SEMULA, 3.000-an penonton di Istora Senayan, Jakarta, mengelu-elukannya ketika Sonny Arwam, 24, dengan bersemangat naik ke atas ring. Kedua kepalannya diacungkan tinggi-tinggi, menyambut ramainya tepuk tangan. Apalagi lawannya di babak final turnamen tinju Piala Presiden ini, Raravaev Sergey, 18, sekalipun juara yunior Uni Soviet, tampak bertanding dengan mata kanan bengkak memerah karena tonjokan petinju Korea Selatan, Song Kwang Sik, di babak sebelumnya. Tak lama, sorak-sorai Sabtu malam pekan lalu itu berubah menjadi ejekan. "Bagaimana penonton kita ini. Kok malah memihak lawan?" ujar Letkol I Ketut Ratta, manajer tim Indonesia. Tapi memang apa mau dikata. Lihatlah bagaimana Sonny, juara kelas welter Indonesia, bertarung. Petinju kidal itu hanya punya pukulan kiri lurus yang begitu mudah dielakkan. Seakan sedang menghadapi petinju pemula, Sergey mempermainkan lawannya, dan memukulnya sampai tergeletak, KO, pada ronde ke-2. Padahal, Sonny Arwam, pemuda berkulit legam dari Biak, Irian Jaya, bukan pendatang baru. Dia pernah menggondol medali emas pada Piala Presiden 1984. Lihat juga Liston Siregar dan Yonas Giay serta sejumlah nama lain -- yang sudah bertahun-tahun merajai tinju amatir kita -- begitu mudahnya dilalap atlet tamu. Liston, anak bekas petinju Paruhum Siregar, juara Indonesia 1960-an, misalnya, masih mencoba meladeni lawannya, Bouchiche Muhamad, sampai ronde ke-2 semifinal kelas berat itu. Selebihnya, dia seperti orang mabuk tuak. Pukulan kanannya yang biasanya keras seakan kehilangan tenaga. "Setelah perutku kena di ronde kedua, kaki ini sudah sulit digerakkan. Musuh terkadang kelihatan, terkadang hilang. Bernapas saja sudah sulit, bagaimana pula mau melawan?" kata Liston. Toh anak Medan ini baru KO menjelang akhir ronde ketiga, setelah diberondong pukulan si Aljazair - yang kemudian memperoleh medali emas. Untunglah, Pertina tak kehilangan muka dengan kemunculan pendatang baru: Husni Ray dan Ilham Lahia. Dua medali emas, sama dengan jumlah yang diperoleh tahun lalu, masih singgah di kubu Indonesia. Husni, 24, yang bertanding di kelas nyamuk, sebetulnya punya kans mendapat gelar Petinju Terbaik, kalau tak kecolongan di ronde ketiga. Sebelumnya, ia sudah menang mutlak, tapi Husni terlalu bersemangat dan ketika itulah Recaido Elias, lawannya dari Filipina, menonjok telak bibirnya. Anak muda yang baru Desember lalu menamatkan kuliahnya di Jurusan Manajemen Perkantoran ASMI Jakarta itu sempoyongan dan sempat dihitung wasit. Syukur, dia masih mampu melanjutkan pertandingan dan menang angka tipis. "Lagi sial rupanya, tapi sudahlah," kata putra kedua Abdul Sani, pensiunan karyawan swasta itu. Sebetulnya, Husni (tambahan Ray itu diberikan oleh teman-temannya karena dia pengagum Sugar Ray Leonard, petinju Amerika tersohor itu) sudah cukup lama mengenal ring tinju. Anak kedua dari tujuh bersaudara itu menjadi petinju karena paman dan kakaknya petinju. Pada tahun 1979, dia sudah jadi juara di pasar malam Pekan Raya Jakarta. Tapi karena mementingkan sekolah, namanya muncul dan hilang. Namanya mencuat setelah menjadi juara, sekaligus Petinju Terbaik Kejuaraan Sarung Tinju Emas (STE) di Semarang, Desember lalu, persis 4 hari setelah diwisuda sebagai sarjana muda. Setelah Piala Presiden ini, pemuda bertubuh kecil - tinggi 157 cm, berat 45 kg - yang mudah ketawa dan mengaku bukan tukang berkelahi ini, berkata, "Tinju bagi saya sudah mendarah daging." Lain dengan Ilham Lahia, 20, pemegang medali emas kelas bantam sekaligus Petinju Terbaik turnamen ini. Lingkungan tempat tinggalnya, Kampung Sariobe, di utara Manado, membawanya ke sasana tinju 5 tahun yang lalu. "Anak-anak kampung saya suka berantam," katanya. Padahal, ayahnya, pensiunan karyawan sipil ABRI, atau saudaranya, bukan penggemar olah raga itu. Sejak muncul di peringkat nasional tahun lalu, dia seakan tak terbendung. Ia menjuarai kejuaraan yunior dan kemudian senior nasional, selain pemegang medali emas STE Semarang. Prestasi Hani, panggilan akrab pelajar SMA ini, tak diragukan. Medali emas diperolehnya karena mengalahkan Herry Guntar alias Kwee Hok Tjie, 23, petinju asal Semarang yang memang selalu dipecundanginya. Guntarlah yang melicinkan jalan bagi Hani, ketika di semifinal dia kalahkan petinju Soviet yang tangguh itu, Samuel Galoyan. Tentang Hani, Guntar memberi komentar, "Pukulannya tak keras, tapi semangat tempurnya tinggi." Hani memang bersemangat selain rajin berlatih, "Bagi saya, lebih baik mandi keringat ketika latihan daripada mandi darah di atas ring." Itu memang sulit diperoleh dari banyak petinju yang lebih senior. Setelah lama bertinju dan menjuarai berbagai turnamen, seperti kata Sutan Rambing, salah seorang pelatih, "Mereka 'kan mesti memikirkan masa depan." Sedangkan untuk memecahkan soal itu, menurut Ketua Komisi Teknik Pertina Hengky Nanlohi, "Pertina tak dapat berbuat banyak." Seperti Liston Siregar tadi, misalnya. Selama kejuaraan ini, ia masih menyempatkan diri ke Pecenongan untuk membeli mobil bekas yang akan dijualnya di Medan. "Saya bukan keberatan mengharumkan nama bangsa, tapi sekarang 'kan saya sudah punya istri," keluh mahasiswa yang menyumbang satu medali emas pada Sea Games Bangkok yang lalu. Amran Nasution, Laporan Rudy Novrianto & Riya Sesana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini