Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Memancing dunia, memelototkan mata

Pelari indonesia, nabunome, cukup andal dalam bali 10-k. urutan pertama dimenangkan marc nenow dari as. elizabeth lynch menduduki urutan pertama putri ada pelari yang meninggal. tak ada rekor dunia.

14 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu terasa agak dingin. Hujan lebat baru beberapa jam sebelumnya berhenti. RRI Stasiun Denpasar mengumumkan suhu udara 28 derajat C, turun 3 derajat dibandingkan hari-hari biasa. Kelembapan udara 80%. Tapi untuk para atlet yang berdatangan dari Eropa dan Amerika guna mengikuti Bali 10 K (Bali Ten Ke - lomba lari 10 kilometer), inilah pagi yang gerah. Ingrid Kristiansen, 30, misalnya, yang datang dari negeri dingin yang sedang dilanda salju, Norwegia, dengan suhu di bawah nol, sempat terkejut pada panasnya cuaca. "Udara juga terlalu lembap," keluhnya. Gangguan gerah itu tentu tak terlalu dirasakan atlet Indonesia yang mengikuti Bali 10 K, Minggu yang lalu, di Denpasar. Tepat pukul 06.00, begitu Ketua Umum KONI Surono mengibaskan bendera start, pelari dari Pelatnas SEA Games, Edwardus Nabunome, melejit ke depan. Sampai jarak 5 km, Nabunome dengan nomor dada 310 berada di baris terdepan di antara 1.591 peserta, saling kejar dengan pelari Australia Adam Hoyle. Hanya terpaut 2 meter di belakang mereka, kelihatan pelari dari Amerika Serikat, Marc Nenow berdempet dengan pelari Tanzania, Micheal Sahangga. Dua nama terakhir itu adalah pelari kelas dunia. Malah Nenow adalah pemegang rekor dunia lari 10 km, dengan waktu 27 menit 22 detik yang diciptakannya di New Orleans, AS, tahun lalu. Melihat pelari Indonesia berjaya, penonton yang berteduh di bawah rindangnya pohon akasia di tepi jalan yang menghubungkan Ngurah Rai -- Nusa Dua itu bertepuk memberi semangat. "Saya pikir masih bisa, jadi saya tambah kecepatan," kata Edu - begitu Nabunome biasa dipanggil - kemudian. Memang dengan ngebut, pada km 6 atlet ini melejit paling depan, meninggalkan Adam Hoyle. Tapi satu km kemudian, ia mulai kehabisan tenaga dan menyerahkan kepemimpinan kepada orang lain. "Saya pun dilewati banyak pelari," tutur Edu. Edu kemudian memang tak ikut menyabet hadiah duit, karena itu diberikan cuma pada tiga terbaik. Tapi jelas ia kini bisa disebut pelari Indonesia yang paling andal. Ia memecahkan rekor nasional lari 10.000 m dalam Kejurnas tahun lalu, di Jakarta, dengan catatan 30.20.13, lebih cepat 35 detik dari rekor Gurnam Sing yang tak terpecahkan sejak 1962. Rekor ini diperbaikinya lagi menjadi 29.50.59, dalam Asian Games di Seoul yang lalu. Dalam lomba lari Bali 10 K itu, Edu menduduki peringkat ke-6 dengan catatan waktu 29.26.33. Ini berarti suatu penajaman rekor, meski tak bisa diperbandingkan, karcna lomba dilakukan dalam lintasan yang berbeda. Yang mengejutkan, ternyata, sejumlah pelari dunia berada di bawah catatan waktu Edu. Di antaranya pelari Australia yang tersohor, Rob De Castella, dan pelari Kenya, Michael Musyoki. Pemuda asal NTT berumur 18, bertubuh kecil, tinggi 158 cm dan berat 46 kg, ini tampak tak begitu gembira bisa mengalahkan bintang Castella dan Musyoki. "Target saya mencatat waktu lebih baik dan mengalahkan pelari Asean lainnya," katanya polos. Perlombaan ini dibagi dalam dua kelompok. Kelompok elite berjumlah 63 peserta, terdiri dari 49 putra dan 13 putri. Kelompok inilah yang menghimpunkan atlet-atlet dunia tadi, ditambah 15 atlet Indonesia - 11 putra, termasuk Nabunome, dan 4 putri yang dipersiapkan di Pelatnas menghadapi SEA Games September tahun ini. Atlet negara lain yang diketahui berprestasi juga dimasukkan kelompok ini. Selain Edu, pelari Pelatnas lainnya berantakan. Pelari putri Maria Lawalata dan Siu Chen, yang sudah biasa keluar masuk Pelatnas, menduduki peringkat ke-9 dan ke-10 kelompok elite. Catatan waktu mereka ternyata lebih jelek dibandingkan Suryati, yang menjadi juara kelompok putri masal, dengan catatan waktu 39.09.56. Sehabis bertanding pelajar SMP Muhammadiyah Salatiga, Ja-Teng, yang baru berumur 15 tahun itu dibawa pelatihnya menuntut kepada panitia agar Suryati dimasukkan dalam daftar pemenang kelompok elite. "Tidak bisa, 'kan Suryati didaftarkan di kelompok masal," jawab Okamona dari panitia. Gadis tangung yang di kotanya bergabung dalam klub Dragon itu sebagai juara masal cuma mendapat hadiah Rp 200.000. Pelari pertama yang menyentuh garis finish ialah Nenow tadi, dengan catatan waktu 28.37.15 masih di bawah rekor yang dibikinnya di New Orleans. Hadiah US$ 50.000 (Rp 80 juta lebih) pun jatuh di tangannya. Yang menyabet hadiah kedua sebesar US$ 20.000 adalah pelari Meksiko, Arturo Barrios, dan hadiah ketiga US$ 10.000 diperoleh Micheal Sahangga dari Tanzania. Di kelompok putri, Ingrid Kristiansen, yang kegerahan tadi, cuma mendapat hadiah kedua US$ 15.000. padahal, sampai 200 menjelang finish, pelari ini memimpin di depan, sampai tiba-tiba secara mengejutkan pelari Inggris Elizabeth Lynch melakukan sprint tanpa bisa dikejar Ingrid. Itu berarti, Ingrid kehilangan US$ 15.000, karena hadiah pertama US$ 30.000 direbut Elizabeth. Hadiah ketiga US$ 5.000 diberikan kepada atlet Amerika Serikat, Marty Cooksey. Sponsor lomba lari Bali 10-K ini adalah Bob Hasan, pengusaha besar dan Ketua Umum PASI. Ini memang lomba lari yang memberikan hadiah paling besar di dunia. Kampiun lari dari AS yang berdarah Kuba, Alberto Salazar, mengakui, "Lomba ini memberikan hadiah terbesar dibandingkan negara mana pun. Saya kira akan mampu memancing orang berlari lebih cepat." Sayang, Salazar, 29, yang fotonya sermg tampil dalam iklan sepatu Nike itu, cuma jadi turis di Bali bersama istri dan dua putranya karena cedera lututnya kambuh lagi. Pelari Liza Martin (Australia) dan Steve Jonas (Inggris) malah absen, tanpa sebab yang jelas. Padahal, nama mereka termasuk yang diiklankan akan meramaikan pesta ini. Sejumlah nama besar lain yang dikabarkan akan ikut, seperti Mary Decker dan Zola Budd, juga tidak muncul. Mary Decker kabarnya menuntut bayaran US$ 50.000 sebagai "uang tampil", yang ditolak panitia. Tampaknya undangan, yang disampaikan baru beberapa bulan yang silam, dianggap terlalu mendadak buat para atlet kelas dunia itu. Maklum, umumnya mereka biasa merencanakan mengikuti suatu lomba jauh hari sebelumnya, setidaknya setahun sebelumnya. Selain itu, pada hari yang sama banyak pelari top dunia yang mengikuti lomba maraton di Tokyo. Namun, bisa diperkirakan tahun depan lomba lari yang sering disebut Bob Hasan World's Richest Race ini akan diikuti lebih banyak jago dunia, karena besarnya hadiah pasti akan menyedot mereka. Besarnya jumlah hadiah itu juga diakui wartawan Runners World, majalah Amerika yang khusus memuat berita olah raga lari, Robert Wischnea. "Tapi cuaca dan kelembapan udara di sini membuat sulit memecahkan rekor," katanya ketika ditemui meliput lomba ini. Betapapun sulitnya kondisi lapangan, Bob Hasan yakin lomba yang akan diadakannya setiap tahun ini tetap akan diikuti pelari-pelari ternama. Kata Bob, "Hadiah ini memelototkan mata para pelari beken datang kemari." Sasaran sampingan selain lomba adalah untuk promosi pariwisata. Sebab, seperti diharapkan Menparpostel, A. Tahir, kegiatan ini akan diliput TV dan koran asing, sehingga orang luar negeri akan melihat Indonesia. Bob mengakui, lomba ini juga menyebabkan dolar mengalir ke luar negeri. "Kalau mau mancing, ya mesti pakai umpan, katanya. Di antara pelari yang melotot itu adalah pelari Australia, Norman Hofsteedt, 30, yang berlari di kelompok elite. Pada km 8, pelari itu tersungkur dan segera dilarikan ke RSUP Sanglah, Denpasar, sembari diberi bantuan pernapasan dari tabung oksigen. Sayang, Senin subuh yang lalu, Norman, yang berlari dengan nomor dada 349 itu, meninggal dunia. Kelompok masal adalah para pelari yang tak dikenal prestasinya. Mereka boleh menyeberang ke elite, tapi harus mengikuti tes yang dilakukan panitia 8 Februari, yaitu berlari di lintasan Bali 10 K itu, dengan waktu paling lambat 32 menit untuk putra dan 36 menit untuk putri. Ketika lomba dilakukan, kelompok ini berjumlah 1.529. Tapi nyatanya panitia tak ketat dengan syarat itu. Sebagai contoh adalah pelari Selandia Baru, Lorraine Muller, yang diizinkan panitia membawa dua kakaknya di dalam kelompok elite, tanpa dites, sekalipun dua wanita itu tak dikenal sebagai pelari. Contoh lain adalah Norman Hofsteedt yang meninggal dunia itu, yang juga bukan pelari terkenal, dan tak dites. Alasannya, menurut ketua 2 Panitia, Rukdaryanto, Norman datang ketika waktu sudah mendesak, 6 Februari. Karena ini bukan sekadar lari, tapi yang pentmg memajukan pariwisata, persyaratan untuk orang asing tak begitu ketat. "Kami memberi kepercayaan kepada para pelari itu," kata Rukdaryanto, "Ini bukan peristiwa besar, kok. Di tempat lain hal ini juga sering terjadi". Memang bukan peristiwa terlalu besar karena ternyata tak ada yang memecahkan rekor dunia dan memenangkan hadiah US$ 200.000 (Rp 330 juta) untuk putra dan US$ 150.000 untuk putri. Mungkin tahun depan, siapa tahu. Maju terus, Bob. Amran Nasution, Laporan Toriq Hadad & I Nengah Wedja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus