Ronaldo, dan Ronaldinho memiliki masa depan yang suram karena kebanyakan berpesta. Mereka kadang lupa akan datangnya siang dan berlatih. Mereka malah asyik menghabiskan waktu di sana. Adapun pemain Inggris sering lupa diri dan berujung dengan perkelahian. Akibatnya sama saja: karier mereka terancam.

Dalam kasus di Lounge Inn, Gerrard memang belum terbukti bersalah. Namun kejadian seperti ini bukanlah yang pertama. Bila dikumpulkan, mereka yang kerap membuat masalah bisa digabungkan untuk memperkuat klub: Bad Boys United—liga para begundal.

Siapa saja mereka? Ini sedikit dari mereka. Pada 2002, John Terry bersama pemain Chelsea lainnya, Jody Morris, harus memakai jas untuk bolak-balik ke pengadilan. Di depan hakim, mereka harus mempertanggungjawabkan perkelahian di sebuah klub malam. Beruntung, mereka dinyatakan bebas.

Jody Morris memang biang kerok. Sebelum kejadian itu, dia kerap berurusan dengan polisi. Setahun sebelumnya, dalam keadaan mabuk dia memukuli turis asal Amerika Serikat. Kemudian dia kena pasal pelecehan seksual. Pada 2006, kariernya di sepak bola tamat. Dia masuk penjara dua tahun.

Pemain lain sama saja. Jonathan Woodgate masuk bui gara-gara kelakuannya menghajar mahasiswa Asia, Sarfraz Najeib, di sebuah jalan di Leeds.

Mau yang lebih brutal? Sebutlah nama Joey Barton. Penggemar sepak bola se-Inggris akan mengangguk setuju. Kelakuan Barton ini memang sulit dipercaya. Dalam keadaan mabuk berat, dia memukuli seorang remaja tanpa alasan jelas. Ganjarannya: penjara setengah tahun.

Keberingasan mereka tentu saja berbeda dengan yang dilakukan Eric Cantona, Roy Keane, atau Wayne Rooney, yang memang bisa langsung menyala bila diganggu. Cantona benar-benar kehilangan kendali saat menendang pendukung lawan yang mengejeknya.

Roy Keane punya kebiasaan membuat masalah di lapangan. Begitu pula Wayne Rooney, yang pada awal penampilannya begitu temperamental. Sedangkan mereka yang terlibat perkelahian di bar atau klub malam selalu dipicu alkohol.

Lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan Stevi G? Bukankah selama ini dia dikenal sebagai family man? Sosok idola remaja Inggris yang ingin menjadi pemain sepak bola profesional?

Tentu saja banyak yang membela Gerrard. Salah satunya bekas bintang Liverpool, Kenny Dalglish, yang malam itu bertemu dengan Gerrard. ”Dia bertanya tentang kesehatan istri saya,” katanya. Istri Dalglish memang tengah berjuang melawan kanker yang menggerogoti tubuh.

Di mata Dalglish, kapten Liverpool itu sama sekali tidak mabuk. Wajahnya ceria sekali dan dia banyak memberikan tanda tangan kepada pengunjung lain. ”Juga berfoto bersama,” kata seorang pengunjung. Pelayan bar, Eve Watts, malah gembira tak kepalang. Hari itu dia diberi hadiah champagne. Kebetulan dia tengah berulang tahun ke-35. Seperti biasa, Gerrard menjadi sosok pria menyenangkan.

Kalaulah kemudian dia diangkut ke pos polisi, menurut harian The Sun, itu semua terjadi karena sang disc jockey yang menyulut kemarahan Gerrard. ”Dia mendorong dada Gerrard. Secara refleks, Gerrard membalas dengan menyikutnya,” kata saksi mata yang dikutip harian itu.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus