Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Lord minto

Abdullah bin abdul kadir munsyi dalam hikayat ab- dullah melukiskan sikap adil lord minto ketika menjejakkan kakinya di negeri malaka. baginya, di depan hukum siapa saja sederajat.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEGERI Malaka meriah, awal Juni 1811. Juga khidmat. Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris untuk India, hari itu datang ke kota jajahan di Asia Tenggara yang sibuk itu. Pembesar lokal, dipimpin oleh Raffles, dan para penduduk dari pelbagai bangsa, semua ramai mengelu-elukan, bahkan sejak kapal Modeste mendekat ke arah bandar. Kitab Hikayat Abdullah, yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, melukiskan dengan rinci -- dengan ketelitian seorang reporter ulung -- upacara spektakuler itu, tanda besarnya kekuasaan Britania pada abad ke-19. Lord Minto turun dari kapal. Ia naik ke sebuah sekoci besar yang dirias elok dan dipasangi bendera Inggris, tempat telah siap para pendayung berseragam merah. Syahdan, semua kapal perang yang ada pun menembakkan meriam penghormatan, selama tiga jam, sampai asap memuramkan langit, sampai sekoci itu merapat ke darat. Dan ketika Gubernur Jenderal itu menjejakkan kakinya di tanah Malaka, kanon yang dipasang di bukit pun menggelegar, menyambutnya. Tapi, sosok Lord Minto, menurut Abdullah, tidaklah sehebat seperti layaknya seorang besar yang dijemput dengan cara sedahsyat itu. "Indah kabar dari rupa," kata penulis itu menggunakan sebuah pepatah Melayu. Tubuh Lord Minto kurus. Perangainya lunak. Tubuhnya begitu ringkih (waktu itu ia berumur sekitar 60 tahun) hingga, menurut Abdullah, sang Gubernur mungkin tak mampu mengangkat benda seberat 25 batu. Bukan berarti Abdullah kecewa. Sebab, yang menggetarkan hatinya bukanlah sebuah tokoh perkasa dalam kibaran kemegahan. Yang menggetarkan hati Abdullah lain: sikap Lord Minto, yang justru tak ada hubungannya dengan meriam, sekunar, pasukan, dan bedil-bedil. Begini: pada hari kedua kunjungannya ke Malaka, Lord Minto datang ke "terongko gelap". Di situlah para penjahat dan pelanggar hukum lain dikurung dan disakiti sebuah tempat yang tanpa jendela, yang tak cukup punya ruang untuk duduk atau tidur kecuali di atas tanah telanjang -- ruang yang juga dipakai kakus. Di sana terdapat pelbagai alat penyiksaan: gada untuk menghancurkan sendi sebelum si terhukum digantung, misalnya. Lord Minto melihat semua itu, dan, menurut Abdullah, parasnya pun jadi redup. Serta-merta diperintahkannya agar alat-alat itu dimusnahkan. Dan, ketika ia melihat ada dua orang hukuman disekap di dalam sel, ia pun memerintahkan agar mereka dikeluarkan. Sel itu harus dirombak dan dibangun kembali dalam bentuk yang lebih nyaman: berjendela banyak, berlantai diplester batu, dengan ruang yang dibagi seperti rumah tinggal. Lampu dipasang, dan tempat untuk tidur disediakan. Sejak itu, "tarongko gelap" -- yang diberlakukan selama penjajahan Belanda di Malaka -- lenyap. Cuma propaganda Inggriskah semua itu, di saat menyiapkan perang melawan Belanda di Jawa? Dari Hikayat Abdullah kita tak bisa tahu. Yang kita tahu ialah bahwa Abdullah berbicara tentang kebaikan Lord Minto seakan-akan orang Inggris itu Ratu Adil yang layak disembah. Abdullah memang penuh pujian kepada hukum Inggris. Hukum orang Inggris berbeda dengan hukum para hartawan Cina dan pangeran Melayu, tulis Abdullah. Dalam aturan para cukong dan bangsawan Malaka, "keadilan" adalah ini: kaki tangan mereka yang menjahati orang kebanyakan tak bakal ditindak. Jika satu dari mereka terbunuh, tujuh orang harus mati sebagai pembalasan. Sebaliknya, di depan hukum orang Inggris, siapa saja sederajat. Tak pandang orang berbangsa atau jelata. Tak pandang pangkat, tak pandang bulu. Dan lebih hebat lagi: tak ada dendam. Bukankah lord Minto, yang hari itu datang ke Malaka, jadi bukti betapa tak ganas dan tak sewenang-wenangnya hukum orang Inggris? Tentu, kita di zaman ini, yang pernah getir oleh kolonialisme Barat, akan bertanya: Tidakkah Abdullah terlampau silau? Tidakkah pengarang ini sedang gandrung kepada kemajuan yang dibawa kekuasaan Inggris ke Asia Tenggara, dan sebab itu cenderung menilai bahwa rasa keadilan dalam hukum Inggris harus diterima, sebagai bagian dan "kemajuan"? Memang jelas, Abdullah silau, kagum, terpikat kepada perilaku kekuasaan orang Inggris. Namun, yang jadi soal, kenapa justru Abdullah yang jelas muslim ini, keturunan Arab di abad ke-19 yang juga menulis perjalanan ke Jeddah ini, justru tertarik kepada hukum dan fiil penguasa Inggris, meskipun mereka itu pendatang, bahkan penjajah. Ada pendapat bahwa, jauh di lubuk sanubari manusia, tak peduli ia Inggris ataupun bukan, rasa keadilan itu sama belaka. Ada juga pendapat lain: rasa keadilan mungkin suatu masa berbeda-beda, tapi semua toh berubah dan rasa keadilan kalangan yang satu mungkin semakin mendekati rasa keadilan yang lain. Saya tak tahu mana yang benar. Saya hanya takjub bahwa Abdullah merindukan apa yang kini, hampir 200 tahun kemudian, juga dirindukan orang di mana saja: ada persamaan di depan hukum, ada hukum yang tak sewenang-wenang -- dan ada penguasa yang melihat alat penyiksaan dalam sel gelap dan berkata, "Turunkan semua itu, dan bakar. Jangan ada yang tertinggal." Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus