KIBASAN dinosaurus dalam film Jurrasic Park bergetar sampai ke luar gedung bioskop. Produk barang-barang promosi yang mendukung film itu antara lain kaus, cangkir, tas pinggang laris luar biasa. Anehnya, pemegang lisensi logo Jurrasic Park di Indonesia, PT Sindoprima Adiwisesa, bukannya gembira tapi malah kecewa. ''Bagaimana tidak kecewa, kalau barang-barang itu diproduksi perusahaan lain tanpa izin klien kami,'' keluh Amin Arjoso, penasihat hukum PT Sindoprima Adiwisesa. ''Ini jelas tak bisa dibiarkan,'' ujarnya. Karena itu, atas nama PT Sindoprima, Senin dua pekan lalu, Amin Arjoso membuat surat peringatan lewat sejumlah koran. Peringatan itu ditujukan ke pihak yang mencoba menangguk rezeki lewat produksi barang atau mainan berlogo dino (Jurrasic Park), agar segera menghentikan kegiatannya. Jika bandel, berurusan ke pengadilan. PT Sindoprima, perusahaan lisensi yang antara lain memegang hak penjualan barang berlogo Ninja Turtle dan Candy-Candy itu, menurut Arjoso, sejak 24 Agustus lalu resmi sebagai pemegang lisensi tunggal untuk pengedaran barang-barang bergambar dan berlogo Jurrasic Park (dinosaurus) untuk Indonesia. Yang memberikan otorisasi dan hak lisensi adalah Plaything Merchandising Co. Ltd., Hong Kong. Perusahaan itu adalah agen lisensi Jurrasic Park untuk Asia. Hak otorisasinya diperoleh dari MCA/Universal Merchandising Los Angeles, USA. Dalam catatan Arjoso, tak kurang dari delapan perusahaan yang mendompleng ketenaran Jurrasic Park, tanpa izin PT Sindoprima. Setelah peringatan dikeluarkan, beberapa di antaranya langsung menghubungi PT Sindoprima untuk bernegosiasi. Antara lain Matahari Department Store, Hero, Toy's City, dan Sri Ratu (Semarang). Tapi ada juga yang mbalela. ''Dinosaurus itu kan sudah dikenal di mana-mana dan menjadi milik umum. Kenapa untuk menggambar saja harus minta izin?'' kata seorang pengusaha. Marlus Widyanto Wiwied, Presiden Direktur C-59, perusahaan kaus oblong yang cukup besar di Bandung, mengaku terus terang ikut memproduksi kaus berlabel Jurrasic Park. Tapi sejak diberi peringatan, ia menarik dagangannya dari pasaran. Kendati begitu, ia tak bisa mengerti, kenapa ada larangan semacam itu. ''Desainnya kan kami olah sendiri, tidak menyontek desain Jurrasic Park yang sudah ada. Kenapa ikut diperingatkan?'' katanya. Ia juga mempertanyakan batasan pelanggaran penggambaran binatang universal itu. Diskusi tentang boleh tidaknya sesuatu yang dikenal umum sebagai merek dagang terus saja ramai. Untuk menangkis para pendompleng itu, Amin Arjoso punya jawaban. Dinosaurus memang sudah menjadi milik umum sebelum film Jurrasic Park digarap. Tapi, siapa yang menciptakan momentum sehingga hewan ini menjadi begitu populer dan bisa dimanfaatkan untuk tujuan bisnis? ''Momen itu diciptakan melalui sebuah proses dengan biaya yang tidak kecil. Nah, momen itulah yang menjadi hak penciptanya, jadi bukan binatangnya yang dipersoalkan,'' katanya. Dan perusahaan tersebut memanfaatkan momentum ini tanpa izin dari penciptanya. ''Kalau dinosaurus alasannya adalah milik umum, kenapa tak dari dulu dimanfaatkan?'' Jenny Barmawi, ahli hukum dagang Universitas Padjadjaran Bandung, sependapat dengan Arjoso. Menurut Jenny, yang berhak atas lisensi adalah siapa yang pertama kali memperkenalkannya sebagai produk dagang. Ia ambil contoh Donald Bebek, yang tak bisa lepas dari nama Walt Disney. ''Kalau ada orang Indonesia bikin boneka Donald Bebek, orang akan mengira itu bikinan Amerika. Itu menyesatkan konsumen. Jadi, dalam hal ini, publik juga harus diberi perlindungan, apalagi untuk merek-merek terkenal,'' katanya kepada Asikin dari TEMPO. Aries Margono dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini