Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perempuan-perempuan Modis <font color=#FF0099>Mao</font>

Pada zaman Mao, rambut perempuan yang panjang harus digulung dan disembunyikan di balik topi. Kini pelukis Qi Zhilong di Galeri Nasional, Jakarta, menampilkan potret-potret perempuan cantik, modis, dan masih dalam seragam ala Mao.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARAS ayu itu langsung saja melesak dalam ingatan. Seorang gadis berkepang dua, matanya hitam bulat, tajam menusuk. Hidungnya bangir, bibirnya mungil. Kesempurnaan khas gadis Tiongkok yang polos dan lugu itulah yang terangkum dalam lukisan perupa Cina, Qi Zhilong, bertajuk China Beauty itu.

Lukisan bertarikh 2009 ini sangat menarik bila kita menoleh kembali pada kisah sukses pelukisnya, Qi Zhilong. Perupa 47 tahun kelahiran pedalaman Mongolia ini terkenal dalam kancah seni rupa internasional berkat serial lukisan Gadis dalam Seragam Mao. Seri lukisan ini mengangkat nama perupa lulusan China Central Academy of Fine Arts Beijing tersebut dalam jajaran perupa bergenre Political Pop pada 1995.

Ia selalu menggambar serangkaian potret gadis dalam berbagai pose, semuanya ayu seperti pada lukisan China Beauty. Namun belakangan ini ia berubah: gadis dalam lukisannya tak lagi mengenakan seragam dan topi cokelat kumuh, khas era Revolusi Kebudayaan. Semua aksesori Mao itu ia tanggalkan. ”Saya jenuh bicara tentang politik,” ucapnya kepada Tempo sebelum pembukaan pameran tunggalnya di Galeri Nasional, Jakarta, pertengahan pekan lalu.

Era ketegangan politik dan konsumerialisme bukan lagi sebuah isu yang menarik baginya. Ayah satu anak ini rupanya justru terobsesi pada kepolosan. Cina Daratan saat ini tentulah berbeda dengan masa kanak-kanaknya. Ia bercerita tentang seks yang masih tabu dibicarakan di antara anak berusia 20 tahun. ”Sekarang anak usia 16 tahun pun sudah bicara tentang urusan ranjang,” keluhnya sembari terkekeh.

Maka tiga lukisan terbarunya merupakan harapannya akan keluguan masa lalu. Wajah-wajah lugu dengan tatapan polos. Model yang ia gunakan sebagai obyek lukisan pun dipilih dengan cermat. Ia hanya memilih gadis yang baru menginjak bangku kuliah. ”Kalau sudah tingkat III, pikirannya sudah tidak lugu lagi,” tambahnya terbahak.

Tiga belas lukisan yang dipamerkan di Jakarta kali ini merupakan campuran antara lukisan terbarunya dan beberapa dari seri Gadis Mao. Menurut kurator pameran Jim Supangkat dalam katalog, lukisan Zhilong tidak memperlihatkan loncatan perubahan yang besar. ”Perkembangan lukisannya menampilkan pergeseran-pergeseran subtil,” tulisnya. Sampai 2005, ia masih melukis perempuan cantik dalam seragam Mao. Baru dalam pameran bersama di Beijing pada 2008, ia menanggalkan aksesori Mao.

Qi Zhilong ditemukan oleh kurator terkenal Cina, Li Xianting, pada 1992. Zhilong saat itu tengah berkarya di desa artis Yuan Ming Yuan, melukis wanita cantik dalam busana renang. Zhilong pun berhasil memikat mata dunia melalui seri lukisan penuh warna Consumer Icon. Gadis-gadis dalam balutan pakaian renang seksi, bersanding dengan ikon-ikon budaya pop 1970-an semacam Marilyn Monroe. Sayang, seri lukisan ini tak muncul dalam pameran di Jakarta.

Seri lukisan ini rupanya membuat Zhilong tak puas. Ia menginginkan sesuatu yang lebih mendalam. Lantas ia pun beralih pada hal-hal berbau militer. Saat ia muda, terlibat dalam dunia militer merupakan sebuah kebanggaan. Mereka yang tergabung dalam kemiliteran menjadi kehormatan keluarga dan memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi. Pada saat itu pula, militer menjadi sesuatu yang trendi di antara anak muda. Meski tak banyak anak muda dapat bergabung, tren menggunakan pakaian hijau militer dan tas sekolah berwarna sama justru melanda. ”Seragam militer memberikan kesan keberanian, pengorbanan, dan keadilan,” tuturnya.

Sebuah memori paling berkesan adalah saat ia mengantar kakak perempuannya menjadi ”Anak Negara”. Kala itu, para pemuda ditempatkan oleh pemerintah Cina di tempat-tempat terpencil sebagai agen pembangunan. ”Mereka berangkat dengan seragam hijau dan topi. Tak ada yang menangis, karena semua demi kejayaan negara,” katanya. Momen itu menjadi sebuah perasaan campur aduk bagi Zhilong, karena pada masa itu pula, sentralisasi kekuasaan mencapai puncaknya. Seragam militer bagi Zhilong menjadi simbol kontrol ideologi, walau Cina memasuki era konsumerisme. ”Sosok wanita dalam seri lukisan Seragam Mao menunjukkan ironi itu,” katanya menegaskan.

Pada zaman Mao, wanita tak bisa menunjukkan femininitasnya. Rambut dipotong di atas telinga, supaya tak terlihat perbedaan lelaki dan perempuan. Kosmetik dan penonjolan kecantikan bukanlah bagian dari revolusi. Namun, dalam gambaran Zhilong, para wanita memancarkan kecantikan fisikal yang mumpuni, terutama pada kepang rambutnya. Sebuah hal yang terlarang pada masa itu.

Namun pesan utama di balik seri lukisan ini mungkin terletak pada kontradiksi realitas Tiongkok kini. Masa-masa romantisme Revolusi Kebudayaan berhadapan langsung dengan dampak kebijakan ”pintu terbuka” yang diterapkan Deng Xiaoping. Inilah cerita tentang bagaimana kebijakan sosialisme Cina merangkum kapitalisme Barat dan mengakibatkan gegar budaya.

Sekilas memandang lukisan potret Zhilong terkesan datar dan sangat realis. Namun wajah-wajah ayu dari suku Han—suku terbesar dalam komunitas Cina Daratan—dalam lukisannya ternyata digambar melalui proses yang panjang. Wajah para model itu ternyata di-touch up sehingga lebih baik daripada aslinya. Ia melukis mata yang lebih bundar, hidung yang lebih bangir, dan bibir yang lebih tebal. Tentu atas seizin sang empunya wajah. ”Mereka malah senang,” ujarnya terkekeh. Semua atas nama kesempurnaan.

Namun ada satu wajah dalam pameran kali ini yang ”tidak pada tempatnya”. Wajahnya bundar, tak seperti model lain yang berbentuk oval. Matanya sipit, hidungnya tak mancung, dan bibirnya biasa saja. Giginya bahkan terlihat tak rata. Hanya satu yang membuat wajah ini menarik, lesung pipit yang terukir di pipi, tatkala sang pemilik wajah tersenyum lebar.

Lukisan ini kesayangan Zhilong. Ia sengaja tak melakukan touch up pada karya ini demi sebuah citra. ”Karakter yang muncul dari wajah khas Revolusi Kebudayaan,” ujarnya. Meski bertarikh 2006, wajah ini mengingatkan Zhilong pada kenangan masa kecilnya di era 1960-an. Sosok wajah ini memang terasa kuat di antara yang lain. Kepolosan dan keluguan masa lalu.

Sita Planasari Aquadini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus