KERINGATNYA masih berleleran dan kaus merah jambu yang dikenakannya hampir kuyup. Silvia Koeswandi, 29 tahun, baru saja usai joging ketika dijumpai TEMPO di perkampungan atlet Jalan Yudo, Senayan, Sabtu sore pekan lalu. "Ya, inisiatif sendiri, sekadar latihan menjaga fisik," tuturnya. Hari itu memang tak ada latihan bagi atlet anggar yang akan mewakili Indonesia ke Olimpiade XXIV di Seoul pertengahan September nanti. Bisa dimengerti kenapa Silvia rajin melakukan inisiatif latihan fisik. Soalnya, sejak akhir Maret lalu ia setiap harinya cuma berlatih 4 jam. Wanita asal Ujungpandang itu juga menghadapi minimnya lawan untuk berlatih tanding. Tak heran kalau Mei lalu ia diberangkatkan ke Bukarest, Rumania, untuk mencari lawan latih tanding. "Di sana saya puas bisa berlatih tanding, karena banyak pemain anggarnya," kata Silvia. Dengan persiapannya yang senen-kemis itu, bagaimana peluangnya nanti di Seoul? "Tidak ada target. Maju ke babak berikutnya saja sudah senang, kok," cetus Silvia dengan entengnya. Pernyataannya itu bisa jadi merupakan pencerminan harapan anggota kontingen Indonesia lainnya. Dan Silvia hanya seorang dari 29 atlet Indonesia yang bakal bertarung di pesta olah raga itu. Mereka akan turun di 11 cabang: anggar (2 atlet), atletik (5), angkat besi (5), gulat (2), menembak (1), panahan (4), renang (2), tenis (3), tenis meja (1), tinju (2), dan layar (2). Seluruh delegasi Indonesia yang bakal berangkat ke Seoul itu jumlahnya mencapai 50 orang. Ke-29 atlet tadi akan didampingi 11 pelatih serta 3 penasihat teknis dan 7 ofisial yang dipimpin oleh Wik Djatmika sebagai Chef de Mission. Ini delegasi terbesar yang pernah dikirim Indonesia sepanjang sejarah keikutsertaannya di arena Olimpiade sejak tahun 1952 di Helsinki, Finlandia. Padahal, di Olimpiade Los Angeles 1984 Indonesia cuma mengutus 17 atlet. Sekalipun tak berkutik, toh mereka tak memalukan prestasinya. Lifter Maman Suryaman berhasil menduduki posisi ke-6 dalam angkat besi kelas terbang. Sprinter Purnomo sempat menyodok sampai ke babak semifinal dan menduduki peringkat 11 dunia di nomor lari 100 m. Lalu kuartet Purnomo Kardiono, Christian Nenepath, dan Ernawan Witarsa juga mampu lolos ke semifinal dan menduduki peringkat 13 dunia. Di Seoul nanti, dengan jumlah atlet yang justru membengkak, ternyata harapannya tak melebihi apa yang pernah dicapai empat tahun silam itu. Tak ada target yang mulukmuluk ditaruh di pundak mereka. Apalagi mereka harus bersaing dengan 160 negara peserta olimpiade lainnya. Toh Sekjen KONI Pusat, Moh. Sarengat, masih mengharapkan terjadinya keajaiban di Seoul. "Miracle kalau kita dapat medali," katanya setengah berharap. Yang diandalkan untuk membuat keajaiban di Negeri Ginseng itu ada pada 3 cabang: tinju, layar, dan panahan. Petinju Adrianus Taroreh, 22 tahun, yang akan turun di kelas bulu, tampaknya punya peluang yang cukup bagus. Sebagai pemegang medali perak Asian Games X 1986 Seoul, ternyata perjuangannya bakalan berat sekali. Ia harus bersaing dengan 40 petinju lainnya di kelasnya itu. Prestasi terbaik di cabang tinju pernah diukir oleh Ferry Moniaga di Olimpiade XX Munich 1972. Ketika itu ia berhasil lolos sampai babak perempat final alias 8 besar dunia. Sedangkan atlet layar Eddy Sulistyanto, 26 tahun, dan Abdul Malik, 21 tahun, juga punya kans untuk mengguncang Pusan -- kota pantai tempat berlangsungnya pertandingan di belahan selatan Kor-Sel. Apalagi kedua atlet kampiun Asia itu sudah akrab dengan deburan ombak di sana. Eddy, misalnya, di tempat itu pernah merebut medali emas kejuaraan Asia untuk kelas laser, 1985. Trio srikandi Indonesia, yang terdiri atas Lilies Handayani, Kusuma Wardhani, dan Nurfitriayana, juga makin teruji dalam soal membidik sasaran dengan anak panahnya. Dalam uji coba mereka selama satu bulan lebih di Jerman Barat, Swiss, dan Singapura, ternyata mereka mampu bersaing dengan calon-calon lawannya yang bakal dihadapi di Seoul nanti. Lilies Handayani, misalnya, kini mampu mencatat skor total di atas 1.300. Ini artinya, ia sudah bisa ikut "berbicara" dalam barisan elite pemanah dunia. Menjelang keberangkatan ke Seoul, seperti biasa, yang jadi ganjalan adalah soal fulus. Dana yang dibutuhkan untuk membawa 50 orang itu seluruhnya mencapai Rp 324 juta. Untung saja, sejumlah sponsor dan KSOB mau merogoh koceknya untuk menyokong keberangkatan tim Indonesia. Sekalipun begitu, dana yang sudah terkumpul ini masih belum mencukupi kebutuhan di Seoul nanti. "Masih kurang Rp 34 juta," begitu keluhan Sarengat ketika dijumpai Senin pekan ini. Menurut perhitungannya, biaya pengiriman kontingen ke Seoul memang cukup mahal. Setiap atlet menghabiskan ongkos Rp 8 juta. "Itu sudah termasuk uang saku dan board and lodging," katanya. Barangkali pertimbangan biaya juga yang membuat sejumlah negara tetangga berpikir realistis: Sekalipun cuma "sekadar berpartisipasi" dan tujuannya hanya memperbaiki rekor nasional, toh mereka ekstraketat dalam menyeleksi atletnya yang bakal dikirim ke Seoul. Singapura, misalnya, cuma mengirim 8 atlet. Malaysia hanya mengutus 9 atlet. Sedangkan Muangthai mengirimkan 16 atlet -- 6 di antaranya dari cabang tinju. Tentu saja sasaran mereka bukan lagi sekadar merebut medali perunggu (pernah diraih petinju Payao Poltarat di kelas terbang layang di Olimpiade Montreal 1976) atau perak (pernah direbut petinju Dhawee Umponmaha di kelas welter ringan di Olimpiade Los Angeles 1984). "Tetapi mendapatkan medali emas, " tutur pelatih tinju Suthee Promjairak. Mudah-mudahan saja keajaiban yang ditunggu Sarengat itu bukan sekadar mimpi di siang bolong. Ahmed K. Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini