Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=verdana size=1><B>Mustofa Bisri:</B></font><br />Lebaran itu Haknya Allah, Kok Diributkan

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lengannya cepat-cepat ditarik setiap kali ada lawan bicara berusaha menjemba tangannya untuk dicium. Tampaknya dia jengah dengan tradisi mencium tangan para kiai. Di daftar riwayat hidupnya, tertera pekerjaan sebagai penulis. Padahal, kalau mau, dia bisa menyebut ”Pengasuh Pondok Pesantren”, ”Rais Syuriah PB NU”, atau atribut bergengsi lain.

Jadwalnya selalu padat, dia kerap bepergian. Tapi, di bulan Ramadan, Ahmad Mustofa Bisri menjadi mudah ditemui. Datang saja ke Kompleks Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin atau Taman Pelajar di Rembang, Jawa Tengah. Pasti Gus Mus—begitu dia biasa disapa—ada di sana. Sejak kakaknya, Cholil Bisri, wafat, dialah yang menjadi pengasuh pondok peninggalan orang tua mereka. ”Selama 11 bulan saya kerap meninggalkan rumah. Kini giliran satu bulan bersama keluarga di rumah,” begitu dalihnya menampik berbagai undangan berceramah dan sebagainya.

Supel dan hangat, Mustofa Bisri mudah bergaul dengan siapa saja. Kehidupan sosialnya, yang luas dan kaya, terbaca dengan mudah. Ketika dia menikahkan anaknya pada Agustus lalu, misalnya, tamu mengalir dari mana-mana, tanpa mengenal kelas, suku, agama.

Kiai Bisri adalah teman berbincang yang asyik. Tutur katanya lembut—nyaris tanpa tekanan, bahkan saat menyampaikan soal yang tidak ia sukai. Asap rokok nyaris tidak berhenti mengepul dari mulutnya saat dia memberikan wawancara. Rokok kretek sigaret dan kretek filter bergantian dia isap melalui sebuah pipa gading cokelat. ”Saya sedang banyak keinginan. Mau nulis buku, bikin novel, cerpen, dan juga merampungkan 50 tulisan dalam satu tema, tapi baru selesai lima,” ujarnya. Produktivitasnya dalam menulis, baik sastra maupun buku agama, sulit ditandingi kiai lain.

Di ruang tamu rumahnya, dihiasi hamparan karpet hijau tanpa perabot, Gus Mus menerima Imron Rosyid dan Rofiuddin dari Tempo pada Jumat malam pekan lalu. Sembari lesehan, dia menjelaskan keberagaman beragama, termasuk dalam hal merayakan Idul Fitri. Ditemani secangkir kopi lelet dan beragam kue suguhan santrinya, waktu dua jam terasa cepat berlalu.

Berikut ini nukilannya.

Bagaimana Anda melihat perbedaan penetapan Idul Fitri tahun ini?

Akar masalahnya adalah negara kita bukan negara agama, bukan pula negara sekuler. Jadi pemerintah bingung, he-he-he…. Menurut pakemnya, yang berwenang menetapkan Lebaran adalah pemerintah. Dulu zaman Nabi ndak sulit-sulit, cah angon lapor lihat bulan, Nabi hanya tanya, ”Kamu syahadat tidak?” ”Ya, saya syahadat.” Sudah gitu saja. Nabi kemudian bilang kepada bilal untuk diumumkan. Jadi ndak disumpah atau pakai teropong. Jadi, kalau pemerintah sudah menetapkan, itu sudah cukup. Cuma pemerintah itu ingin harmoni, menenggang perasaan, minta pendapat segala, bagaimana organisasi-organisasi Islam. Ndak usah begitu.

Jadi sebaiknya ormas-ormas Islam tinggal mengikut pemerintah?

Ya, pemerintah saja yang menetapkan. Yang tidak cocok, ya, sudah biarkan. Wong negara Pancasila, kok. Orang tidak puasa, tidak salat saja dibiarkan, kok. Orang Indonesia harus bersyukur. Negara-negara lain dikasih Lebaran sama Tuhan hanya sekali, kita dikasih dua, malah gegeran. Coba tanya kepada pedagang ternak, Idul Adha kemarin mereka senang sekali; hari ini belum laku, besok masih ada Lebaran. Jadi kenapa ribut? Lebaran itu haknya Tuhan.

Dasarnya kita mengikuti pemerintah itu apa?

Dasarnya, memang dari dulu yang menetapkan itu sultan. Zaman sekarang sultan itu pemerintah. Jadi, kalau kita lihat di kitab-kitab, penetapan awal Ramadan, hari raya, semuanya pemerintah. Perbedaan perhitungan hisab dan rukyat itu wajar dan sudah terjadi dari dulu.

Tapi sekarang kan terjadi perbedaan….

Karena sekarang kita cuma melihat pada perbedaan metode penetapan. Kita lupa siapa yang berhak menetapkan. Makanya istilah NU itu tidak menetapkan, tapi ikhbar, memberitahukan. Orang-orang NU mau ikut, ya, silakan. Tidak, ya, silakan. Pemerintah mau memaksakan? Wong bukan negara Islam. Jadi caranya menetapkan saja. Siapa yang tidak mau, ya, sudah. Kenapa sih harus diseragamkan? Kalau semua harus seragam, nanti balik ke Orde Baru.

Mungkin maksudnya agar rakyat tidak bingung?

Rakyat enggak bisa bingung. Wong sudah bingung terus-terusan. Segala masalah bikin bingung. Gusti Allah itu paham sekali sama hamba-Nya, jadi kita enggak usah ribut. Agama itu mudah. Tapi, kalau orang memperberat agama, dia akan kesulitan sendiri. Perkara mudah, ya, sudah dibuat mudah.

Dulu apa pernah muncul perbedaan penetapan Ramadan atau Lebaran?

Ndak, karena semua tahu itu adalah haknya Allah. Dan semua taat kepada pemerintah. Sekarang ini kan ada permasalahan politis segala….

Maksud Anda sekarang ada ormas Islam tertentu tidak taat terhadap penetapan pemerintah?

Bukan begitu. Dalam soal ini, mereka beranggapan itu adalah soal keyakinan yang tidak bisa dipaksakan, terutama oleh pemerintahan yang bukan Islam. Seperti yang saya katakan di awal tadi, kita itu bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Karena bukan negara sekuler, jadi ngurusi Lebaran dan ngurusi haji. Tapi, karena bukan negara agama, ya, tidak memaksakan.

Di Arab atau di negara lain, apakah dua metode penghitungan bisa disatukan?

Ya, enggak bisa. Kan, sudah berabad-abad. Itu muncul ketika ada ilmu falak, ilmu hisab. Orang-orang bisa menghitung. Yang satu melihat tradisi pada zaman Nabi yang melihat langsung. Sedangkan yang paham ilmu perbintangan bisa menghitung sendiri. Kalau yang terjadi tidak sama, kita ambil hikmah saja. Ooh… ternyata Gusti Allah memberikan Lebaran dua kali.

Upaya Wakil Presiden mempertemukan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk mencari solusi, menurut Anda, apakah ada manfaatnya?

Kita itu kan senangnya harmoni, aman, salatnya bareng-bareng. Sebetulnya, yang harus bareng itu hatinya. Kalau hatinya enggak bisa bareng, bagaimana badannya bisa?

Pentingkah ada satu Lebaran saja?

Enggak penting. Yang lebih penting, penganggur masih banyak, kemiskinan masih jauh dari penyelesaian. Tapi urusannya Gusti Allah yang malah diributkan.

Pada level umat kerap timbul masalah. Tahun lalu, ada ormas dilarang menggunakan lapangan karena Lebarannya tidak sama dengan pemerintah….

Itu karena orang enggak ngerti bahwa penetapan Lebaran haknya pemerintah. Kalau pemerintah menetapkan Lebaran hari Senin, misalnya, semua aparat pemerintah, dari gubernur, bupati, sampai lurah, harus taat hari Senin. Ormas yang lain boleh saja beda, tapi jangan pakai fasilitas milik pemerintah. Kalau Anda Selasa, ya, cari lapangan lain. Jadi itu jalan tengahnya.

Jadi Islam itu beragam?

Beragam. Dari dulu sudah beragam. Ada Syiah, ada Khawaridj, segala macam. Islam itu ada lebih dari 70 golongan.

Apakah keragaman ini yang memunculkan kategorisasi Islam keras, moderat, atau Islam ”garis tengah”?

Itu kan ada ajarannya semua. Dari dulu sudah ada ajaran keras, seperti Khawaridj, yang hanya mau memaksakan pendapatnya sendiri. ”Pokoknya yang tidak sama dengan saya itu kafir.” Itu bawaan manusia, mbegug (berkukuh—Red.) dengan pendapatnya sendiri, memutlakkan dirinya sendiri. Juga ada yang toleran dan moderat.

Ada dampak kategorisasi itu dalam kehidupan kita?

Untuk pembelajaran demokrasi, ya, positif dengan adanya perbedaan-perbedaan. Segi negatifnya juga ada, karena terjadi benturan. Apalagi kalau benturan itu keras dengan keras.

Kategorisasi itu bukan berasal dari Islamnya?

Muslim yang memahami Islam dapat berbeda-beda. Tapi Islamnya tetap satu. Gusti Allah satu, nabinya satu, kitabnya satu. Dalam memahami kitab memang berbeda. Ada yang memandang teks, ada yang kontekstual. Padahal di Quran itu ada asbabun nuzul. Quran itu tidak rekaman, hadis bukan rekaman. Nabi tidak merekam (Gus Mus menirukan seperti orang berbicara di depan rekaman) hadis, tapi hadis disabdakan sesuai dengan konteks pada saat itu.

Bagaimana menyikapi perbedaan itu?

Dari zaman sahabat, sudah ada perbedaan. Cuma, mereka diajari oleh Nabi, ada yang prinsip, ada yang tidak prinsip. Pernah ada dua orang datang ke Rasulullah, mengadukan bacaan Qurannya yang tidak sama. Dijawab, kalau kalian semua itu baik, tidak usah gegeran. Kita sering menggegerkan hal-hal yang tidak prinsip. Yang prinsip adalah tauhid aqidah. Laillah ha Illallah Muhammadurasulullah, itu yang paling prinsip. Yang lain-lain tidak prinsip. Salat zuhur itu mesti empat rakaat, ndak bisa dipikir-pikirkan lagi. Jangan karena waktu subuh itu enak buat olahraga, terus kemudian dipikir-pikirkan enak bila ditambah rakaatnya. Itu ndak bisa. Menetapkan Ramadan, Lebaran, juga masalah kecil yang bukan prinsip.

Menurut Anda, yang lebih sulit menerima perbedaan itu masyarakat biasa atau elite?

Rakyat bergantung pada elite (Gus Mus mengutip pepatah Arab yang artinya orang itu bergantung pada elite, pada pemimpinnya). Kalau pemimpinnya korupsi, rakyatnya nyopet. Pemerintah menjarah pabrik, rakyatnya menjarah toko. Makanya, pemimpin harus mulai mengajari orang supaya bisa berbeda, bukan memaksakan keseragaman terus-menerus.

Ada yang bilang kelompok garis keras—yang sukar menerima perbedaan—kian mendapat tempat di Indonesia. Apa komentar Anda?

Dari dulu sampai sekarang, ada orang yang amat ngotot dan ada yang tidak. Mungkin nanti bergantung pada rakyat Indonesia, apakah mayoritasnya nanti adalah (golongan) yang ngotot atau tidak. Kelompok yang ngotot ini timbul karena banyak sebab. Mungkin kaku hatinya, jengkel karena melihat yang lunak, yang moderat ndak berhasil. Ada faktor ekonomi juga. Ke depan nanti tergantung sejauh mana kita mau mempelajari agama itu sendiri.

Maksudnya, kelompok garis keras kurang mempelajari agama?

Secara kelakar ada yang mengatakan sampean baru belajar sampai bab ghodob, bab marah, terus berhenti. Jadi sampean marah terus, he-he-he…. Padahal nanti ada bab sabar, bab tawaduk, bab segala macam, masih banyak sekali. Kalau mau belajar terus, insya Allah akan mantap. Saya khawatir terhadap orang yang merasa sudah sempurna, lalu menganggap yang lain jahanam semua. Ini malah berbahaya. Orang yang memutlakkan diri sendiri itu sudah syirik, minimal syirik samar, karena yang mutlak benar itu hanya Allah.

Apakah kelompok yang ingin Indonesia harus jadi negara agama perlu diberi kesempatan?

Ya, tidak semudah itu. Negara agama itu seperti siapa? Saudi bukan negara Islam, ia negara wahabi. Pakistan negara militer. Anda bayangkan saja misalnya Indonesia nanti kalau jadi negara agama. Lalu siapa kira-kira presidennya. Terus siapa menterinya.

Belakangan banyak dai muda berdakwah secara ngepop. Apa pendapat Anda tentang fenomena ini?

Itulah yang saya sebut semangat keberagamaan. Orang kota melihat perlu ada modernisasi dakwah. Dulu Hamka menjadi terkenal karena dia orang pesantren yang mengerti bahasa kota. Sekarang jarang orang desa punya bahasa itu. Maka orang kota yang tampil, entah itu artis atau siapa saja yang merasa ngerti agama. Memang ada sabda Rasul yang mengatakan, ”Sampaikan dariku walau satu ayat.” Kemudian orang berbondong-bondong, meski hanya punya satu ayat, langsung jadi mubalig. Dia menyampaikan bagus-bagus saja, tapi agar tidak hanya satu ayat, dia harus nyetrum aki, ngecas, supaya tidak habis atau lemah baterai.

Bisa beri contoh bahwa dakwah para ustad kontemporer baru sebatas semangat?

Lihat saja perilakunya. Yang dibicarakan itu-itu saja, soal ibadah mahdoh, ibadah murni, ibadah ritual. Padahal Islam ada ibadah sosial. Kenapa tidak bicara tentang keadilan, hak asasi manusia, kemanusiaan, kejujuran dalam pergaulan hidup? Bagaimana menyantuni orang dhoif dan seterusnya? Itu tidak bisa diselesaikan dengan pidato, ceramah, khotbah. Kalau Islam tampil menegakkan keadilan, memberantas korupsi, membela orang lemah, itu menjadi dakwah tersendiri. Orang akan melihat bahwa Islam itu mulia.

Kami dengar banyak yang mencalonkan Anda menjadi Gubernur Jawa Tengah pada pemilihan tahun depan?

Saya itu diminta untuk pidato kebudayaan di Dewan Kesenian Cabang Rembang saja tidak mau, kok, disuruh jadi gubernur. Jelas tidak mau. Kalau disuruh baca cerpen, saya mau. Kebanyakan orang sudah tahu siapa saya. Istilahnya, ”wong gak genah”, he-he-he...

Mustofa Bisri

Lahir:

  • Rembang, 10 Agustus 1944

Pendidikan:

  • Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Pekerjaan:

  • Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin
  • Rais Syuriah PB Nahdlatul Ulama
  • Penulis puisi dan cerita pendek, kerap menulis dengan nama samaran M. Ustov Abi Sri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus