Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Lintasan Hidup Si Pemuja Tintin

Cadel Evans menjadi juara Tour de France tertua sejak Perang Dunia II berakhir. Arogan di lintasan, dermawan di lapangan kemanusiaan.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak pernik menghiasi kamarnya di Stabio, desa kecil di Swiss yang berbatasan dengan Italia. Hanya ada gambar Tintin bersepeda. ”Dia satu-satunya penunggang sepeda yang menghiasi dinding kamar saya,” ujar Cadel Evans tentang tokoh komik ciptaan seniman Belgia, Herge, itu.

Hidup bersama Tintin—yang dikenalnya pertama kali lewat bacaan di perpustakaan sekolah saat kecil—membuat pembalap sepeda asal Australia ini tetap memiliki semangat muda. Ahad dua pekan lalu, Evans memenangi Tour de France pada usia 34 tahun 5 bulan, umur tertua untuk seorang juara sejak Perang Dunia II berakhir.

Setelah dia cuma menjadi runner-up dua tahun berturut-turut, pada 2007 dan 2008, serta ditimpa kegagalan beruntun pada 2009 dan 2010, sukses itu datang tahun ini. ”Saya memimpikan gelar ini sejak 20 tahun lalu,” katanya. Dalam 108 tahun sejarah Tour de France,­ Evans satu-satunya juara tur paling bergengsi sedunia itu yang bukan berasal dari Eropa atau Amerika.

Melewati 23 hari dengan menempuh jarak 3.430 kilometer, yang menghubungkan kelokan, lintasan datar, dan tanjakan Pegunungan Alpen di antara Prancis dan Italia, pembalap dari BMC Racing Team ini menjadi yang tercepat, menyisihkan ratusan penggenjot kereta angin pesaingnya. Evans dinaungi keberuntungan dengan terjadinya beberapa kali kecelakaan yang menghambat pesaing-pesaing utamanya, termasuk Alberto Contador, sang juara tiga kali (2007, 2009, dan 2010).

Dari 21 etape, Evans cuma memenangi etape keempat, yaitu saat beradu cepat di jalur datar pada jarak 172,5 kilometer di daerah Lorient dan Mur de Bretagne. Pria bertinggi badan 174 sentimeter ini masuk garis akhir hampir sejajar dengan Contador. Kepastian pemenang harus ditentukan lewat foto garis finish.

Evans tak pernah menjadi yang tercepat dalam satu stage, tapi stabil menjaga kecepatan di urutan kedua atau ketiga. ”Ini kemenangan untuk seorang pembalap yang berkemampuan lengkap,” kata direktur lomba, Christian Prudhomme, memuji konsistensi hasil yang dicapai Evans di jalur datar, tanjakan, dan sesi time trial.

Kepastian juara Evans ditentukan pada stage ke-20, di lintasan individual time trial, saat pembalap harus melaju sendirian. Pada etape berjarak 42,5 kilometer di Grenoble ini, pemenang ditentukan kemampuan pembalap mengalahkan diri sendiri karena harus bertarung melawan stopwatch.

Lagi-lagi Evans tidak menjadi yang tercepat. Dia cuma berada di urutan kedua. Pemenangnya pembalap muda Jerman, Tony Martin, dengan waktu tempuh 55 menit 33 detik, lebih cepat tujuh detik daripada Evans.

Meski begitu, Evans berhak atas ­yellow jersey, rompi kuning tanda pemimpin klasemen umum. Pasalnya, pemakai yellow jersey sebelumnya, Andy Schleck, pembalap asal Luksemburg dari tim Leopard Trex, terpaut waktu jauh saat time trial. Dari peringkat ketiga, Evans menyodok ke nomor satu.

Etape terakhir, stage ke-21, tak banyak berpengaruh karena lebih bersifat babak seremonial. Evans menjadi juara Tour de France cuma dengan bekal mengenakan rompi kuning satu etape terakhir. Ini berbeda dengan Contador saat memenangi tiga kali kejuaraan dan ­Lance Armstrong dalam tujuh kejuaraan berturut-turut (1999-2005). Keduanya menjadi juara secara dominan, mengenakan yellow jersey di banyak etape.

Pada 2008, Evans diunggulkan banyak pengamat, termasuk bursa rumah judi. Faktanya, pria yang suka memasak ini memang sempat mengenakan yellow jersey dalam tiga etape. Tapi, akibat berpesta sampanye terlalu larut, dia gagal mempertahankan rompinya di tujuh stage terakhir.

Yang terjadi kali ini kebalikannya. Bursa rumah judi justru tak mengunggulkannya pada awal kompetisi. ”Mereka semua salah,” kata sang ayah, Paul. ”Siapa pun yang mengenal Cadel pasti mengunggulkannya.”

Menurut Paul, Evans mengunjunginya di Australia, November tahun lalu, meminta restu untuk menghadapi Tour de France. Paul melihat tekad bulat Evans ingin menorehkan gelar tur utama pertama dalam kariernya setelah merebut trofi juara dunia di La Fleche Wallonne, Belgia, pada 2009.

Evans adalah putra Paul dari perkawinannya dengan Helen Cocks. Dia lahir di desa kecil bernama Katherine, Northern Territory, Australia, 14 Februari 1977. Ayah-ibunya bercerai saat usianya masih di bawah lima tahun. Pada usia delapan tahun, Evans mengalami koma beberapa hari karena tertendang kuda peliharaan keluarga sang ibu. Ajaib, dia bisa sembuh total cuma dalam tempo sebulan.

Kegemarannya akan sepeda tumbuh sejak dia kecil. David Martin, peneliti dari Australia Institute of Sport, menguji ketahanan fisik Evans remaja. ”Saya belum pernah melihat kapasitas aerobik yang demikian dahsyat pada anak seusianya,” kata Martin. Di nomor sepeda gunung, Evans adalah pemegang gelar juara dunia 1998 dan 1999. Dia baru pindah ke road cycling pada 2001, saat berusia 24 tahun.

Masa kecil Evans berada di lingkungan komunitas Aborigin. ”Saya mengenal televisi baru menjelang remaja,” ujarnya. Kedekatannya dengan suku asli Australia itu menumbuhkan sifat sensitif terhadap penindasan kaum minoritas. Aborigin adalah suku yang terpinggirkan oleh kedatangan orang kulit putih.

Pergaulan masa kecil itu berkelindan dengan pengalamannya membaca Tintin, komik yang terbit pertama kali pada 1929. Setelah membaca petualangan Tintin ke Tibet, Evans antusias mempelajari Tibet. Dia menemukan adanya penindasan terhadap Tibet oleh pemerintah Cina.

Ketika mengenakan yellow jersey pada Tour de France 2008, dia membuka rompi itu pada salah satu etape. Ternyata penggemar musik klasik ini mengenakan kaus bergambar bendera Tibet. ”Saya ingin menarik perhatian dunia bahwa ada penindasan di Tibet. Saya tak ingin kasus Aborigin terjadi di tempat lain.”

Rompi pelangi tanda gelar kejuaraan La Fleche Wallonne 2010 dia lelang di eBay. Uangnya untuk membiayai yayasan pendidikan di Kathmandu, Nepal. Uang hadiah sebagai pemegang penghargaan atlet terbaik Australia 2010 dari salah satu media dia bagikan ke beberapa yayasan. Istrinya, Chiara Passerini, pianis klasik asal Italia, terlibat dalam semua kegiatan amalnya.

Sifat dermawannya itu seperti berseberangan dengan perangainya yang tertutup. Evans hampir tak memiliki teman akrab di lintasan lomba. Fisioterapisnya di tim BMC, David Bombeke, pun mengaku tak bisa dekat dengan sang juara. ”Dia terbiasa terpisah,” kata Bombeke.

Sifat ini menimbulkan banyak masalah sebelum dia bergabung dengan BMC, tim yang berbasis di Swiss, pada 2009. Itu ditambah dengan sifat pemberangnya: menendang sepeda motor polisi pada Tour de France 2008, meninggalkan sesi wawancara, dan tak mengindahkan instruksi tim.

Di bawah Direktur BMC John Lelangue, sifat itu berubah. Rekan-rekan setimnya juga bisa memahami sifat tertutupnya. ”Itu karena Cadel sangat profesional. Dia mencurahkan seratus persen yang dimilikinya saat lomba. Di luar itu, dia tak mau menjadi seorang selebritas,” kata rekan setimnya, George­ Hincapie.

Berkat strategi yang tepat, Hincapie sukses mengomando keenam pembalap lain anggota BMC untuk mengamankan posisi Evans di setiap stage. Dulu Hincapie terlibat dalam sebagian besar strategi ketika Armstrong memenangi tujuh kali gelar Tour de France.

Menurut Lelangue, kerja keras adalah kunci Evans. ”Cadel selalu berlatih bak seorang pemula,” katanya. Ini hasil didikan Aldo Sassi, pelatih asal Italia yang membimbing Evans sejak pertama kali menekuni road cycling. Sassi kerap berkampanye antidoping. Faktanya, sejauh ini tak secuil pun kasus doping melibatkan Evans. Ini berbeda dengan Armstrong dan Contador.

Di podium juara di Champs-Elysees, Paris, Evans mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Sassi, yang sudah meninggal Desember tahun lalu akibat kanker otak. Juga, ”Untuk pelatih saya sekarang, tukang pijat, fisioterapis, dokter bedah, pengibar bendera Australia, kanguru-kanguru, koala-koala, para penjaga pantai, dan penyelamat buaya Australia, saya harap Anda bergembira seperti saya.”

Andy Marhaendra (AFP, The Age, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus