Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Obat Flu Atau Apa ?

Di batasi kapasitas halaman supaya tidak menelan iklan. keputusan dewan pres untuk pemerataan periklanan. pihak biro iklan pada dasarnya setuju pula. (eb)

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA bisnis media salah satu bisnis pertama yang harus melakukan "pemerataan". Pekan lalu Dewan Pers di Bandung menetapkan, bahwa suatu surat kabar tak boleh lebih 30% dari jumlah halamannya buat iklan. Ini untuk "menjamin terselenggaranya asas pemerataan periklanan," kata B.M. Diah, Ketua Pelaksana Hariannya (lihat Media, halaman 15). Terjemahan kata-kata itu tak lain ialah, bahwa koran seperti Kompas dan Sinar Harapan harus dibatasi kapasitasnya dalam menelan iklan. Dengan begitu diharapkan agar iklan pun mengalir ke koran yang selama ini kurang subur. Bagaimana akibatnya garis resmi yang didukung Pemerintah ini (Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan) bagi dunia bisnis belum diketahui. Tapi mungkin kecil. Anggaran promosi sejumlah perusahaan besar di Indonesia secara pasti tak mudah diduga, tapi taksiran konservatif menyebut angka yang ekor nolnya ada sembilan tiap bulan. Dalam angka itu persentase yang disedot surat kabar tak besar. Perusahaan Unilever, misalnya, multinasional yang memproduksi sabun Rinso dan lain-lain, 50% iklannya disalurkan lewat TVRI. Selebihnya dibagi antara majalah, koran dan radio. Ada sekitar 150 sampai 200 stasiun radio (RRI dan non-RRI) yang mempromosikan produk Unilever. Karena itu, seperti dikatakan Murdjajanto dari bagian perencanaan Unilever Advertising Indonesia, pembatasan iklan di koran "tak akan banyak berpengaruh." Karto Jumena dari Johnson & Johnson juga mengatakan hal yang sama. TV merupakan media utama promosi produknya dan pemuatan iklan di surat kabar "hanya sebagai penunjang." Sekitar 12 macam produknya memang silih berganti muncul di layar TVRI. Biro-biro iklan juga menyatakan tak akan terpengaruh. Nuradi, direktur PT Inter Vista Advertising, di Jakarta, yang sudah 16 tahun berada dalam bisnis ini, mengatakan bahwa pengaruhnya cuma soal bagaimana "pesan tempat dulu jauh-jauh hari" di koran yang dituju. Dari Indo Ad, biro iklan besar yang lain, juga diperoleh keterangan serupa. "Kami bisa memindahkan kelebihan budget ke radio dan bioskop," kata Bati Subakti, salah seorang eksekutifnya. Tapi baik Nuradi maupun Subakti menunjukkan bahwa soal pemerataan ini tak mudah di bisnis iklan. "Kebijaksanaan Dewan Pers itu ibarat obat sementara," kata Subakti. "Ibarat obat untuk flu saja -- demamnya tak akan hilang." Jelasnya pembatasan iklan di satu koran tak otomatis menggemukkan koran lain. Nuradi terutama menyebut patokan "biaya pemasangan iklan untuk tiap 1000 pembaca." Kompas, misalnya, beroplah 270.000, dan dibaca 6 orang tiap eksemplar. Berarti koran pagi itu punya pembaca sebesar 1« juta tiap hari. Untuk biaya pemasangan standar 4 kolom x 275 mm x Rp 900, uang yang keluar dari pemasang ialah Rp 972.000. Artinya, dengan uang Rp 1 pemasang iklan dapat mencapai hampir dua pembaca di seluruh Indonesia, di kalangan masyarakat menengah atas. Dibandingkan dengan koran yang lehih kecil, koran beroplah besar bukan saja lebih efektif, tapi lebih murah, biarpun tarif iklan di koran kecil misalnya cuma Rp 750 per milimeter kolom. Sebab untuk koran dengan pembaca seluruhnya 200 ribu orang, dengan ukuran iklan yang sama, hasil perhitungannya adalah Rp 4 buat mencapai satu pembaca. Suara Mencemaskan Karena itu Nuradi yang punya hampir 30 klien perusahaan besar melihat kemungkinan perusahaan yang jadi kliennya belum tentu setuju bila iklannya dipindah begitu saja dari satu koran ke koran lain. Paul Kusnadi dari PT Matari Advertising, dengan 22 klien juga merasa perlunya lebih dulu ada pengauditan terhadap besarnya pembaca, bagaimana penyebarannya di tiap provinsi, dan jenis pembaca sebuah koran. Satu suara lain dari kalangan periklanan pun mencemaskan, bahwa garis pemerataan Dewan Pers kali ini bisa memukul perusahaan yang kurang kuat. Jika iklan dibatasi ruangannya, penerbit akan terpaksa mengorbankan pemasang iklan mini. Kebanyakan ini berasal dari usaha kecil. Dan jika penerbit harus mengurangi iklan, ia akan terpaksa menaikkan harga langganan. Akibatnya pembaca tak akan mampu membeli koran yang merupakan bacaan kedua -- dan sekali lagi koran lain yang akan terkena. Tapi kalangan biro iklan menyatakan mereka bukan saja setuju ide pemerataan, bahkan sudah mencoba melaksanakannya. Intervista menyebut koran di Kalimantan dan Sulawesi Utara sebagai media pilihannya juga. Indo Ad menyebut 16 koran daerah yang diberinya jatah, dan Matari sekitar jumlah yang sama. Tapi mungkin koran daerah juga bisa terpukul oleh garis pemerataan ini. Seperti ditunjukkan Nuradi, Surabaya Post terbitan 11 Februari misalnya memuat 6 dari 12 halamanya dengan penuh iklan. Suara Merdeka terbitan 20 Februari mengisi 6 halaman dari 8 halamannya juga dengan iklan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus