TERNYATA bisnis media salah satu bisnis pertama yang harus
melakukan "pemerataan". Pekan lalu Dewan Pers di Bandung
menetapkan, bahwa suatu surat kabar tak boleh lebih 30% dari
jumlah halamannya buat iklan. Ini untuk "menjamin
terselenggaranya asas pemerataan periklanan," kata B.M. Diah,
Ketua Pelaksana Hariannya (lihat Media, halaman 15).
Terjemahan kata-kata itu tak lain ialah, bahwa koran seperti
Kompas dan Sinar Harapan harus dibatasi kapasitasnya dalam
menelan iklan. Dengan begitu diharapkan agar iklan pun mengalir
ke koran yang selama ini kurang subur.
Bagaimana akibatnya garis resmi yang didukung Pemerintah ini
(Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan) bagi dunia bisnis
belum diketahui. Tapi mungkin kecil. Anggaran promosi sejumlah
perusahaan besar di Indonesia secara pasti tak mudah diduga,
tapi taksiran konservatif menyebut angka yang ekor nolnya ada
sembilan tiap bulan. Dalam angka itu persentase yang disedot
surat kabar tak besar.
Perusahaan Unilever, misalnya, multinasional yang memproduksi
sabun Rinso dan lain-lain, 50% iklannya disalurkan lewat TVRI.
Selebihnya dibagi antara majalah, koran dan radio. Ada sekitar
150 sampai 200 stasiun radio (RRI dan non-RRI) yang
mempromosikan produk Unilever. Karena itu, seperti dikatakan
Murdjajanto dari bagian perencanaan Unilever Advertising
Indonesia, pembatasan iklan di koran "tak akan banyak
berpengaruh."
Karto Jumena dari Johnson & Johnson juga mengatakan hal yang
sama. TV merupakan media utama promosi produknya dan pemuatan
iklan di surat kabar "hanya sebagai penunjang." Sekitar 12
macam produknya memang silih berganti muncul di layar TVRI.
Biro-biro iklan juga menyatakan tak akan terpengaruh. Nuradi,
direktur PT Inter Vista Advertising, di Jakarta, yang sudah 16
tahun berada dalam bisnis ini, mengatakan bahwa pengaruhnya cuma
soal bagaimana "pesan tempat dulu jauh-jauh hari" di koran yang
dituju. Dari Indo Ad, biro iklan besar yang lain, juga diperoleh
keterangan serupa. "Kami bisa memindahkan kelebihan budget ke
radio dan bioskop," kata Bati Subakti, salah seorang
eksekutifnya.
Tapi baik Nuradi maupun Subakti menunjukkan bahwa soal
pemerataan ini tak mudah di bisnis iklan. "Kebijaksanaan Dewan
Pers itu ibarat obat sementara," kata Subakti. "Ibarat obat
untuk flu saja -- demamnya tak akan hilang." Jelasnya
pembatasan iklan di satu koran tak otomatis menggemukkan koran
lain.
Nuradi terutama menyebut patokan "biaya pemasangan iklan untuk
tiap 1000 pembaca." Kompas, misalnya, beroplah 270.000, dan
dibaca 6 orang tiap eksemplar. Berarti koran pagi itu punya
pembaca sebesar 1« juta tiap hari. Untuk biaya pemasangan standar
4 kolom x 275 mm x Rp 900, uang yang keluar dari pemasang ialah
Rp 972.000. Artinya, dengan uang Rp 1 pemasang iklan dapat
mencapai hampir dua pembaca di seluruh Indonesia, di
kalangan masyarakat menengah atas.
Dibandingkan dengan koran yang lehih kecil, koran beroplah besar
bukan saja lebih efektif, tapi lebih murah, biarpun tarif iklan
di koran kecil misalnya cuma Rp 750 per milimeter kolom. Sebab
untuk koran dengan pembaca seluruhnya 200 ribu orang, dengan
ukuran iklan yang sama, hasil perhitungannya adalah Rp 4 buat
mencapai satu pembaca.
Suara Mencemaskan
Karena itu Nuradi yang punya hampir 30 klien perusahaan besar
melihat kemungkinan perusahaan yang jadi kliennya belum tentu
setuju bila iklannya dipindah begitu saja dari satu koran ke
koran lain. Paul Kusnadi dari PT Matari Advertising, dengan 22
klien juga merasa perlunya lebih dulu ada pengauditan terhadap
besarnya pembaca, bagaimana penyebarannya di tiap provinsi, dan
jenis pembaca sebuah koran.
Satu suara lain dari kalangan periklanan pun mencemaskan, bahwa
garis pemerataan Dewan Pers kali ini bisa memukul perusahaan
yang kurang kuat. Jika iklan dibatasi ruangannya, penerbit akan
terpaksa mengorbankan pemasang iklan mini. Kebanyakan ini
berasal dari usaha kecil. Dan jika penerbit harus mengurangi
iklan, ia akan terpaksa menaikkan harga langganan. Akibatnya
pembaca tak akan mampu membeli koran yang merupakan bacaan kedua
-- dan sekali lagi koran lain yang akan terkena.
Tapi kalangan biro iklan menyatakan mereka bukan saja setuju ide
pemerataan, bahkan sudah mencoba melaksanakannya. Intervista
menyebut koran di Kalimantan dan Sulawesi Utara sebagai media
pilihannya juga. Indo Ad menyebut 16 koran daerah yang diberinya
jatah, dan Matari sekitar jumlah yang sama.
Tapi mungkin koran daerah juga bisa terpukul oleh garis
pemerataan ini. Seperti ditunjukkan Nuradi, Surabaya Post
terbitan 11 Februari misalnya memuat 6 dari 12 halamanya dengan
penuh iklan. Suara Merdeka terbitan 20 Februari mengisi 6
halaman dari 8 halamannya juga dengan iklan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini