Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Birgit Prinz memang bukan pemain biasa. Penyerang Jerman ini berhasil membawa tim nasional Jerman menjuarai Piala Dunia di Amerika Serikat empat tahun silam. Saat itu, pemain yang tingginya 179 sentimeter ini sekaligus juga menjadi pemain terbaik dan pencetak gol terbanyak. Selama tiga tahun, ia menjadi pemain terbaik sejagat versi federasi sepak bola dunia (FIFA).
Hari Minggu lalu, di Shanghai, Cina, pemain FFC Frankfurt berusia 29 tahun ini kembali membuktikan bahwa dia memang masih yang terbaik. Golnya menjadi pembuka jalan bagi Jerman untuk jadi pemenang dalam Piala Dunia dua kali berturut-turut. Jerman berhasil mengandaskan perlawanan Brasil 2-0. Prinz juga ”mengalahkan” pesaingnya, Marta, penyerang Brasil yang juga pemain terbaik dunia 2006. Marta bahkan gagal menjebol gawang Jerman dari titik putih.
Pertandingan final Minggu itu mengakhiri perhelatan Piala Dunia Wanita yang kelima. Sepanjang sejarahnya, hanya tiga tim yang pernah menjadi kampiun dunia, yakni Jerman (2003, 2007), Amerika Serikat (1991, 1999), dan Norwegia (1995). Tahun ini pun, dominasi ketiga tim itu masih belum tergoyahkan. Ketiganya masuk dalam semifinal, ditambah Brasil.
Bukan hanya itu. Banyak pertandingan menunjukkan kekuatan yang berat sebelah. Jerman, misalnya, membantai Argentina 11-0. Tim Amerika Latin itu juga harus kalah 1-6 dari Inggris. Di pertandingan lain, Norwegia menggulung Ghana 7-2. Kondisi itu membuat Presiden FIFA, Sepp Blatter, sungguh kecewa dengan hasil seperti itu. ”Sungguh saya sangat tidak menyukai skor itu,” kata Blatter.
Toh, sepak bola wanita harus tetap berkembang. Itulah yang diinginkan FIFA. Upaya memajukan sepak bola wanita ini dimulai ketika Presiden FIFA saat itu, yakni Joao Havelange asal Brasil, menginginkan agar perempuan juga bisa bertanding sepak bola.
Langkah dimulai di Cina. Pada 1991 mulai digelar Piala Dunia khusus wanita. Dampaknya mulai kelihatan. Olahraga ini mulai berkembang pesat. Di beberapa negara, Inggris dan Amerika Serikat, misalnya, telah memiliki Liga Sepak Bola Wanita.
Di AS, jumlah pemain sepak bola wanita mencapai 6 juta orang. Di berbagai kampus terdapat 600-an tim dengan jumlah pemain sekitar 12 ribu orang. Di sana, status pemainnya pun semiprofesional. Itu sebabnya, mereka tampil menjadi tim yang kuat. Sebelum dikalahkan Brasil, Amerika belum pernah kalah dalam 51 pertandingan.
Para pemain di Amerika Serikat pun lebih beruntung. Mereka mendapatkan gaji. Mereka juga bisa ngetop seperti Mia Hamm—kini ibu dari anak kembar. Rezeki sudah pasti akan merubung. Pemain legendaris negeri itu pernah berlimpah rezeki sebagai bintang iklan minuman olahraga.
Di Inggris, perkembangannya lumayan. Klub-klub sepak bola membentuk klub wanita. Kini, sejak 1993 tercatat sudah ada 80 klub. Pengaruh film Bend It Like Beckham pada 2002 ikut mendongkrak popularitas olahraga di negara yang pernah melarang sepak bola dimainkan oleh wanita ini.
Hanya, di belahan dunia lainnya, masih terseok-seok. Australia dan Belanda kabarnya baru tahun depan akan memutar kompetisi sepak bola wanita. ”Ini proyek Ambisius, tapi saya yakin Belanda akan lolos ke Piala Eropa 2009 kelak,” kata Henk Kessler, ketua departemen sepak bola wanita Belanda.
Tahun ini, FIFA benar-benar menggeber habis. Jumlah hadiah dinaikkan. Juara mendapatkan duit sebesar US$ 1 juta (Rp 9,2 miliar) dan urutan kedua diganjar US$ 800 ribu (Rp 7,4 miliar). Tim yang masuk ke putaran final saja sudah bisa membawa uang US$ 200 ribu (Rp 1,84 miliar) sebagai appearance fee.
Piala Dunia di Cina juga menunjukkan perkembangan yang lumayan. Jumlah penonton jauh lebih besar ketimbang penyelenggaraan di Amerika Serikat. Di Negeri Abang Sam itu, jumlah penonton ketika itu mencapai 656.789 atau rata-rata 20.525 per pertandingan. Di Cina, jumlah penonton meningkat hampir dua kali lipat, yakni 1.125.955 (rata-rata 36.321 per pertandingan).
Di masa datang, FIFA bertekad terus menyelenggarakan kejuaraan seperti ini kendati minim sponsor dan liputan media. Kini, jumlah pemain wanita di 100 negara sudah mencapai 20 juta. Dalam perkiraan FIFA, tiga tahun lagi, jumlah pemain sepak bola antara pria dan wanita akan sama.
Namun, sebelum sampai ke sana, banyak persoalan yang menghadang. Peta kekuatan yang berat sebelah mungkin akan jadi pekerjaan rumah yang berat di masa datang. Berbeda dengan pesepak bola pria yang hampir semuanya pemain profesional, sebagian besar pemain wanita kebanyakan amatir.
Di sejumlah tim nasional, bahkan termasuk di Norwegia yang sepak bola wanitanya sudah maju, pemainnya kebanyakan memiliki berbagai pekerjaan tetap seperti konsultan pemasaran, ibu rumah tangga, guru, mahasiswi, petugas customer service, pemandu wisata, bahkan juga pengangguran.
Gelandang tim nasional Inggris, Vicky Exley, misalnya, adalah seorang pegawai kantor pos setempat. Meskipun dia bermain di klub setempat Doncaster Rover Belles, dia masih harus bekerja di kantor pos untuk menghidupi dirinya. Padahal, dia sudah bermain lebih dari 50 kali untuk tim nasional Inggris.
Di kubu Norwegia, ada Bente Nordby, Camilla Huse, dan Lene Storlokken. Ketiganya bekerja sebagai guru. Solveig Gulbrandsen adalah seorang konsultan pemasaran. Lalu ada juga yang berprofesi sebagai pengacara. Sepak bola di banyak negara memang belum bisa menjadi gantungan hidup.
Kondisi ini jelas jauh berbeda dengan dunia sepak bola pria. Gelandang Liverpool dan tim nasional Inggris, Steven Gerrard, misalnya, menerima 100 ribu pound sterling setiap pekan. Pendapatan Exley sebagai pegawai pos setahun pun tak akan mampu menyaingi gaji Gerrard selama seminggu.
Selain itu, dukungan penonton, sponsor, dan media juga masih rendah. Karena itu, yang harus dilakukan adalah menggenjot popularitas sepak bola wanita. Salah satunya, tentu dengan membuat pertandingan mereka menarik untuk ditonton. Dengan penonton yang terbatas, sulit bagi sepak bola wanita untuk menggaet sponsor dan liputan media sebagaimana yang diperoleh tim-tim pria.
Real Madrid, misalnya, mendapatkan US$ 100 juta (Rp 920 miliar) dari BenQ-Siemens atau Manchester United mengantongi 56 juta pound sterling (hampir Rp 1 triliun) dari AIG untuk kaos. Lihat juga Piala Dunia di Jerman tahun lalu. Peserta mengantongi uang penampilan US$ 4,6 juta (Rp 42 miliar) dan sang juara mendapatkan US$ 18,75 juta (Rp 172,5 miliar). Piala Dunia Wanita di Cina jelas tak ada apa-apanya.
Glenn Moore dari harian The Independent mengatakan, kondisi itu dapat diubah dengan jalan mengajak para pemilik klub pria. ”Kelemahan keuangan klub wanita ini salah satunya tergantung dari keinginan baik dari klub laki-laki. Itu problemnya,” katanya. Dia menawarkan agar kedua pihak mencari solusi dengan membuat program bersama.
Meskipun banyak pihak sibuk membicarakan mereka, para pemain ini enjoy aja. Kebanyakan dari mereka memang hobi bermain sepak bola. Para wanita yang bermain di Cina itu juga kurang menggubris soal uang. Bagi mereka, tampil di Piala Dunia saja sudah cukup. Paling tidak itu yang dialami pemain dari Australia.
Paling tidak, saat tampil di Piala Dunia, dompet para pemain sudah gemuk. Matilda julukan bagi klub ini saat berangkat sudah mendapatkan uang sebesar 30 persen dari kehadirannya di China. Melaju hingga perempat final, yang kemudian kandas di tangan Brasil 2-3, mereka sudah mendapatkan tambahan uang US$ 300 ribu.
Pada akhirnya, hanya ada satu juara. Kesedihan memang tak bisa dihalau. ”Ini merupakan perjuangan yang telah kami lakukan selama bertahun-tahun. Kami berharap di masa datang kami bisa tampil lebih baik lagi,” kata Lauren Colthorpe, pemain Australia.
Kini, mereka semua harus kembali ke dunia nyata. ”Saya akan mengambil lisensi pilot. Tahun depan harus sudah selesai,” kata Thea Slatyer, 24 tahun, pemain belakang Matilda. Di luar kesenangannya itu, dia masih punya kegiatan lain. ”Aku seorang disc jockey untuk pesta privat,” kata Slatyer.
Para pemain Inggris pun berkemas meninggalkan Cina. Selepas tangisan, wajah mereka kembali berseri. Perjalanan panjang menempuh ribuan kilometer usai sudah. Tak ada lagi yang perlu disesali. Mereka telah mendapatkan pengganti selama liburan dari pekerjaan, hadiah dari sponsor, ponsel baru, dan barang-barang lainnya.
MTQ, Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo