Anak pejabat tinggi dan orang berduit ramai-ramai sekolah di luar negeri. Masuk asrama atau indekos pun berpisah dengan orangtua. KEINDAHAN sekolah Cushing Academy, di kota terpencil Ashburnham, Massachusetts, ternyata punya daya tarik tersendiri bagi para siswa Indonesia. Kampus di daerah perbukitan yang dikelilingi ladang pertanian, sekitar satu setengah jam perjalanan mobil ke arah barat Kota Boston, Amerika Serikat, itu setiap tahun silih berganti mencatat "pelanggan baru" dari Indonesia. Mereka adalah orangtua berduit yang ingin menyekolah- kan putra-putrinya di sekolah itu. Putra Albert Hasibuan, Nanda Hasibuan, 18 tahun, misalnya, tahun lalu pindah dari SMA Kanisius Jakarta ke Cushing AS. "Saya pindah ke Cushing karena informasi dari abang saya," kata putra kedua Pemimpin Umum Harian Suara Pembaruan itu. Mengapa pindah? "Soalnya, di Jakarta kurang belajar, main melulu," jawabnya polos. Di Cushing, Nanda harus tinggal di asrama yang punya disiplin ketat. Setiap pukul 8 malam harus nongkrong di meja belajar selama dua jam. Setengah jam kemudian, semua penghuni asrama harus tidur. Sekolah tiap hari dimulai pukul 8 pagi. Sorenya para siswa harus mengikuti kegiatan olahraga. Di kampus Cushing terdapat sekitar 400 siswa, 25% di antaranya anak asing. Larinya siswa Indonesia ke AS punya banyak alasan. Seperti kata Thomas Djiwandono (putra Menteri Muda Perdagangan Soedradjad Djiwandono), salah seorang alumnus Cushing Academy 1990 di Cushing metode beiajarnya lebih mendalam. Setiap siswa, per semester, hanya mempelajari sekitar enam mata pelajaran. Bandingkan dengan SMA Indonesia yang dijejali sekitar 15 mata pelajaran. Jumlah murid dalam satu ruang cukup 15 siswa. Hubungan antara guru dan murid sangat dekat. Dan yang jarang ada di sekolah Indonesia, kata Thomas, seminggu dua kali ada pertemuan antara semua siswa dan semua guru untuk saling mengeluarkan unek-unek. Soal pelajaran, menurut Nanda Hasibuan, di Cushing relatif tak sulit. Terutama matematika. Tapi, untuk pelajaran bahasa Inggris, dia mengaku kedodoran. "Karena harus mempelajari Shakespeare segala," katanya. Itu sebabnya para siswa "pendatang", sebelum tahun ajaran baru dimulai pada bulan September, mereka biasanya mengikuti program musim panas dengan kursus bahasa Inggris yang biasanya berlangsung dari awal Juli hingga pertengahan Agustus. Laksmi Indrayati, alumnus Sekolah Theresia Jakarta, misalnya, pekan lalu diantar ibunya, Ny. Harmoko, untuk masuk Cushing Academy. Dia bersama sekitar selusin anak Indonesia lainnya. Putri Menteri Penerangan itu memang bukan anak menteri Indonesia pertama yang diterima di sekolah ini. Murid Indonesia pertama, menurut Ms. Judith Beams, Direktur Cushing, masuk tujuh tahun silam. "Profesor Widjojo Nitisastro meminta nasihat pada teman-temannya di Harvard yang kemudian menunjuk Cushing," katanya. Setelah anak Widjojo, menyusullah berbondong-bondong murid asal Indonesia ke Cushing. "Rata-rata setahun kami punya 13 murid dari Indonesia," tambah Beams. Sejumlah putra-putri pejabat tinggi Indonesia lainnya juga pernah mengenyam pendidikan SLA Cushing ini. Selain putra Widjojo, tercatat anak-anak menteri, seperti Subroto, Saadilah Mursjid, Soedradjad Djiwandono, dan Sumarlin. Keistimewaan sekolah yang didirikan 1965 itu, menurut Beams, Cushing adalah SLA pertama di AS yang menerapkan sistem coeds, campuran murid laki-perempuan. Kini, dari 400 muridnya, 60% siswa dan 40% siswi. Untuk bisa sekolah di Cushing, memang disyaratkan harus anak orang berduit. Biasanya setiap siswa dikutip bayaran sekitar US$ 16 ribu atau Rp 31 juta setahun. Ini sudah termasuk uang asrama, uang makan, dan asuransi kesehatan. Agaknya, bukan hanya Cushing yang menjadi incaran orang kaya Indonesia untuk menyekolahkan anaknya. Sayang, KBRI di Washington belum punya data persis jumlah siswa SLA yang belajar di Amerika Serikat. "Kami hanya punya perkiraan jumlah mahasiswa, sekitar 9.500," kata Dr. Giri Kartono, Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Washington. Kendati tak punya data pasti, Giri memperkirakan arus siswa Indonesia yang masuk ke SMA di AS semakin banyak. Terutama dalam dua tahun belakangan ini. Bahkan, catatan Departemen P dan K di Jakarta pun tak mampu memberikan data yang pasti. Jumlah pelajar yang belajar ke AS tercatat naik dari 682 siswa pada tahun 1989/1990 menjadi 883 orang tahun berikutnya. Data itu dikumpulkan berdasarkan mereka yang mau melapor. "Padahal, masih banyak pelajar yang nyelonong saja pergi belajar ke luar negeri," kata sumber TEMPO di Departemen P dan K. Di daerah sekitar Boston diperkirakan ada sekitar 30 siswa SMA asal Indonesia. Jumlah ini cenderung meningkat terus. Ada kecenderungan daerah pantai timur AS itu semakin populer di mata orang Indonesia. "Mereka kebanyakan ikut-ikutan temannya yang sudah lebih dahulu sekolah di sini," kata sumber TFMPO di Boston. Setiap orangtua yang mengirimkan anaknya sekolah ke luar negeri punya berbagai alasan. Seperti menurut Soedrajad Djiwandono, untuk proses kelanjutan pendidikan, pengiriman sekolah ke luar negeri sejak dini lebih baik. "Sebab, dengan memasuki SMA terbaik, si anak akan mendapat kesempatan memperoleh tempat di universitas terbaik pula," katanya. Ada juga yang beralasan, sekadar untuk menanamkan disiplin si anak. Untuk itu beberapa orangtua murid asal Indonesia juga mengirim anaknya ke sekolah swasta yang menerapkan disiplin militer ketat, seperti di Virginia Military Institute atau New York Military Academy. Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, misalnya, mengirimkan putra keduanya, Hendra Batubara, ke New York Military Academy dan baru lulus tahun ini. Banyaknya siswa lari dan memilih sekolah di luar negeri membuat Ki Suratman terpaksa angkat bicara di DPR ketika dengar pendapat dengan Menteri P dan K, Fuad Hassan. Pemimpin Perguruan Taman Siswa itu mengharapkan agar Pemerintah mengatur pengiriman anak-anak sekolah ke luar negeri sebelum tamat SMA. "Apakah mereka sudah memiliki ketahanan ideologis, moral, dan budaya kala baru siswa SMA, apalagi SMP," kata Ki Suratman kepada R. Fadjri dari TEMPO. Bahkan, ada anggapan, sebelum tamat SMA seorang anak terlalu riskan berpisah dengan orangtuanya. Menteri Fuad Hassan sendiri tampaknya sejalan dengan pikiran Ki Suratman yang sejak tahun lalu membuka kampus SMA Taruna Nusantara -- dengan asrama -- di Magelang. "Mengingat pentinnya pendidikan keluarga, maka menyekolahkan anak sekolah lanjutan ke luar negeri dengan akibat pisah dari keluarga mengandung risiko tinggi bagi perkembangan anak selanjutnya," kata Menteri P dan K. Departemen itu pernah mengetatkan peraturan, agar siswa yang belajar di luar negeri wajib minta izin khusus. Tapi sejak keluar Inpres tentang Pedoman Belajar di Luar Negeri tahun 1985, keran belajar ke luar negeri dibiarkan mengalir. Mereka cukup memberi tahu pada Departemen P dan K. Memang, soal menyekolahkan anak ke luar negeri, masuk asrama di dalam negeri atau indekos, mau tak mau pasti memisahkan si anak dengan orangtuanya. "Tugas pribadi kita masing-masing untuk menjaga jangan sampai anak kita kena pengaruh buruk. Kita harus pandai-pandai membangun hubungan dengan anak," kata Soedradjad Djiwandono. Gatot Triyanto (Jakarta) dan Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini