BUKAN lidah saja yang tidak bertulang, tetapi bonus juga sudah dijanjikan. Pemberian uang Rp 20 juta dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah itu kini memang ditunggu oleh tiap peraih medali emas di PON XIII. Toh hingga Jumat pekan lalu KONI di sana masih bimbang untuk memberikan bonus itu kepada mereka, karena kebijaksanaan gubernur lama, H.M. Ismail, dianggap kurang pas. Maksud bonus itu untuk mengatrol prestasi atau juga gengsi. Yayasan Dana Olahraga (Yadora) Jawa Tengah menyediakan Rp 1,5 miliar untuk merangsang perolehan medali emas. Ternyata prestasi atlet Jawa Tengah tidak melorot berada di peringkat empat, di bawah Jawa Timur. Cuma mereka disambut dingin di Semarang. ''Kami iri pada kontingen Jawa Barat dan Jawa Timur yang begitu sejuk diterima gubernurnya,'' ujar seorang ofisial Jawa Tengah. Sampai pekan ini sebagian atlet sedang menghitung bonus yang dijanjikan itu. Setelah menjadi jutawan sesaat, ikutilah pengakuan mereka berikut ini. Bambang Wisnu, 35 tahun. Atlet Jawa Tengah ini meraih empat emas panahan di ronde tradisional nomor 50 meter, 30 meter, total perorangan, dan beregu. Pegawai bank pasar Jatinom, Klaten, yang bergaji Rp 100.000 sebulan ini akan menerima bonus sekitar Rp 80 juta. ''Sejarah akan mengubah hidup saya,'' katanya. Ayah dua anak ini, di PON empat tahun lalu, meraih bonus Rp 3 juta, dan diwujudkan jadi rumah. Lalu untuk apa bonus Rp 80 juta? ''Nazar istri saya, kalau dapat medali emas, kami naik haji,'' kata Bambang. Empat emas ini disabet berkat latihan keras. Usai salat subuh, ia berlatih hingga pukul 7.30. Dan sorenya ia berlatih lagi. Si kembar Felix dan Albert Sutanto, 18 tahun, juga penambang bonus dari Jawa Tengah di cabang renang. Sejak usia 10 tahun mereka digembleng di Klub Renang Hiu, Surabaya. Tapi, begitu ayah mereka pindah ke Purwokerto, Felix dan Albert memperkuat Jawa Tengah. Mereka juga kuat didorong oleh bonus untuk pindah. Bonus di mata Felix membuatnya tambah ngotot. Ia merebut lima emas (empat perorangan dan sebuah dari beregu). Albert meraih tiga emas (dua perorangan dan sebuah beregu). Di atas kertas, bonus mereka Rp 85 juta, dan Rp 45 juta akan ditabungnya, untuk bekal masa depan. Dan Rp 500.000 dipakai untuk mentraktir teman. Di SEA Games lalu, mereka mengumpulkan bonus Rp 18,7 juta. Di luar bonus, atlet ini dapat Supersemar sejak tahun 1989. Besarnya Rp 35.000 sebulan. Bonus tadi diperoleh berkat prestasi dan latihan rutin. Pagi berlatih di kolam renang menempuh sekitar 10-11 km, dan sore latihan fisik. ''Saya ingin berlomba di tingkat internasional sambil mengukir prestasi,'' katanya. Wisnu Wardhana, 18 tahun. Perenang dari DKI Jaya ini meraih enam emas, dan satu perak. Dari Pemda DKI, Wisnu akan menerima bonus Rp 65 juta. Selama ini ia memang tidak memikirkan bonus. Makanya ia tak tergiur hijrah ke Jawa Tengah yang menjanjikan bonus gede. ''Saya tidak mau urusan saya kalau ke luar negeri dipersulit di Jakarta,'' katanya. Wisnu akan belajar ke Amerika Serikat. Bonus tadi ditabungnya. ''Pemakaiannya saya pikirkan sesudah itu,'' katanya. DKI Jaya, yang menjadi juara umum, memberi bonus peraih perak dan perunggu perorangan masing-masing Rp 5 juta dan Rp 3 juta. Atlet yang tak kebagian medali juga diberi bonus Rp 750.000. Atlet panahan penyelamat muka Jawa Timur ini adalah Hendra Setiawan, 23 tahun. Ia merebut empat emas, di ronde FITA lewat nomor 90 meter, 50 meter, total, dan beregu, pada hari terakhir. Mengenai bonus? ''Nanti kan datang sendiri,'' kata penyandang peringkat enam di Olimpiade Barcelona ini kepada A. Kukuh Karsadi dari TEMPO. Jumlah bonus yang diterimanya memang belum konkret. Ia baru mendengar bahwa bonus Jawa Timur lebih besar ketimbang Jawa Barat. Pada PON empat tahun lalu, Hendra mendapat bonus Rp 12,5 juta. Bonusnya kali ini akan dibelikan tanah atau rumah. Dari KONI dan Pengda, mahasiswa ITS ini mendapat uang saku Rp 160.000 sebulan. Benny Wijaya, 20 tahun, juga pendulang medali emas untuk Jawa Timur. Petenis ini menyikat tiga emas, di nomor beregu, tunggal, dan ganda putra. ''Saya main di PON buat Jawa Timur dengan perjanjian kalau tidak mendapat medali emas dibayar Rp 10 juta. Kalau dapat, dibayar Rp 18 juta, ditambah bonus yang jumlahnya saya belum tahu,'' katanya. Benny juga dikontrak Dunlop (raket, pakaian, dan sepatu) Rp 75 juta setahun. Jumlah ini masih kurang jika dipakai membiayai turnya ke luar negeri yang menghabiskan sekitar Rp 100 juta. ''Kekurangannya, ya, dibantu orang tua saya,'' katanya kepada Joewarno dari TEMPO. Bonus kali ini akan dipakainya membiayai tur ke luar negeri. Benny yang warga DKI Jaya itu memang tidak memperkuat daerahnya. ''Tawaran DKI waktu itu jelek. Mereka kurang memberi dukungan materi,'' kata Benny. Rossy Pratiwi Dipoyanti, 21 tahun, peraih tiga emas di cabang tenis meja di nomor perorangan putri, ganda putri, dan beregu. Kalimantan Timur terdongkrak dari urutan ke-16 di PON XII naik di peringkat 10 di PON XIII. ''Terima kasih, Rossy, atas pengorbananmu,'' kata H.M. Ardans, Gubernur Kalimantan Timur, sambil memberikan buket kembang. Rossy menerima bonus Rp 11 juta (Rp 6 juta emas perorangan, Rp 3 juta di ganda emas, dan Rp 2 juta untuk nomor beregu emas) dari raja kayu Yos Sutomo. Jumlah ini belum termasuk bonus dari KONI, Gubernur Ardans, dan kabarnya ada pula dari klubnya, Pupuk Kaltim Bontang. Semua bonusnya itu akan dipakainya untuk beli rumah senilai Rp 30 juta di Bandung. Chaterine Surya, 13 tahun. Perenang Jawa Barat ini bakal menerima bonus Rp 80 juta. Rincian: Rp 70 juta untuk tujuh medali emas yang diraihnya, dan Rp 10 juta hadiah untuk lima rekor nasional yang dipecahkannya. Ini belum termasuk bonus dari Pemda Cirebon. ''Belum tahu besarnya, tapi Pak Kumaidi (Wali Kota Cirebon) sudah menjanjikan bonus,'' kata Sumana, ayah merangkap pelatihnya. Bonus itu akan ditabung. Pelajar kelas II SMP ini berenang sejak usia 5 tahun. Semula diajak teman, lalu ketagihan. Kini renang jadi santapan. Tiga bulan ia mempersiapkan ke PON dengan berlatih tiap hari 3-4 jam berenang. Tahun 1991 ia berguru ke RRC selama 1,5 bulan. ''Di sana latihannya keras. Salah sedikit saja, dihukum push up. Semua murid diperlakukan sama,'' kata gadis yang bercita-cita jadi dokter ini. RRC dipilih karena di sana kemajuan renangnya pesat, dan cocok untuk orang Asia. Biayanya sekitar Rp 5 juta, ditanggung ayahnya yang memiliki dua apotek di Cirebon. Belajar ke Cina dan ikut PON mengorbankan sekolahnya. Tak mencari pelatih khusus? ''Sama Papa, saya diajar punya kesadaran sendiri. Jadi, saya berlatih lebih karena keinginan saya,'' kata anak tertua dari empat bersaudara itu kepada Asikin dari TEMPO. David Yusuf Saidui, 22 tahun. Buat pecandu bola, namanya masih asing. Tapi, melihat permainannya di final saat menggilas tim Aceh, ia kelihatan gesit dan suka bercanda. Sebuah gol dilakukannya lewat dorongan pantatnya lantaran penjaga gawang lawan terjengkang ke luar gawang. Penonton bersorak. Kanan luar Irian Jaya ini, selama PON, menjebolkan gawang lawannya sembilan kali. Irian Jaya pun merebut emas. David dapat bonus Rp 5 juta dan sebuah televisi warna. ''Kita juga dijanjikan Bapak Gubernur Rp 100.000 untuk tiap gol di final, untuk semua pemain,'' kata anak pensiunan polisi dari Serui ini. Bonus itu akan dipakainya membetulkan rumah keluarganya. Buat David, bonus bukan tujuan. ''Yang suruh saya main bola adalah saya sendiri. Tapi semangat kita jadi berlebih karena bonus. Itu terasa di semifinal. Kita mati-matian meski sudah capek,'' katanya. Ternyata bonus memang perlu. Jadi, tadi kok masih juga berbasa-basi, ya? Widi Yarmanto dan Andy Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini