Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Memburu jagoan ganda

Susi susanti dan ardy bernadus wiranata menjuarai indonesia terbuka. namun, semua pasangan ganda ka- lah. tak satupun masuk peringkat tiga besar ibf. pbsi merekrut pasangan ganda dari pelatda.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Indonesia Terbuka, semua pasangan ganda kita keok. Tak satu pun yang masuk peringkat tiga besar dalam daftar IBF. Bagaimana PBSI mencari pemain ganda? DI tunggal kita solid, di ganda kita invalid. Barangkali itulah ungkapan yang cocok untuk hasil Kejuaraan Indonesia Terbuka di Bandung yang berakhir Minggu malam lalu. Ketika Susi Susanti menghentikan perlawanan Lee Heung-soon (Kor-Sel) dengan straight set di final, keplok dua ribu penonton di GOR Bandung pun membahana. Lalu tepuk tangan meriah terdengar lagi, saat Ardy Bernadus Wiranata menumbangkan Joko Suprianto. Namun, ketika Park Joo-bong/Kim Moon-soo (Kor-Sel) memukul habis Eddy Hartono/Gunawan, keplok pun reda. Di salah satu sudut GOR, pelatih ganda putra Christian Hadinata sembari tersenyum pahit berucap, "Harusnya kita menang, wong main di kandang sendiri." Tapi yang kalah bukan cuma pasangan putra. Di partai akhir, pasangan campuran Aryono/Eliza pun harus tunduk dua set langsung dari pasangan Denmark, Thomas Lund/Pernille Dupont. Sementara itu, ganda putri malah sudah direbut duluan oleh Chung Myung-hee/Hwang Hyeyoung lewat all Korean final. Ibarat rumah tua yang bocor, PBSI memang sudah berhasil menambal sektor tunggal. Tapi di bagian ganda, masih bobol. Sejak berakhirnya All England 1990, dan hanya Susi Susanti yang merebut gelar juara, sebenarnya tanda-tanda pincangnya ganda sudah tampak. Di All England tahun berikutnya, di Kejuaraan Dunia, dan Piala Sudirman di Kopenhagen, makin mencolok. Tak satu pun gelar dibawa pulang. Gara-gara tak mampu merebut satu dari tiga ganda di Piala Sudirman, tim Indonesia kalah 2-3 dari Korea Selatan. Dalam kejuaraan beregu seperti Piala Thomas (lima partai), misalnya, "kalau mengalahkan Indonesia gampang, tinggal merebut satu tunggal. Dua ganda kita yang lemah sudah di tangan lawan," ujar Christian, 42 tahun. Padahal, dulu, siapa yang tak kenal pasangan Tjun-Tjun/Johan Wahyudi yang menjuarai All England enam kali, atau Christian/Ade Chandra yang sempat menjuarai All England pada 1972. Mulai awal 1980-an, kekuatan ganda beralih ke Cina, Korea Selatan, dan Malaysia. Dalam pengumpulan angka grand prix sirkuit bulu tangkis dunia yang dikeluarkan Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF), Eddy Hartono/Gunawan hanya ada di peringkat sembilan dari sepuluh pasangan. Di ganda putri, dua pasangan Indonesia berada di peringkat empat dan enam. Sementara itu, tak satu pun ganda campuran Indonesia masuk 10 besar grand prix. Data ini dikeluarkan IBF sebelum Indonesia Terbuka di Bandung pekan lalu. "Regenerasi pemain ganda kita memang terlambat," kata Christian lagi. Toh bukan berarti PBSI duduk termenung. Setelah babak-belur di Kejuaraan Dunia Kopenhagen, Mei lalu, dan Piala Sudirman terbang ke Negeri Ginseng, sektor ganda segera dironsen. Penyakitnya: materi pemain ganda sangat miskin. PBSI lantas merekrut pasangan-pasangan ganda dari pelatnas daerah (pelatda) yang ada hampir di tiap provinsi. Pemain ganda yang terpilih dipusatkan di empat pelatnas pratama, satu di Jawa Tengah dan tiga di Jakarta -- dititipkan di klub Pelita Jaya, Bimantara, dan Jaya Raya. Lima pasangan terbaik direkrut ke pelatnas utama, yang digembleng di gedung PBSI Jalan Asia Afrika, Jakarta. Setiap tahun, kata Ketua Bidang Pembinaan PBSI M.F. Siregar, ada promosi dan degradasi, "persis seperti kompetisi sepak bola." Dulu, sejak berakhirnya era Tjun-Tjun/Johan, Christian/Ade Chandra, pembentukan pasangan ganda biasanya dilakukan secara kaget-kagetan. Caranya, pemain tunggal tenar yang mulai senja prestasinya dipadukan dengan spesialis ganda. Lahirlah Liem Swie King/Kartono, juara Indonesia Terbuka 1985 dan semifinalis Kejuaraan Dunia 1985 di Calgary. Atau Icuk Sugiarto/Hadibowo, yang hanya mampu mencapai semifinal All England 1984. Stok pemain yang benar-benar spesialis ganda boleh dikatakan tak ada. Kini, PBSI punya resep lain. Yang direkrut adalah pemain spesialis ganda yang sudah bermain bersama sejak di pelatda tadi. Bukan diambil dari bekas pemain tunggal. "Jadi, tidak dengan menggabung-gabungkan mereka di pelatnas," ujar Christian. Tapi, di pelatnas, pasangan tadi masih bisa diceraikan, lalu digabung dengan spesialis ganda yang lain. Tiga bulan pertama di pelatnas, Christian masih akan membongkar pasangan-pasangan ganda tadi, untuk mencari yang paling kompak dan kuat. Setelah itu, pasangan ganda masuk di tahap uji coba ke berbagai turnamen. Tong Sin Fu, 48 tahun, bekas juara Cina yang melatih ganda putri, punya masalah yang lebih sulit. Stok spesialis ganda putri lebih tipis dibanding putra. Seperti halnya di bagian putra, pemain putri lebih suka main tunggal. Bayang-bayang manis sukses Susi Susanti, membuat para yunior lebih tertarik ke sektor tunggal. Jadi kata Tong, "Saya harus turun ke daerah-daerah untuk mencari pemain ganda berpotensi." Kini, selain Rosiana Tendean/Erma Sulistyaningsih, yang sudah mulai senja, Tong sedang menyiapkan ganda putri masa depan, pasangan Eliza/Catherine dan Lily Tampi/Finarsih. Sektor terlemah adalah ganda campuran. Pembenahannya terpaksa masih pakai gaya lama, pemain tunggal pria yang sudah mentok dipadukan dengan pemain putri spesialis ganda. Aryono dan Eliza adalah satu dari lima pasang ganda campuran yang saat ini ada di pelatnas. Yang menangani sektor ini adalah master ganda campuran, Imelda Wiguna, yang bersama Christian menjadi juara dunia 1980. M.F. Siregar sadar betul bahwa proyek pembenahan ganda ini tak bisa dilakukan lewat semacam crash program. Butuh waktu sekitar dua tahun. Adapun hasil di Bandung, itu adalah hasil tiga bulan pertama "proyek Siregar" tadi. Toriq Hadad, Achmad Novian, dan Dwiyanto Rudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus