HAJI Salim terkesiap. Menjelang tengah malam itu tiga wajah bertopeng hitam menghardiknya. Sehabis membuka pintu rumahnya, ia ditodong. Belum hilang terkejutnya, seorang di antara tamu tak diundang itu menempelkan golok ke lehernya. Yang dua langsung mengemasi barang yang ada di dalam rumah itu. Kakek pedagang kelontong ini dulu dikenal jago silat. Melihat ada kesempatan, ia sigap menepis golok si penjahat. Dan berteriak, "Hiaaaatt . . . Rampok! Rampok!" Bajingan itu panik. Parang dibabatkan sekenanya. Ternyata, Pak Salim, 62, memang kena sungguhan. Pundak kirinya tertebas. Dan jari-jarinya hampir putus ketika ia berusaha merebut golok itu. Sementara itu, istrinya terhenyak diam. Ketakutan. Tapi teriakan tadi mengundang pengaruh. Tiga sekawan itu angkat langkah seribu, menembus hujan. Apalagi ada iringan kentong bertalu-talu. Rumah-rumah yang belum terjangkau listrik, malam itu mendadak terang, karena obor. Malam 30 September tahun lalu warga Desa Aliyan, Kebumen, itu berdatangan ke rumah kakek Salim. Mereka menemukan sebuah tas Sun Flower. Ketika dibuka, ada kartu OSIS atas nama Syarif. "Lho, ini kartu milik cucu Kakek Salim sendiri," ujar Hansip Kiswan. Syarif, 19, besoknya ditangkap. Kawannya, Bagas, 20, dan Agus Salim, 19, gampang pula dibekuk. Mereka murid kelas III madrasah aliyah di Kutowinangun, 10 km sebelah timur Kota Kebumen, Jawa Tengah. Ketiga perampok amatir tersebut diadili di Pengadilan Negeri Kebumen. Kawanan itu didakwa Jaksa Nyonya Mastuti, S.H. melakukan pencurian dengan kekerasan. "Saya menyesal, Pak Hakim. Waktu itu saya tak berpikir akibatnya," jawab Bagas, yang mengancam dengan golok itu. "Kakek saya itu kaya. Tapi kalau dimintai uang pelitnya bukan main," kata Syarif polos. Ia menoleh malu ke teman-temannya yang melihat sidang. Sjarif mengaku, niatnya merampok kakeknya adalah untuk pelesiran. Selain terpengaruh Bambang dan Sugianto, gali yang hingga kini masih buron. Rembukan itu, masya Allah, dilakukan di sebuah masjid di Kutowinangun - yang selama ini tempat salat mereka bertiga. Syarif mengajukan syarat: golok tak boleh melukai, cuma untuk menakui-nakuti. Tapi Haji Salim yang sudah sembuh itu menyesalkan ulah cucu kesayangannya itu. "Subuh dia sering membangunkan saya," katanya. Soal dirinya jarang memberi uang saku pada Syarif memang diakui. "Saya khawatir kalau banyak uangnya malah sekolahnya terganggu," kata Pak Haji. Di sekolah, kata beberapa kawannya Syarif bukanlah murid menonjol. Ia pendiam dan jarang bergaul. "Tapi dia pintar ngaji," kata temannya. Orangtua Syarif, sebut saja Abdullah, seorang tokoh agama di sana, merasa terpukul. Konon, ibunya. Si Emak itu, dengan berlinang air mata, tega juga menyaksikan putra ke-3 dari 5 bersaudara ini duduk di persidangan ketiga pekan lalu itu. Namun, kata tetangganya, nyonya ini sudah jarang keluar. Mengikuti pengajian juga sudah sekali-sekali. Orangtua Syarif menyekolahkan anaknya di madrasah Kutowinangun itu agar jadi da'i. "Eeh, tak tahunya malah bergaul denan bajingan kota," ujar sang ayah, kesal. Selepas dari penjara nanti, rencana ayahnya, Syarif akan dikirim ke pondok pesantren di Jawa Timur. "Biarlah dia mengambil hikmahnya. Para pemuka Islam di zaman Nabi juga ada yang bekas penjahat. Mereka bisa bertobat, malah menjadi juru dakwah," ujar ayah Syarif menghibur diri. Buat Syarif, penyesalan memang telah dicetuskan. "Apa pun hukuman yang akan dijatuhkan, saya terima. Saya benar-benar tobat," kata Syarif. Penyesalan yang masih harus ditunggu kesungguhannya. Sebab godaan, bukan cuma datang sekali, dan bukan cuma soal pelesiran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini