Pengadilan mengeluarkan keputusan perwalian yang bertentangan. Kata hakim, perwalian bisa berubah kapan saja. TAK ada yang lebih menderita selain daripada anak, dalam setiap kasus perceraian. Penderitaan itu semakin lengkap bila kedua orangtua berebut untuk menjadi wali si anak. Apalagi, bila putusan pengadilan pun berubah-ubah menentukan siapa yang berhak menjadi wali bagi anak tersebut. Itulah beban yang harus dipikul Gustaf Cristian, yang kini berusia tujuh tahun, anak pasangan Herman Aksama dan Lieke Loho. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, baru-baru ini, memutuskan Lieke, 28 tahun menjadi wali Gustaf. Padahal, sebelumnya, pengadilan yang sama -- dalam sebuah keputusan yang sudah mempunyai kekuatan tetap -- memutuskan Herman, 33 tahun, lebih berhak sebagai wali. Dalam keputusan ini, pengadilan juga memutuskan perceraian Herman-Lieke. Herman mengaku tak habis pikir atas sikap pengadilan yang berganti-ganti itu. "Kok anak saya seperti bahan permainan saja," ujarnya. Sebab itu, pekan-pekan ini Herman menyusun memori banding atas keputusan kontroversial itu. Hatta, pada 1982, Herman mulai terpikat pada Lieke. Waktu itu, Herman, yang kini menggarap usaha katering, menjadi direktur sebuah perusahaan rekanan Pertamina. Lieke, ketika itu, bertugas sebagai sekretaris merangkap book keeper perusahaan tersebut. Setelah dua tahun berpacaran, pada Februari 1984, Herman menyunting Lieke, yang telanjur hamil tiga bulan. Pada 9 Agustus 1984, lahirlah Gustaf. Belakangan rumah tangga mereka goyang. Hampir setiap hari Herman dan Lieke cekcok. "Saya kan capek jadinya kalau berantem terus," tutur Lieke. Lulusan ASMI yang mengenyam pendidikan marketing di Australia itu juga mengaku pernah dipukul Herman. Bahkan, ia pernah diadukan Herman ke polisi gara-gara dituduh mencuri uang Rp 2 juta. Akhirnya, Lieke mengajukan gugatan cerai. Pada 4 November 1985, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan itu. Pengadilan juga memutuskan Gustaf di bawah perwalian Herman. Keputusan itu segera berkekuatan tetap karena kedua pihak tidak mengajukan banding. Sejak itulah, Herman, yang hanya lulusan SLTA, mengasuh Gustaf. Ternyata, Lieke tak kuat memendam rindu pada Gustaf. Pada suatu pagi, pada 28 Januari 1991, ia nekat "menculik" Gustaf dari sekolahnya di SD Bintang Kejora, Jakarta Pusat. Pada hari itu juga, Lieke, yang sudah bekerja di sebuah perusahaan kayu lapis dan mebel, mendaftarkan gugatan terhadap Herman. Kepada pengadilan, Lieke menuntut agar perwalian Herman terhadap Gustaf dicabut dan dialihkan kepadanya. Dia menjabarkan berbagai alasan, yang sebagian sebetulnya sudah diutarakan dalam gugatan cerai. Ia juga menuding Herman tak berkelakuan baik karena telah menghamili bekas pembantu rumah tangganya. Ternyata, pada 6 Juni lalu, majelis hakim yang diketuai Setyoharsoyo mengabulkan gugatan itu. Majelis menilai, Herman terbukti melanggar ketentuan perwalian, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan (UUPP) tahun 1974. Persisnya, butir mengenai "wali yang berkelakuan buruk". Yang gembira tentu saja Lieke. Ia berniat membesarkan Gustaf sebaik-baiknya. "Jika Gustaf sudah berusia 12-13 tahun, biarlah ia bebas memilih akan tinggal dengan siapa," ujarnya. Sebaliknya, Herman kesal dan menilai alasan hakim tidak relevan. "Ini kan soal pemeliharaan dan kasih sayang terhadap anak. Kalau masalah hubungan atau perlakuan saya dengan Lieke, kan sudah dipertimbangkan dalam keputusan cerai dulu," katanya. Toh Setyoharsoyo menganggap keputusan itu sudah tepat. Menurut dia, sesuai dengan UUPP, soal pengangkatan dan pencabutan perwalian memang bersifat temporer, dengan catatan sampai si anak berusia 18 tahun (dewasa). "Kalau nanti Lieke dianggap lalai atau berkelakuan buruk, bisa saja Herman menggugat kembali," kata Setyoharsoyo. Lalu kapan si anak bisa merasa tenang? Happy Sulistyadi, Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini